Rabu, 19 Maret 2008

BAGIAN 12 - GERBANG MAHAMERU

Kabut masih menyelimuti Mahameru yang tenang dan mistis. Penduduk desa di kaki gunung tertinggi di Jawa itu tidak mengetahui telah terjadi pertarungan hebat di puncaknya. Yang tampak dan terlihat hanyalah gumpalan kabut dan awal tebal menyelimuti Mahameru selama berhari-hari. Tidak ada yang berani pergi naik ke lereng. Tidak ada kayu bakar yang bisa diambil. Tidak ada hewan yang bisa diburu. Mahameru terlalu berbahaya saat ini.

Di balik dinding tipis kasat mata, sebuah gerbang candi berdiri di puncak Mahameru. Ribuan anak tangga terpahat menurun hingga ke bawah hingga ke sebuah pelataran yang cukup luas. Jalan batu dengan pagar setinggi pinggang melingkari gunung hingga bertemu lagi di ujung pelataran. Kemudian anak tangga turun lagi hingga ke dasar lembah. Tujuh orang berjaga di pelataran mengelilingi sebuah patung sapi nandiswara. Dua ekor garuda raksasa bertengger di dua buah pilar yang berdiri di kiri dan kanan pelataran. Penjagaan terlihat sangat waspada. Tidak ada satu pun prajurit penjaga bersantai-santai. Rupanya apa yang sedang terjadi di asrama telah membawa dampak yang luas hingga ke dunia tengah. Sembilan gerbang lintas batas di jaga dengan ketat. Jumlah prajurit jaga yang biasanya hanya tujuh kini diperkuat menjadi duapuluh satu orang. Para prajurit jaga di pelataran kini sedang menunggu kawan-kawan mereka yang akan membantu.

“Kalian ada yang tahu kenapa tiba-tiba ada penambahan pasukan jaga ?” tanya seorang prajurit bertubuh paling pendek diantara yang lain kepada teman-temannya.

“Aku tidak tahu, kita Cuma diperintahkan untuk menyisir lereng dan memastikan tidak ada penyusup yang masuk.” Prajurit bertubuh gendut menjelaskan.

“Hal seperti ini belum pernah terjadi sejak terakhir duabelas tahun yang lalu. Beritanya Amukhsara sekarang sedang berusaha masuk dunia manusia. Karena itu semua Sembilan gerbang diperketat penjagaannya.”

“Kalau begitu kita sekarang dalam keadaan perang ?”

“Belum, kita hanya dalam keadaan waspada yang ditingkatkan karena ada gerakan Amuksara yang sangat dekat.”

“Waduh, aku belum ketemu istriku sudah satu purnama lagi. Masak aku harus perpanjang lagi disini. Bisa pusing aku.”

Dari bawah pelataran beberapa prajurit yang dijanjikan telah datang. Mereka menanjak menapaki anak tangga dengan cepat. Prajurit jaga yang menunggu mereka begitu senang akhirnya bantuan akan datang. Mereka bisa berjaga lebih santai sekarang. Tetapi bau yang aneh memancar ke seluruh pelataran.

“Tahan! Mereka bukan prajurit bantuan. Mereka para gendrawa yang menyamar.”

Setelah penyamaran terbongkar, para prajurit yang disangka bala bantuan berubah menjadi para gendrawa yang sangat besar dengan mata merah menyala. Dua taring yang keluar dari sisi bibirnya begitu kelihatan haus darah. Dua garuda yang bertengger mengepakan sayapnya. Dua prajurit menunggani punggungnya membawa kedua garuda itu melayang meluncur ke bawah menyerang sekelompok gendrawa yang terus menanjak cepat. Serangan-serangan cakar-cakar garuda menyobek beberapa gendrawa. Dua gendrawa tersungkur dan jatuh berguling di atas tangga. Tubuhnya yang besar menghantam beberapa gendrawa lain di bawahnya. Yang lain berada di atas terus menanjak ke atas.

Usaha ketujuh prajurit itu tidak seimbang dengan jumlah ratusan gendrawa yang mengepung mereka. Dalam waktu singkat mereka sudah terdesak hebat. Beberapa gendrawa telah berhasil naik ke pelataran dan mulai mengarah gerbang lintas ke dunia manusia. Dua orang prajurit berjaga di depan gerbang menghalangi mereka. Serangan-serangan prajurit itu tidak terlalu banyak berarti. Mereka mulai kelelahan menghalau para gendrawa itu. Di saat kritis dari arah utara segerombol burung garuda datang dengan cepat. Dalam waktu singkat burung-burung itu menyerang para gendrawa. Beberapa prajurit melompat dari pungung garuda ke atas pelataran membantu prajurit di sana. Seorang gendrawa telah berhasil membuka gerbang. Prajurit-prajurit Narapati yang baru saja tiba menghambur menyerang gendrawa-gendrawa yang masih berdiri di depan gerbang.

Dari balik gerbang persis di ruang belajar asrama pintu gaib terbuka. Sukmaratih mendengar bunyi keras di dalam ruangan belajar. Kriyandita dan Sukmaratih segera berlari ke ruang belajar. Ruangan belajar telah hancur berantakan. Buku dan rak betebaran tidak karuan. Seorang prajurit Narapati sedang bertempur melawan dua gendrawa yang telah berhasil masuk ke dalam ruang belajar.

“Cepat tutup kembali gerbang. Jangan biarkan yang lain masuk!”

Prajurit Narapati di balik gerbang berhasil menutup kembali gerbang. Sukmaratih dengan sebuah serangan menghantamkan serangannya kearah pintu yang telah tertutup. Lukisan dinding di atasnya hancur berantakan. Sebagian dinding juga jebol hingga tembus ke ruangan di baliknya.

Dimas, Raji, Pafi, Nyai Janis dan Pak Narso masuk ke dalam. Mereka sangat terkejut melihat dua mayat gendrawa tergeletak di tengah ruangan yang sudah hancur berantakan. Tidak lama kemudian Garangjiwo dan Lakunogo datang.

“Apa yang terjadi ?” tanya Garangjiwo.

“Para gendrawa berhasil menembus masuk gerbang.” Sukamartih menunjuk dua mayat gendrawa di sampingnya. Seoranga prajurit jaga gerbang yang sempat bertempur dengan dua gendrawa itu mendekat.

“Saya prajurit jaga di gerbang Mahameru.” Prajurit itu memberikan salam.

“Ceritakan apa yang terjadi prajurit!” Lakunogo memberi perintah.

“Ratusan gendrawa tiba-tiba saja datang menyerang. Kami pikir mereka adalah prajurit tambahan yang telah dikirim Medanggana Raya untuk memperkuat penjagaan. Karena mereka menyamar seperti prajurit Narapati. Tetapi kami curiga karena bau kentang busuk yang mereka tebarkan. Akhirnya kami menghadang mereka. Tetapi jumlah mereka terlalu banyak. Beberapa gendrawa berhasil melumpuhkan dua teman saya. Untuk saat itu saya sempat melihat ada pasukan garuda datang membantu.”

“Kita harus memberi kabar pada Cakravartin” kata Garangjiwo

“Tidak mungkin, aku telah menghancurkan gerbang itu dari sini. Kita tidak bisa membukanya lagi. Kecuali diperbaiki dari sana.” Kata Sukmaratih lesu. Semua terkejut, mereka kini sendirian. Cakravartin tidak bisa membantu mereka karena gerbang lintas telah rusak dan tidak bisa dibuka.

“Kalau begitu kita harus mengirim orang pergi ke gerbang terdekat. Pintu Merapi adalah yang paling mungkin.” Kriyandita memberikan usul.

“Aku saja yang pergi!” Lakunogo mengajukan diri.

“Jangan! Kau sangat dibutuhkan disini. Pertahanan kita akan terlalu lemah kalau kau yang pergi. Lebih baik prajurit jaga gerbang ini yang pergi.” Jari tangan Garangjiwo menunjuk prajurit jaga gerbang Mahameru.

“Saya akan jalankan!” jawab Prajurit jaga gerbang itu dengan tegas.

“Berhati-hatilah, karena di lereng Merapi juga banyak pemukiman gendrawa.” Sukmaratih member pesan kepada prajurit jaga gerbang itu. Prajurit itu mengangguk. Beberapa saat kemudian prajurit itu berangkat meninggalkan asrama. Sedikit darah yang mengalir dari luka di pahanya membuat semua yang ada diruangan belajar itu khawatir. Apakah prajurit itu sanggup mencapai gerbang Merapi.

“Sekarang kita harus mengungsikan anak-anak ke tempat yang aman. Nyai apakah disini ada ruang bawah tanah untuk perlindungan.”

“Tidak Kriyandita! Satu-satunya gudang bawah tanah hanyalah tempat penyimpanan stok makanan. Itu pun kondisinya sangat tidak sehat.” Nyai Janis mengangkat bahunya. Wajahnya terlihat sedih. Keselamatan anak-anak asuhnya dalam ancaman. Dimas, Raji dan Pafi berunding diluar sepengetahuan mereka. Kemudian Dimas mengambil bicara.

“Kami ada tempat perlindungan yang aman.” Semua mata menatap Dimas dengan penuh tanda tanya.

“Maksudmu tempat seperti apa Dimas ?” tanya Nyai Janis.

“Tempat perlindungan yang dibuat oleh Gandrung. Tempat itu kami menyebutnya ruang keinginan.” Penjelasan Dimas mengejutkan semua orang. Bagaimana Dimas bisa mengenal Gandrung. Orang yang membangun asrama ini jauh belasan tahun lalu. Juga ruang keinginan yang hanya ada di legenda Sinar Avedi.

“Ceritanya panjang. Kami mengenal Gandrung sewaktu secara tidak sengaja kami menemukan gerbang menuju dunia Narapati 15.000 tahun lalu. Gerbang yang sama yang baru saja dihancurkan oleh bibi Sukmaratih. Di kota Sundabuana kami bertemu dengan Gandrung. Gandrung banyak menunjukan kepada kami ruang-ruang rahasia yang pernah dibangun bangsa Sinar Avedi di bawah kota Sundabuana. Kemudian secara tidak sengaja pula kami menemukan ruangan keinginan yang dibuat oleh Gandrung di asrama ini. Kami menemukan dengan menggunakan cincin kebenaran ini.” Dimas menunjukan cincinnya. Semuanya makin terkejut tidak percaya dengan penjelasan Dimas.

“Mari saya tunjukan dimana ruangan itu berada.” Dimas, Raji dan Pafi berjalan menuju pintu ruang keinginan. Garangjiwo, Lakunogo, Sukmaratih, Kriyandita dan Nyai Janis mengikuti mereka. Nyaris tidak percaya tiga anak kecil di depan mereka sudah melalui begitu banyak petualangan. Di samping pintu gudang bawah tanah Dimas, Raji dan Pafi berhenti. Kemudian menyorongkan cincin mereka ke dinding di sebelah pintu itu. Sebuah pintu gaib terlihat. Setelah kepalan mereka di tempelkan di dinding. Pintu itu terbuka. Mereka kemudian masuk menuruni tangga. Apa yang berada di bawah nyaris tidak dapat dipercaya. Ruang keinginan benar-benar ada. Dimas menunjukan ruang rumah Gandrung yang akan dijadikan tempat berlindung.

“Baiklah kita pindahkan anak-anak malam ini. Bahan makanan akan dipasok setiap hari.” Garangjiwo memberikan keputusan.

“Tidak perlu dipasok. Dengan pintu keinginan kita bisa masuk ke ruangan gudang penyimpan bahan makanan.” Pafi mengucapkan tujuannya. Lalu membuka pintu disebelah pintu ruang rumah Gandrung. Di balik pintu sebuah ruangan gelap dengan banyak tumpukan bahan makanan. Semua baru percaya kalau ruang keinginan benar-benar menunjukan tempat yang mereka inginkan.

“Tapi anak-anak harus tetap berada di dalam ruangan rumah Gandrung ini. Mereka tidak boleh berada keluar. Karena bisa berbahaya kalau mereka membuka pintu-pintu ini.” Nyai Janis mengungkapkan kekhawatirannya.

“Kalian juga harus ikut berada di ruangan ini.” Lakunogo meminta Dimas, Raji dan Pafi. Saat mereka akan protes Lakunogo menggelengkan kepalanya. Ketiganya tidak bisa membantah lagi. Mereka akhirnya harus ikut tinggal bersama anak-anak asrama lain di dalam ruangan itu. Satu per satu semua anak-anak dipindahkan ke dalam ruang rumah Gandrung. Mereka bertanya-tanya kenapa harus pindah. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak banyak yang terjawab. Untuk sementara semua anak-anak asrama aman.

Tidak ada komentar: