Senin, 03 Maret 2008

BAGIAN 2 - PINTU GAIB YANG LAIN

Petualangan baru dimulai. Tapi Dimas merasakan tidak memiliki tujuan sama sekali dalam petualangannya kali ini. Mereka hanya mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah mereka lihat dengan menggunakan ruang keinginan. Masih tersisa sebuah pertanyaan besar yang belum terjawab hingga kini. Dimanakah Narapati sekarang berada? Apakah mereka berhasil membuka dunia tengah? Selama seminggu terakhir ini terjadi lagi hal-hal aneh baru setelah kemunculan ruang keinginan. Gandrung banyak meninggalkan kejutan di dalam asrama ini. Banyak hal-hal yang semula biasa saja kini menjadi luar biasa. Begitu banyak tanda-tanda yang muncul. Cincin kebenaran makin menunjukan fungsinya. Awalnya Dimas tidak mengerti ada symbol-simbol aneh di dinding-dinding asrama. Tetapi kini dia mulai mengerti setelah menemukan ruang keinginan dan jejak yang ditinggalkan oleh Gandrung. Gandrung pernah berada disini ikut membangun asrama ini dan menciptakan tanda-tanda yang hanya bisa dilihat oleh pemegang cincin kebenaran.

Di ruangan tengah dekat tangga ke lantai dua Dimas berhenti. Raji heran melihat tingkah sahabatnya. Kepala menengadah ke langit-langit ruangan yang langsung keatap di bawah genteng. Ditopang oleh enam pilar batu segi empat yang penuh dengan ukiran dengan kubah di atasnya. Dikelilingi dinding-dinding batu-batu hitam dengan relief-relief dan ukiran seni. Pada langit-langit yang melengkung setengah bulat tampak barisan bintang-bintang berwarna keemasan berjajar seperti lengkung busur.

“Kau lihat bintang-bintang itu berjajar melengkung. Persis seperti naskah Sinar Avedi Agung.” Dimas menunjuk ke langit-langit ruangan.

“Yah, kau benar. Selama ini kita tidak menyadari kalau legenda itu ada dan meninggalkan bekasnya disini.”

“Hey, kalian sedang apa disini ?” Pafi tiba-tiba muncul dari ruang belajar sambil membawa buku di tangan kirinya. Kepala mendongak ke atas mengikuti Dimas dan Raji.

“Bukankah itu….” Pafi mengkerutkan wajahnya mencari hal yang sama di dalam kepalanya.

“Yah benar, itu adalah busur Sunda. Gunung-gunung yang meletus secara bersamaan 15.000 tahun lalu. Dan yang paling tengah dan paling besar adalah Krakatau.” Dimas menjawab apa yang dipikirkan Pafi. Ada beberapa anak yang lewat ikut melihat ke langit-langit tetapi tidak mengerti apa yang sedang dilihat oleh Dimas, Raji dan Pafi.

“Gandrung pernah ada di asrama ini, bahkan mungkin dia yang merancang tempat ini.” Dimas memindahkan pandangannya ke lantai. Gambar yang serupa tetapi dengan gambar sebuah lambang seekor kuda dengan tubuh atasnya manusia menarik busur dengan sebuah anak panah. “Sagitarius!”

“Apa katamu ?” tanya Pafi pada Dimas. Pandangannya juga dialihkan ke lantai.

“Lambang ini, gambar manusia berbadan kuda yang sedang menarik anak panah.” Dimas menunjuk lantai di depan mereka. Raji mengkerutkan dahinya. Mereka bertiga masih sibuk berpikir lambang yang ada dilantai. Tidak sadar dari lantai dua Aryo turun bersama Anip dan Amik.

“Hey Londo kampung! Kau tidak akan bisa membuat gambar seperti itu apalagi membuatnya.” Aryo turun dari tangga dengan cepat. Raji langsung mendengus mendengar ejekan Aryo.

“Ayo Londo keling! Kau ingin berkelahi denganku ? Sudah lama badanku pegal sekali tidak gebuk londo.” Aryo menarik kedua lengan bajunya. Dimas diam saja tidak bergerak. Raji maju ke depan. Tetapi Dimas menarik lengannya. Aryo memainkan kepalannya.

“Aku sudah tahu apa yang kalian kerjakan tiap malam. Aku akan beritahukan Nyai Janis. Biar kalian tahu rasa!” Kata-kata Aryo membuat Dimas, Raji dan Pafi tersentak kaget.

“Memangnya apa yang kau tahu tentang kami” tanya Dimas santai. Sejenak Aryo bingung. Kalimat yang ingin diucapkannya lenyap begitu saja di ujung lidahnya. Raji dan Pafi tersenyum lega melihat Aryo kebingungan. Dimas sudah membuatnya lupa.

“Itu Yo, tentang….tentang apa ya” Anip yang bermaksud memberitahu Aryo tiba-tiba ikut-ikutan lupa. Amik juga mengalami hal yang sama.

“Sudahlah Aryo. Kami bukan musuhmu. Kami tidak pula bermaksud menggantikan kedudukan kalian menjadi pemimpin di asrama ini. Ayo kita pergi!” Dimas berbalik meninggalkan Aryo dan gengnya dalam kebingungan menggaruk-garuk kepala. Raji dan Pafi mengikuti Dimas keluar sambil tertawa geli.

“Apa yang dia tahu tentang kegiatan malam kita ?” tanya Raji penasaran.

“Dia melihat kita menyelinap keluar kamar. Itu saja.” Jawab Dimas singkat. Anak-anak lain sedang bermain di halaman. Tempat duduk di halaman telah penuh. Anak-anak perempuan bermain tali dan congklak. Hari libur ini selalu dimanfaatkan dengan bermain. Hanya kadang-kadang saja Nyai Janis memberikan mereka kesempatan untuk pergi berwisata ke tempat lain. Mereka memutuskan untuk pergi ke tempat lain yang paling mereka sukai. Huma kebun jagung pak Narso. Bulan ini pohon jagung diganti dengan kacang-kacangan. Pak Narso membuat tambatan bambu berkaki tiga untuk merambatkan pohon kacang panjang agar buahnya tidak menyentuh tanah. Huma terlihat kosong, tidak ada pak Narso ataupun Mbok Sinem yang biasanya sedang bekerja menyiangi gulma atau memanen sayuran untuk keperluan asrama. Huma yang dibangun dengan bambu beratap ilalang itu lebih menyenangkan dari pada di dalam asrama. Kesederhanannya menenangkan. Dipan yang terbuat dari potongan bambu melintang. Angin bersirkulasi melalui sela-selanya. Sebuah tikar pandan terbaring di tengahnya.

“Kita seperti bukan tanpa alasan berada di asrama ini. Kau tahu maksudku ?” Dimas mulai yakin kalau mereka tidak berada di asrama itu begitu saja hanya karena mereka yatim piatu. Pasti ada hal lain yang membuat mereka berada di sana. Asrama itu tidak dirancang oleh orang-orang biasa. Tetapi ada Narapati yang ikut terlibat di dalamnya. Gandung meninggalkan begitu banyak jejak disana.

“Apakah berarti Narapati yang membangun tempat ini ?” Raji masih agak ragu. Matanya memandang kearah bangunan asrama yang begitu tinggi. Atapnya yang begitu mirip dengan bangunan-bangunan di Sundabuana menggoyahkan keragunan. “Sepertinya memang Narapati” katanya menjawab sendiri pertanyaannya sambil menunjuk atap bangunan asrama. Dimas dan Pafi melihat kearah yang ditunjuk Raji. Keyakinan mereka makin kuat kalau Narapati membangun tempat itu.

“Kalau Narapati membangun tempat ini, lalu dimana mereka sekarang tinggal?” tanya Pafi.

“Di dunia tengah” sahut Dimas.

“Dan sekarang Dunia tengah ada dimana ?”

“Entahlah” Dimas mengangkat bahunya.

“Apa sebaiknya kita tanyakan kepada pak Narso ?” Raji memberikan usul.

“Belum saatnya. Pak Narso pasti akan bertanya pada kita dari mana kita tahu mengenai dunia tengah. Padahal yang pak Narso tahu kita mengetahui Narapati hanya dari legenda yang diceritakannya kepada kita. Dia pun menyebutnya itu adalah sebuah legenda yang belum tentu benar. Artinya pak Narso belum tentu tahu keberadaan dunia tengah.” Dimas menggeser duduknya ke atas tikar pandan.

“Lalu bagaimana kita mencari dunia tengah ?” tanya Raji.

“Ke tempat dimana kita menemukan dunia Narapati.” Sahut Pafi.

“Pintu gaib di ruang belajar! Tapi kita sudah tidak bisa membukanya sejak kita kembali dari dunia Narapati. Bahkan buku yang kau berikan waktu itu tidak lagi berubah.” Dimas tidak yakin pintu itu akan muncul kembali.

“Kita selidiki saja lagi. Kita sudah tahu kalau pintu-pintu rahasia yang diciptakan oleh Gandrung hanya akan terlihat saat didekatkan dengan cincin kebenaran. Kita coba dekatkan cincin ini ke lukisan di dinding itu.” Pafi cukup yakin dengan gagasannya. Dimas sepertinya terpengaruh ide Pafi.

“Kalau begitu kita harus menyelidiki pintu gaib itu nanti malam.” Dimas memberikan usul. Matanya melihat Raji langsung lesu kehabisan setengah darahnya.

“Mengapa harus nanti malam ?” tanya Pafi

“Karena nanti malam adalah tepat malam purnama, kalian ingat kemunculan pintu gaib itu dimulai sejak malam purnama lalu tepat saat tengah malam.”

“Jadi maksudmu kita harus bangun nanti malam ?” tanya Raji yang tampak enggan sekali tidur nyenyaknya terganggu. Dia membayangkan harus berjalan tertatih-tatih dengan mata yang masih sangat mengantuk.

“Iya, kalau kau mau, kau bisa menggotong tempat tidurmu sekalian” kata Pafi sinis. Dia sudah paham benar soal tabiat Raji yang sangat tidak mau mengorbankan tidurnya.

“Kalau kau mau kehilangan kesempatan dapat melihat dunia tengah di balik pintu gaib itu, ya tidak apa-apa.” Kata Dimas. Dimas tahu dimana letak kelemahan Raji agar mau mengorbankan waktu tidurnya.

“Baiklah, baiklah, aku ikut. Tapi nanti malam aku dibangunkan.” Kata Raji setengah hati.Yang dipikirkannya saat tidur nyenyaknya dalam keadaan puncak tiba-tiba harus bangun. Tapi Raji tahu dia tidak bisa menolak lagi.

“Baiklah, sekarang kita kembali ke asrama. Kita bertemu di dekat tangga turun ke lantai dasar.” Dimas turun dari dipan setelah tidak ada lagi yang keberatan.

Malam begitu indah dengan rembulan bulat yang begitu cerah menerangi pelataran halaman. Dimas sejak sore tidak beranjak tidur, tetapi lebih memilih memandang langit yang berserakan cahaya bintang yang mengedipkan cahaya lemah di antara sinar bulan yang bulat telur. Semua anak-anak dalam bangsal telah terlelap. Dimas bangkit dari tempat duduknya dekat jendela dan berusaha tidak mengeluarkan suara. Bantal di atas kasurnya di tata di atas tempat tidurnya kemudian ditutupi dengan kain. Dengan perlahan Dimas berjalan tanpa alas kaki menuju tempat tidur Raji. Tangannya menepuk pundak Raji dengan pelan. Raji yang masih meringkuk seperti seekor kucing. Tepukan halus Dimas rupanya tak mampu membuatnya terbangun. Dimas mengusap kepala Raji, dengan segera Raji terbangun dan bangkit dari tempat tidurnya.

“Sssssstttt, pelan-pelan” Dimas menutup mulutnya yang berdesis dengan telunjuk kirinya. Raji nyengir kuda sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya. Dengan perlahan Raji turun dari tempat tidurnya dan menata bantalnya seperti yang dilakukan Dimas. Dengan mengendap-endap mereka keluar dari bangsal menuju koridor. Di depan pintu bangsal mereka jongkok sebentar mengamati keadaan. Setelah yakin tidak ada orang di koridor tersebut, Dimas dengan berjalan bungkuk bergerak menuju tangga. Raji mengikuti dari belakang dengan tangan yang terus memegang tangan kiri Dimas.

“Kau yakin kita harus melakukannya malam ini” Raji berbisik dengan suara yang agak ketakutan. Dimas berhenti dan memandang Raji yang begitu memelas ketakutan.

“Ya, hanya malam hari waktu yang paling aman dan terhindar dari kecurigaan orang lain. Aku lebih takut Nyai Janis dari pada hantu. Dia lebih menyeramkan.” Dimas setengah berbisik sambil tertawa kecil. Raji ikut cekikikan. Rasa takutnya hilang begitu saja seusai mendengar lelucon Dimas.

“Ayo cepat, kita jangan terlalu lama disini” Dimas membetot tangan Raji dan menariknya menuju tangga. Kemudian mereka menuruni tangga setelah yakin tidak ada orang lain di bawah.

Pada arah yang berlawanan sesosok orang berjalan mengendap menuju arah yang sama dengan Dimas dan Raji. Dimas dan Raji berhenti dan bersembunyi di bawah tangga.

“Dimas….Raji…..”Suara seorang perempuan memanggil setengah berbisik. Dimas mengenali suara yang memanggilnya kemudian muncul dari balik tangga dan melambaikan tangan kepada si Pemanggil.

“Pafi……” Dimas memanggil pelan orang yang ternyata adalah Pafi.

“Tidak ada orang yang melihatmu kan “ Tanya Dimas

“Tidak, semua penghuni asrama sudah tertidur” Pafi menjawab dengan pelan.

“Ayo, kita segera ke ruang belajar” Dimas mengajak Pafi dengan terus menarik tangan Raji yang masih memegang erat dengan kedua tangannya.Sesampainya di depan pintu, ternyata pintu terkunci rapat.

“Sial, pintunya terkunci, bagaimana membukanya” Dimas merutuk. Pafi segera menghampiri gagang pintu dan berusaha memutar-mutar untuk membuka.

“Uh….kenapa tadi kita tidak mengambil kunci dulu di tempat pak Narso. Aku belum diajari cara membuka pintu.” Pafi juga ikut merutuk.

“Lebih baik kita kembali saja ke kamar” Raji yang sedari tadi tidak merasa nyaman dengan aksi mereka berusaha membujuk kedua temannya untuk kembali.

“Tidak, kita harus masuk menyelediki pintu gaib rahasia itu malam ini juga, bagaimanapun caranya, kenapa kau jadi penakut malam ini Raji. Biasanya kau seperti jagoan” Tegas Pafi.

“Aku tidak takut, aku hanya tidak mau kita terkena hukuman dari Nyai Janis” Raji dengan emosi dan wajah yang merah padam. Untungnya dalam suasana gelap sehingga tidak terlihat, hanya nada suaranya saja yang menaik.

“Tapi bagaimana caranya masuk” Dimas mulai bingung dan berpikir mencari jalan.

“Pintu itu harus bisa dibuka dulu…..” kata Pafi melanjutkan sambil menujukan telunjuk kanannya kearah gagang pintu dan secara otomatis terdengar suara berkeletak dan pintu terbuka dengan sendirinya.

Dimas, Pafi dan Raji saling pandang tersenyum dengan yang baru saja terjadi. “Pintunya …….terbuka sendiri” Raji dengan suara tertahan menutup mulutnya.

“Bukan, bukan terbuka sendiri, tapi Pafi yang telah membukanya” Dimas mengangkat tangannya dan menunjuk jari Pafi yang masih menunjuk ke arah gagang pintu. Mereka akhirnya memasuki ruang belajar yang gelap gulita. Pafi berusaha merangkak menyisir dinding dimana sebuah lampu minyak jarak tergantung. Dengan korek api yang sudah disiapkannya sejak tadi Pafi menyalakan lampu.

“Wah, bagus kau telah bawa korek api rupaya” Raji memuji Pafi dengan nada yang sedikit meledek.

“Memangnya kau pikir kau bisa diandalkan untuk mengingat apa yang diperlukan, hah” Pafi menyergah kata-kata Raji yang langsung terdiam.

“Sudah…sudah… lebih baik kita pusatkan perhatian kita ke dinding itu” Dimas menengahi kedua sahabatnya yang memang selalu ada saja pertengkaran kecil diantara mereka berdua. Dimas mengambil lampu yang sudah dinyalakan oleh Pafi kemudian memimpin di depan menuju lorong di dalam ruang belajar pada sebuah lukisan gunung kembar Bromo dan Semeru.

“Bagaimana caranya membuat pintu gaib itu muncul kembali” Pafi bergerak maju mengulurkan cincin kebenaran di tangan kanannya kearah lukisan di dinding itu. Dimas juga berdiri tepat didepan dinding mengulurkan cincin kebenaran miliknya. Diikuti oleh Raji melakukan hal yang sama. Tidak ada perubahan apapun. Cincin kebenaran mereka tidak menyala seperti waktu di depan pintu ruang keinginan.

“Mengapa tidak ada reaksi apapun yah.” Pafi kebingungan.

“Mungkin caranya salah” Dimas mencoba mencari cara lain.

Tiba-tiba bunyi suara langkah seseorang makin dekat terdengar dari koridor di luar ruang belajar. Dimas, Pafi dan Raji segera saja menjadi panik.

“Matikan lampunya cepat” Pafi meminta Dimas mematikan lampu jarak yang sedang dipegangnya. Dimas dengan reflek segera meniupnya hingga padam.
Mereka segera bergegas meninggalkan lukisan itu dan bersembunyi di bawah meja. Dalam keadaan gelap gulita Dimas dengan merangkak di lantai bergerak menjauhi dinding menuju bawah meja belajar diikuti Pafi dan Raji. Mereka bertiga bertahan di kolong meja sambil menahan nafas menunggu suara langkah itu makin mendekat. Suasana menjadi hening, hanya suara langkah kaki yang terdengar makin mendekat. “plak…plak….plak….plak…..”


Tidak berapa lama tiba-tiba pintu ruang belajar terbuka dengan suara keletak yang khas. Sesosok bayangan tinggi yang tidak jelas memasuki ruangan dan bergerak menuju lukisan di dinding. Raji pucat setengah mati. Tubuhnya mengkeret memeluk Dimas. Dimas berjuang keras menahan cengkrama Raji yang membuatnya sesak nafas. Jantungnya berdegup sangat cepat. Pafi melotot tajam tidak bergerak melihat kaki orang itu. Setelah di hadapan lukisan sosok itu seperti membuka sesuatu di hadapannya. Sinar lembut menyeruak masuk dengan terbukanya sebuah pintu di hadapan sosok itu. Kemudian sosok itu memasuki pintu itu dan menghilang bersamaan dengan lenyapnya pintu itu dari tempat lukisan dinding itu berada dan kembali menjadi lukisan.

Dimas berhasil melepaskan cengkraman Raji. Pafi dan Raji memandang dengan seksama mencoba mengenali siapa yang baru saja masuk. Tapi suasana terlalu gelap dan hanya bentuk pakaiannya saja yang mereka kenali.

“Siapa dia ? sepertinya bentuk sosoknya kita tidak pernah lihat sebelumnya” Dimas bertanya pelan. Degup jantungnya masih belum teratur. Tangannya terasa dingin dan berkeringat.

“Siapapun dia, yang penting dia juga manusia, karena dia memakai pakaian dan kakinya menapak lantai.” Raji berusaha menenangkan diri. Mukanya sudah seputih kapas.

“Kau tadi memperhatikan gerakan yang dia lakukan ?” Pafi bertanya khusus kepada Dimas. Dia yang terlihat paling tenang.

“Tidak..tidak…. terlalu gelap, satu-satunya yang sempat kita lihat adalah saat cahaya lemah itu masuk melalui pintu gaib yang terbuka, itu pun Cuma bagian punggung saja” Dimas menjawab dengan menggelengkan kepalanya.

“Ayo kita harus segera kembali ke kamar” Raji berusaha bangkit dan keluar dari kolong meja.

“Jangan dulu, kita harus selidiki dulu apa yang tadi dilakukan orang itu” Pafi mencegah.

“Tidak, Raji benar Pafi, sebaiknya kita sudahi saja dulu malam ini. Sudah cukup apa yang kita lihat tadi. Kita bisa melanjutkannya besok setelah pulang sekolah.” Dimas bergerak keluar dari kolong meja. Pafi hanya mengangguk setuju walaupun hatinya masih begitu penasaran dengan yang baru saja dilihatnya. Dengan perlahan mereka bertiga kembali mengendap-endap keluar ruangan belajar dan kemudian berpisah di tangga. Dimas dan Raji kembali ke bangsal putra sedangkan Pafi ke bangsal putri.

------ “” ------

Pagi hari saat menuju sekolah Dimas, Pafi dan Raji sudah kembali terlibat dalam pembicaraan mengenai aksi yang mereka lakukan semalam.

Mungkin nanti malam kita bisa coba lagi.” Pafi berkata tak kalah penuh semangat dengan Raji. Mendengar usulan Pafi untuk kembali lagi nanti malam, Raji mengkerutkan alisnya. Sepertinya apa yang dirasakannya semalam muncul kembali dengan usulan Pafi tadi.

“Baiklah, nanti malam kita akan ke ruang belajar lagi pada jam yang sama. Kau setuju kan Raji ?” Dimas menyetujui usulan Pafi. Dimas menatap Raji yang hanya nyengir kecut.

“Kau yakin Dimas ? nanti malam kan malam Jum’at” Raji sedikit enggan.

“Kau ini penakut seperti ayam betina saja” Pafi menyergah Raji. Pafi sangat paham sifat Raji yang tidak mau disebut penakut. Kalau dia sudah dikatakan penakut, pastilah dia akan menyanggupinya. Benar saja, Raji balas menyergah Pafi.

“Aku tidak takut, aku hanya berhati-hati. Kita lihat nanti malam, siapa yang lebih berani” Raji menyorongkan kepalanya ke arah Pafi.

“Baiklah, kalau begitu tidak ada masalah” Pafi melipatkan kedua tangannya dan mendongakan wajahnya ke angkasa. Wajah Raji terlihat begitu gemas melihat tingkahnya, sementara Dimas hanya tersenyum-senyum melihat tingkah kedua sahabatnya.

Waktu terus berjalan, akhirnya mereka tiba juga di sekolah, sesaat sebelum memasuki gerbang sekolah Dimas memandang dua orang lelaki yang berdiri di pinggir gerbang. Keduanya mengangguk dan tersenyum kepada Dimas yang dibalas dengan anggukan dan senyuman pula oleh Dimas. Melihat perilaku tersebut Pafi dan Raji terheran-heran.

“Kau tersenyum kepada siapa Dimas” Pafi bertanya heran dan mengarahkan pandangannya ke arah yang sama dimana Dimas memberikan anggukannya.

“Kedua orang itu di pinggir gerbang” kata Dimas santai.

“Orang yang mana ?” Raji menoleh mencari dua orang yang dikatakan Dimas berdiri di pinggir gerbang.

“Itu, kedua lelaki itu, aku masih melihat mereka sekarang” Kata Dimas sambil menunjuk ke arah pinggir gerbang sekolah.

“Tidak ada siapa-siapa di pinggir gerbang itu, aku tidak melihat siapapun kecuali gapura” Pafi menegaskan apa yang dilihatnya.

“Iya, aku juga tidak lihat siapapun” Raji menguatkan apa yang dikatakan Pafi.

“Masa kalian tidak melihat mereka ? dua orang lelaki berpakaian jawa dan mengenakan blankon” Dimas masih saja menunjuk ke arah yang menurut Pafi dan Raji adalah kosong. Pafi dan Raji tetap menggeleng-gelengkan kepala mereka. Dimas mulai bingung dan mulai tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sendiri.

“Jadi…. Kalau aku dapat melihatnya sedangkan kalian tidak, lalu dinamakan apa mereka ?” Dimas mulai melempar sebuah pertanyaan yang bagi Raji membuat bulu romanya berdiri sejadi-jadinya.


“Hantu…hiiiiiiiiiiiii” Raji langsung nyeletuk dan merapatkan jalannya dengan Dimas. Dimas dan Pafi tetap diam berpikir, tak ada jawaban lain selain yang diberikan Raji untuk dapat menjelaskan keberadaan orang-orang gaib. Selama hidup mahluk gaib yang mereka kenal hanyalah berjenis malaikat, iblis, setan, jin, kuntil anak dan semua turunannya. Semuanya tidak ada yang berbentuk seperti manusia.

“Lalu apakah berarti orang yang tadi malam masuk ke dalam pintu gaib adalah juga hantu ?” Dimas tiba-tiba menyentak semua keheningan diantara mereka bertiga.

“Bukankah kalian juga melihat sosok itu semalam” Dimas bertanya memastikan kepada kedua sahabatnya. Pafi dan Raji terdiam bingung.

“Tidak, aku rasa yang kita lihat semalam itu bukanlah hantu, karena sosoknya begitu nyata. Kita juga merasakan ketukan langkah kakinya” Pafi mencoba menepis pendapat Dimas. Raji hanya mengangguk-angguk sementara Dimas masih berpikir keras.

“Lalu apa hubungan sosok yang sama-sama kita bertiga bisa lihat dengan dua orang lelaki tadi yang hanya aku bisa melihatnya” Dimas kembali melemparkan pertanyaan kepada kedua sahabatnya. Tetapi sebelum mendapatkan tanggapan bunyi besi yang dikentongkan keras tanda masuk sekolah sudah dimulai. Ketiganya segera bergegas menuju kelas dimana pak Suryo guru hanacaraka sudah berdiri di depan pintu menunggu para siswa memasuki kelas. Ini satu-satunya kelas dimana Dimas menulis, karena pada pelajaran ini harus melakukan banyak latihan menulis.

“Selamat pagi anak-anak” Pak Suryo mengucapkan salam

“Selamat pagi pak guru” jawab seluruh anak-anak di kelas yang hanya berjumlah 40 orang. Semua anak-anak mulai mengeluarkan kertas dan alat tulis.

“Aku heran, kenapa kita harus belajar huruf-huruf yang sangat jarang kita gunakan dalam kehidupan kita sehari-hari” Raji menggerutu.

“Supaya kau mengerti kejayaan bangsamu jaman dulu, bahwa bangsa ini adalah bangsa yang pandai, dan tidak seharusnya dijajah seperti sekarang.”
Dimas menjawab gerutuan Raji dengan santai. Raji sangat terkejut dengan jawaban Dimas yang kali ini dirasakanya agak berbeda. Biasanya Dimas sangat berhati-hati dalam memberikan pendapat mengenai penjajahan.

“Tumben kau berkata agak lain mengenai bangsa ini, apakah karena pelajaran sejarah nasional Hindia Belanda pak Kusumo ?” Raji melirik Dimas dengan tersenyum.

“Sssssttt….jangan berisik, pelajaran sudah akan dimulai”

Pafi yang berada di meja di sebelah Raji memelototkan matanya ke arah Raji. Raji langsung merengut dan menarik kertas dan alat tulisnya, Dimas hanya tersenyum geli melihat tingkah kedua sahabatnya. Pelajaran pun dimulai, Pafi dan Dimas terlihat begitu menikmati menulis hanacaraka, sementara Raji terlihat begitu sengsara dengan banyak melakukan kesalahan goresan.

Tidak ada komentar: