Senin, 03 Maret 2008

BAGIAN 1 - MIMPI-MIMPI DIMAS

Kebun Jagung, huma dan api unggun mengepulkan asap tipis ke udara. Sudah lima hari sejak terakhir Dimas, Raji dan Pafi kembali dari dunia Narapati. Pikiran Dimas masih melayang. Keberadaan dunia tengah menjadi obsesi baru untuk dicari. Pak Narso asyik sekali membolak-balik beberapa bonggol jagung yang sedang dibakar di atas api unggun. Mbok Sinem merapikan nasi dan lauknya sisa makan di atas sebuah tampah bambu beralaskan daun pisang. Beberapa pincuk daun pisang sisa pakai bergeletakan di sebelah tampah. Pafi menciptakan angin puyuh kecil ke atas bara api tempat jagung sedang dibakar. Dimas dan Raji berjongkok di depan api menunggu dengan tidak sabar. Raji menutup hidungnya dengan tangan mencoba menepiskan asap yang berputar-putar di depan wajahnya. Matanya terasa pedas sekali terkena asap. Dimas membuat perisai gaib di depannya membuat asap melewatinya.
“Bagaimana dengan penelitian anak semua tentang kota Sunda Buana, apakah sudah selesai dikerjakan ?” Pertanyaan pak Narso terasa sangat aneh. Tidak pernah dan tidak biasa pak Narso menanyakan hal-hal diluar ladang jagungnya. Dimas agak terkejut mendengarnya. Dirinya lupa kalau dulu pernah bertanya mengenai Sunda Buana kepada pak Narso. Dan Pafi memberikan alasan ada tugas membuatnya.
"eh iya pak, sedang dikerjakan. " Pafi segera menutupi kegugupan Dimas.

"Bagaimana dengan perkembangan kemampuan anak semua ?" tanya pak Narso lagi.

"Masih sama pak, kami belum menemukan hal baru dalam pengembangan kemampuan kami" jawab Raji.

"Pengembangan kemampuan tidak bisa diajarkan oleh siapapun. Anak sendiri yang harus menemukannya sendiri sesuai dengan kesiapan kalian dan sifat-sifat yang kalian bawa. Anak semua harus mengolah semua kemampuan sampai tingkat tertinggi. Disitulah letak perbedaan seorang ksatria dengan rakyat biasa." Pak Narso terus membolak balik jagung di atas bara api. Sebuah yang sudang matang diberikan kepada Raji yang sudah seperti kucing melihat ikan.

"Apakah ada hal baru yang anak temukan belakangan ini?" tanya pak Narso.

"Ada pak, kemarin saya bermimpi" Dimas menyahut. Pak Narso langsung memberikan perhatian serius. Sisa jagung yang masih dibakarnya di angkat dan diletakan di atas lembaran daun pisang. Menceritakan hal-hal aneh baru yang mereka temui menjadi sebuah kebiasaan sekarang. Dimas tidak canggung lagi menceritakan semua hal aneh yang ditemuinya. Walaupun ada beberapa yang masih disimpannya sendiri. Termasuk petualangan mereka ke dunia Narapati.

"Mimpi apa nak Dimas ?" pak Narso kelihatan sangat ingin tahu.

"Saya bermimpi tentang sebuah perang di sebuah lembah di kaki gunung. Gunung itu meletus dengan dahsyat sekali. Kemudian sebuah cahaya keluar dari gunung itu dan mengeluarkan suara. Suara itu bicara tentang Buku Kehidupan. Kemudian menghilang dengan cepat. Bagaiamana pendapat pak Narso tentang mimpi saya tadi. Apakah ada sesuatu yang akan terjadi?" Dimas menceritakan ringkas apa yang dilihat dalam mimpinya. Tidak dijelaskan bagaimana Buku Kehidupan masuk melalui kepalanya. Dimas ingin hal ini tetap menjadi rahasianya sendiri dulu. Pak Narso diam saja. Pafi ikut menunggu jawaban pak Narso. Sedangkan Raji masih sibuk dengan jagungnya. Dimas lebih menginginkan reaksi pertama dari wajah pak Narso dari pada jawabannya. Dan Dimas tidak mendapatkannya. Pak Narso tetap tenang dan tidak memperlihatkan sebuah reaksi yang berbeda.
"Sepertinya mimpi nak Dimas aneh sekali. Sebuah perang di lembah sebuah gunung yang sedang meletus. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi ?” Pak Narso tetap memberikan reaksi yang tidak mengerti. Sejenak melihat kepada Mbok Sinem yang sedang ikut menyimak pembicaraan. Matanya menyiratkan rasa khawatir. “Lebih baik nak Dimas menggiatkan latihan semadi untuk meningkatkan daya pemusatan pikiran sehingga bisa terhindar dari mimpi-mimpi buruk.”

“Baiklah pak Narso, saya akan mencoba berlatih lagi.” Dimas menuruti nasehat pak Narso. Ada rasa kesal dalam hatinya. Bukannya mendapatkan jawaban tetapi malah disuruh latihan. Tetapi pikiran itu dibuang jauh.

“Untuk sementara saya minta anak semua tidak menggunakan kemampuan kalian dalam keadaan apapun. Berlatihlah memusatkan pikiran dan penyerapan tenaga. Jangan sampai ada yang dilepaskan.”

“Memangnya kenapa pak Narso” Raji sangat tidak setuju dengan saran pak Narso. Dalam pikirannya tak ada lagi kesenangan membuat Aryo dan gengnya harus mundur saat berusaha mengerjai mereka.

“Ini untuk kebaikan anak semua” Pak Narso kelihatan serius sekali. Raji tidak lagi bertanya ataupun mengeluh. Wajah serius pak Narso yang belum pernah dilihatnya cukup memberikan jawaban.

“Baiklah pak kami berjanji untuk mematuhi nasehat bapak” kata Dimas. Pak Narso bernafas lega mendengar kesanggupan mereka semua. Suasana kembali ceria, tangan Raji sudah menyambar satu bonggol jagung lagi. Dimas dan Pafi tidak ketinggalan mengambil bagian mereka.

---- *** ----

Pagi begitu cerah, kutilang di puncak pohon mangga begitu bahagia mengembangkan sayapnya. Sepertinya baru hari ini dia merasakan hangatnya siraman sinar matahari pagi tanpa terganggu oleh dentuman-dentuman meriam. Hampir setengah bulu di kepalanya rontok karena terlalu stres akibat bunyi keras bom yang setiap hari mengganggu acara makannya. Sisa-sisa pertempuran telah habis diguyur hujan semalaman, embun pagi berkilauan menyembul di ujung-ujung tajam rumput liar yang tumbuh di sepanjang pematang sawah.

Gerilya yang dilakukan tentara sekutu semalam telah mengguncang pusat kota. Sejak kemarin bungker-bungker Jepang telah di bombardier oleh pesawat-pesawat sekutu. Serangan malam itu begitu hebatnya baik di darat, laut dan udara. Burung-burung besi berseliweran di atas kota menjatuhkan bom-bom yang menghantam pusat-pusat logistik dan barak-barak prajurit Jepang. Hari ini dari yang terdengar di radio, Jepang telah menyerah. Hiroshima dan Nagasaki telah dibom atom. Kabarnya seluruh kota luluh lantak hanya dengan sebuah bom saja. Tetapi perang masih saja berkecamuk walau sifatnya sudah mulai sporadis, rupanya para prajurit Jepang belum mendengar berita pengakuan kekalahan negaranya atas sekutu.

Di sebuah tempat diujung timur kota Jogjakarta, jauh dari hiruk pikuk perang di sebuah desa dekat kota Magelang, di antara tiga bukit barisan Menoreh menjulang bernama Borobudur. Sebuah rumah kayu berdiri kokoh dengan atap genteng tanah liat khas jawa. Warna kayunya menunjukan usianya yang sudah sangat tua tapi tetap kokoh dengan pondasi batu kali berdiri dipinggir sebuah sungai yang tidak begitu besar tetapi sangat jernih airnya. Jendela kayu berventilasi kecil memancarkan sinar lampu minyak jarak yang menggantung ditengah ruang utamanya yang berukuran empat kali enam meter. Rasanya kedamaian didalamnya begitu jauh dari hiruk pikuk perang dunia kedua yang sedang ikut membawa negeri ini ambil bagian di dalamnya. Meja kayu sederhana terbuat dari jati tua dikelilingi empat kursi berukir berbentuk daun-daunan menghiasi ruangan itu. Lantai batu kali yang disusun begitu rapi dan tampak mengkilat hanya pada bagian yang sering dipijak. Dinding kayu ruangan utama dihiasi koleksi berbagai jenis tombak dan keris membuat wibawa pada ruangan yang memang terasa megah.

Pada ruangan lain dalam rumah itu terdiri dari 2 kamar tidur dan ruang makan sekaligus dapur yang dilengkapi dipan tempat lesehan. Aroma arang kayu begitu kental mengitari seluruh udara di ruang makan. Bagian langit-langit dapur yang bersemu hitam menampakan bekas-bekas kegiatan khas dapur dengan berbagai macam perlengkapan terbuat dari bambu dan logam yang menggantung di dindingnya.

Dari arah dapur, seorang laki-laki menggunakan blangkon, baju kerah jawa bergaris coklat dan kain batik bergambar daun coklat tua duduk di atas dipan. Usianya baru 40 an, wajahnya yang segar tampak sangat berwibawa terlihat melalui pancaran matanya yang tajam. Lelaki itu duduk bersila di atas dipan yang persis menghadap ruangan utama. Sambil menghisap cangklong tambakaunya dia memanggil lembut seorang anak laki-laki yang baru saja keluar dari ruang lain.

“Kemari anakku, mendekat pada ayah” sambil melambaikan tangannya. Anak yang kira-kira berumur tiga tahun itu tersenyum dan segera berlari kecil menghampiri lelaki tersebut.

“Dimas mimpi apa ?” katanya sambil meraih anak kecil tersebut ke atas pangkuannya.

“Cepang kalah, lepulik meldeka” Dengan lidah yang masih kelu dan belum lancar mengucap, kata-kata itu terlontar dari mulut anak kecil itu begitu saja tanpa mengerti maksudnya.

“Ohh..hooo..hoo….Jepang kalah, Republik merdeka” Lelaki itu mengulang ucapan anaknya dengan nada suara yang begitu tenang. Dia membetulkan posisi duduk anaknya di atas pangkuannya, sambil mengembangkan telapak tangannya ke arah sebuah baki bambu yang penuh dengan singkong rebus yang kemudian bergerak melayang sendiri ke arahnya. Anak kecil itu berteriak gembira melihat ayahnya melakukan hal itu. Dia bisa menggerakan benda-benda dengan tangannya.

“Ayah ajali Dimas sepelti itu” pinta si anak.

“Oh.ho..ho…Dimas mau belajar ?” katanya sambil mengelus kepala anaknya penuh kasih sayang. Si anak tersenyum gembira sambil mengambil sepotong singkong rebus dari baki bambu.

“Dimas…dimas….. bangun” Sebuah suara terdengar. Tubuhnya merasa diguncang-guncang. Dimas yang sedang tidur gelisah dalam mimpi bangkit dari tempat tidurnya.

“Ah………dimana aku….” Matanya merah, napasnya tersengal-sengal, keringatnya mengucur deras, memandang sekeliling ruangan.

“Dimas ini aku Raji, kau mimpi buruk lagi”.

Disebelahnya Raji telah duduk memegang bahunya berusaha mengajak Dimas berbicara. Mata Dimas masih memandangi seluruh ruangan dan tempat tidur berjejer orang-orang berbaring di kasur-kasur di dalam ruangan bangsal. Dimas mulai teringat kembali dimana dirinya berada. Bangsal ini adalah ruang tidur bersama yang sudah tujuh tahun ditinggalinya bersama Raji dan teman-teman senasib lainnya, tanpa ayah tanpa ibu, dan sekarang sahabat baiknya Raji sedang duduk dipinggir tempat tidurnya. Nelangsa terlihat dari guratan wajah ketika Dimas berusaha mencoba mengingat mimpinya tadi mimpi yang mulai menghantuinya sejak kembali dari dunia Narapati. Tiba-tiba saja dirinya merasakan kebahagiaan bersama ayah ibunya, walaupun hanya bisa dirasakan lewat mimpi-mimpi. Setiap kali Dimas berusaha menghitung usianya yang sekarang 13 tahun, dia benar-benar tidak bisa mengingat tahun yang dia jalani bersama kedua orang tuanya sejak terakhir ayahnya berkata akan mengajarinya dan menunjukan sesuatu. Hanya kalung kain hitam peninggalan terakhir kedua orang tuanya yang selalu melingkar di lehernya sejak bayi. Harapan dan kebahagiaan yang dulu tidak pernah terpikirkan olehnya kini dirasakan begitu menyakitkan. Matanya nanar, tidak mampu menjawab pertanyaan Raji. Raji hanya duduk menunggui sahabatnya.

Tiba-tiba saja bunyi bel berdering keras membangunkan seisi kamar, pagi itu masih pukul 5 dini hari, seorang perempuan berambut pirang masuk, dengan teriakan yang keras berkata dalam bahasa Belanda.

“vlug… vlug……vlug…goede morgen. Ei…. rrRaji kowe nggawe opo. Tumben kowe wis tangi toh.” Nyai Janis dengan campuran Jawa menunjukan jarinya ke arah Raji yang sedang duduk di samping Dimas. Raji hanya tersenyum, kembali ke tempat tidurnya mengambil handuk yang tergantung di pinggir tempat tidurnya. Anak-anak yang lain juga segera mengambil handuk yang tergantung rapi di tepi tempat tidur masing-masing dan bergegas keluar ruangan berjalan melalui koridor yang cukup lebar. Nyai Janis mengawasi mereka dari belakang dan kemudian menutup pintu bangsal. Dimas bergegas menyusul Raji menghindari tatapan Nyai Janis yang sangat ingin tahu. Sepanjang koridor menuju ruang mandi umum, Raji terus berusaha mengorek mimpi Dimas yang baru saja terjadi.

“Apakah kau mimpi hal yang sama kali ini?”

Raji setengah berbisik kepada Dimas dengan ekspresi wajah yang penuh ingin tahu. Dimas mengiyakan dengan mengganggukan kepalanya tanpa berkata apapun, kepalanya masih dipenuhi tanda tanya besar mengenai arti dari mimpi-mimpinya yang seakan tidak ada kaitannya dengan kehidupannya. Dimas merasakan ada kejanggalan dalam mimpi-mimpinya. Dimas merasakan ada ketidak cocokan waktu yang selama ini dicobanya untuk disingkap lewat mimpi-mimpinya. Tetapi kecurigaannya hanya disimpannya sendiri saja, Raji memang selalu diberitahu mengenai semua mimpi-mimpinya, tetapi Dimas tak pernah memberitahu Raji mengenai penafsirannya terhadap mimpinya sendiri.

Menurut yang didengarnya dari ibu asrama yang merawatnya, Dimas dititipkan karena kedua orang tuanya sudah meninggal dunia ketika dia berumur 2 tahun dan tidak ada saudara lain yang diketahuinya. Dari hal terakhir yang dia ingat adalah dia masih berusia 2 tahun sedang asyik bercengkrama dengan ayahnya. Ibu asrama kurang memberinya kepuasan dalam mengetahui asal-usulnya. Seakan dia merasa dirinya terlempar saja dari sebuah dunia lain ke tempatnya sekarang berada. Tak ada yang memberitahunya, bahkan Ibu asrama pun selalu menolak menceritakannya setiap Dimas berusaha mengetahui asal-usul keberadaannya. Rasa frustasi dan nelangsa terus menggandrungi hatinya, Dimas merasa ada bagian dari dirinya yang tidak dikenalnya sama sekali seringkali muncul dan dirasakannya.

Kembali setelah mandi, Dimas dan Raji sedang berusaha menyiapkan semua perlengkapan sholat menuju mushalla asrama. Azan subuh sudah berkumandang ketika mereka berdua memasuki ruangan musholla. Selesai sholat semua anak-anak biasanya melanjutkan untuk bersiap-siap melanjutkan aktifitas berikutnya. Jam tujuh semua anak laki-laki sudah bersiap-siap berangkat menuju sekolah.

Berjalan keluar asrama, hampir seluruh anak-anak yang tinggal di asrama itu berangkat ke sekolah. Dimas dan Raji bergegas berjalan di antara puluhan anak-anak yang lain. Sebelum sampai gerbang pagar, mereka bergabung dengan Pafi yang sudah menunggu di depan gerbang.

“Pafi, apakah kau sudah mengerjakan PR sejarah ?” Raji menyapa Pafi dengan wajah yang agak ramah kali ini.

“Hmmmm…tentu saja sudah dan kali ini kau tidak akan aku biarkan mencontek lagi”

Pafi menjawab dengan wajah yang bangga dan sedikit mengejek. Wajah Raji berubah cemberut, lalu pandangannya diarahkan kepada Dimas dengan senyum penuh harap. Dimas yang melihat wajah Raji segera menjawab pelan.

“Maafkan aku Raji, sudah waktunya kau berusaha dengan kemampuanmu sendiri. Aku yakin kau lebih dari mampu untuk mengerjakannya sendiri.”

Mendengar jawaban itu Raji menunduk murung. Setelah semalam dia gagal berusaha untuk membuat PR nya sendiri, kali ini usahanya yang terakhir tidak berhasil membujuk Pafi dan Dimas meminjamkan PR mereka kepadanya.

“Aku sudah semalaman berusaha membuat PR nya, tapi tetap aku tidak bisa menyelesaikannya. Ayolah, kalian kan sahabatku, masak untuk kali ini saja tidak mau membantu” Raji merajuk yang diakhiri dengan senyum menunjukan gigi-giginya yang berbaris rapi dan alis yang diturun-naikan. Karuan Pafi makin sebal melihatnya, dengan wajah yang cemberut dia membuang muka.

“Ini bukan kali pertama kau tidak menyelesaikan PR mu, kami sudah terlalu sering meminjamkan PR kepadamu, karena aku sahabatmu aku tidak mau meminjamkannya lagi, karena nanti kau akan jadi orang bodoh dan aku tidak mau mempunyai sahabat bodoh” Pafi menyudahi omelannya dengan menjulurkan lidahnya.

“Benar yang Pafi bilang Raji, kau harus membuat PR mu sendiri”. Kata Dimas pelan, diikuti ekspresi Raji yang tampak kecewa.

“Kalau begitu ceritakan tentang mimpimu semalam” Raji bersemangat lagi.

“Kau mimpi lagi ? Mimpi apa semalam. Kau harus ceritakan kepada kami” Pafi ketularan Raji. Dimas terlihat malas sekali menceritakannya. Tapi wajah kedua sahabatnya yang begitu bersemangat mendengarkan membuat hatinya tidak tega mengecewakan mereka. Dimas menyerah.

“Baiklah, aku akan ceritakan.” Raji dan Pafi bersorak kegirangan. Dimas menceritakan semua mimpi yang dilihatnya semalam. Pada beberapa bagian dia kelihatan malas sekali melanjutkan. Tapi Raji dan Pafi tetap mendengarkan dengan cermat. Tak sekalipun mereka mengalihkan perhatian.

“Kau ingin meminta pendapat pak Narso tentang mimpimu ?” tanya Raji.

“Tidak, aku pikir mimpiku yang ini lebih merupakan mimpi pribadiku sendiri. Jadi aku tidak akan menceritakannya pada pak Narso” Dimas menolak ide Raji.

“Tapi mimpimu sebenarnya memang aneh. Bangsa Jepang kan ada di utara dan mereka memang sedang terlibat perang di sana. Tapi tidak di sini.” Pafi mulai beranalisa. Kebiasaan yang sering dilakukannya. Analisa Pafi memang sering sekali tepat. Biasanya mereka akan selalu mengikuti insting Pafi dalam melakukan sesuatu.

“Mungkin mimpimu bercerita tentang masa depan ? Biasanya mimpi kan juga merupakan pertanda tentang suatu kejadian di masa depan.” Raji terdengar lebih cerdas dari biasanya.

“Bisa jadi begitu. Tapi lebih baik kita cari saja di buku tafsir mimpi. Atau buku tentang ramalan.” Kata Pafi.

“Ramalan Jayabaya!” seru Raji. Dimas dan Pafi saling pandang. Sepertinya jawabannya sudah mereka dapatkan dari Raji.

“Kita kumpul nanti di ruang belajar setelah sekolah selesai.” Raji dan Pafi setuju dengan usulan Dimas.

Mereka duduk di kelas yang sama, sekolah mereka tidak jauh dari asrama, kurang lebih 15 menit dengan berjalan kaki menyusuri jalan utama menuju pusat kota Jogjakarta. Sekolah mereka tidak jauh dari jalan dekat kraton kesultanan Jogjakarta, setiap sore pulang sekolah mereka biasanya sempatkan berjalan melewati alun-alun dalam kraton sampai tembus jalan pasar malioboro.

Hari itu pelajaran sejarah nasional Hindia Belanda, setelah kemarin-kemarin mereka begitu bosan memperlajari sejarah eropa dan kerajaan Netherland, sekarang mereka cukup gembira dengan pelajaran sejarah tanah tempat mereka tinggal sekarang. Tetapi seringkali menjadi menyebalkan dengan cerita kehebatan VOC merampok negeri ini. Dalam ruangan kelas yang berbau debu, didepan terdapat papan tulis kapur berwarna hitam yang sudah sulit sekali dibersihkan bekas goresan tangan sebelumnya. Di atas papan tulis tergantung gambar Ratu Netherland yang begitu anggun mengenakan baju warna ungu yang hampir semua orang diruangan itu berpikir aneh karena tidak seperti kebanyakan orang disini berpakaian. Kursi guru yang masih kosong menjulang tinggi dengan ukiran flora seperti kursi kebesaran. Tiba-tiba dari arah pintu masuk seorang lelaki tua berjenggot putih dengan mengenakan kopiah, berbaju jas pegawai negeri warna krem. Seketika seisi ruangan kelas bangkit dan mengucapkan salam.

“Goede morgen”. Pak Kusumo mengangguk dan tersenyum. “ Bagaimana kabar kalian hari ini ?” sapanya ramah kepada semua murid kelas di dalam ruangan. Seluruh siswa menjawab.

“Baik pak guru”.

“Baiklah, hari ini kita akan mempelajari sejarah Hindia Belanda, silahkan mengeluarkan buku catatan dan dengarkan baik-baik”.

Pak Kusumo terus menjelaskan secara ringkas masing-masing episode sejarah diikuti gerakan semua siswa yang sibuk mencatat dengan tergesa-gesa mengikuti kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Pak Kusumo. Gerakan kepala menengok ke kiri dan ke kanan para siswa memastikan tulisan yang sempat tertinggal keteteran. Setiap titik yang ditandai dengan diam sejenaknya Pak Kusumo dimanfaatkan semua siswa untuk mengoyang-goyangkan tangannya yang pegal dan belepotan dengan tinta. Setiap sebuah kalimat dimulai kembali oleh Pak Kusumo kelihatan Raji begitu sibuk dengan ekspresi yang penuh penderitaan terus mencatat dengan kesal. Sejarah yang ditulisnya bukan seperti yang diharapkan sebelumnya. Isinya Cuma tentang penaklukan Belanda terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara. Rasanya seperti terdengar menjadi sebuah penjajahan dari pada kebanggaan.

Waktu terus bergulir sampai akhir pelajaran sejarah selesai. Raji sudah setengah mati pegalnya mencatat, sementara Dimas tidak pernah mencatat sejak awal, dia asyik mendengarkan apa yang diceritakan oleh guru. Kebiasaanya sudah dimaklumi seluruh isi kelas dan guru-guru yang mengajar di sekolah itu, karena sebagai timbal baliknya, Dimas dapat mengulang kembali semua yang diuraikan oleh guru seperti sebuah rekaman. Daya ingat Dimas sangat kuat, jadi dia sering dijadikan tempat bertanya bagi para siswa yang ketinggalan catatan disekolahnya. Dimas sendiri tidak mengerti kenapa dia memiliki ingatan yang sangat kuat seperti itu, tapi kalau mencoba mengingat 3 tahun waktu yang hilang, dia sama sekali tidak sanggup melakukannya. Dia bahkan tak ingat wajah ayah dan ibunya. Hal membuatnya kadang merasa kesepian.

Pelajaran terakhir telah selesai, Dimas, Raji, dan Pafi segera bergegas meninggalkan ruang kelas. Hari sudah siang tepat pukul satu, matahari yang sudah sangat tinggi diubun-ubun mulai sedikit condong ke arah barat. Hari yang amat tidak menyenangkan untuk berjalan kaki selama 15 menit di jalan yang panas berdebu. Dimas, Raji dan Pafi berjalan beriringan, di antara banyak siswa yang juga pulang bersamaan.

“Lihat, Shinta terus-menerus memandangku, dia pasti naksir padaku” Raji cengengesan.

“Huh…sok kegantengan” Pafi membuang mukanya.

“Memang aku ganteng kok, sebenarnya kamu juga suka kan?” Raji mengelus dagunya menyorongkan wajahnya ke Pafi yang persis disebelah kirinya.

Ekspresi wajah Pafi merah padam, wajahnya ditundukan sambil berpura-pura menutup kupingnya untuk menutupi rona mukanya yang berubah. “Dasar lelaki”, katanya dalam hati. Sepanjang jalan, Raji terus mengoceh yang sesekali ditimpali oleh Dimas yang terus menerus tertawa melihat tingkah Raji yang dibalas sewot oleh Pafi. Dimas amat paham dengan tingkah polah kedua sahabatnya ini yang selalu bertengkar. Sama seperti waktu-waktu lalu yang mereka habiskan bersama. Mereka bertiga sudah berjanji tidak akan pernah membicarakan lagi soal Kerajaan Narapati.

Sepanjang jalan pulang kembali ke asrama Dimas, Raji dan Pafi melalui jalan tadi pagi yang mereka lalui. Mereka telah menghabiskan langkah mereka di atas jalan utama dan berbelok menuju jalan desa tepat lurus menuju asrama. Sepintasan Dimas melihat kemunculan dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar yang sangat tiba-tiba muncul di depan mereka. Keasyikan mengobrol menyebabkan mereka tidak menyadari dari mana arah datangnya kedua orang tersebut. Ketika keduanya berpapasan mereka tersenyum kepada Dimas dan dibalas senyum juga. Raji yang melihat senyum Dimas kepada dua orang yang baru saja melewati mereka mengkerutkan alisnya.

“Kau mengenal mereka ?” katanya sambil menatap wajah Dimas.

“ Eh… tidak, mereka tersenyum ya… aku balas senyum” Dimas menjawab seadanya.

“Tapi sepertinya jalanan ini kosong, tidak ada siapapun di depan kita”

Pafi menambahkan sambil mengacungkan jari menunjuk jauh jalan desa yang sedang mereka lewati.

“Hiii… jangan-jangan hantu ya…” Raji bergidik merinding.

“Sudah…sudah jangan dilanjutkan” sergah Pafi yang mulai merasakan bulu romanya berdiri tegak dan tengkuknya menebal. Berhadapan dengan tukang pukul Pafi lebih berani dari pada harus berhadapan dengan yang tidak jelas kelihatan. Mereka bertiga kemudian bergegas menuju asrama dan tidak lagi menceritakan apa yang telah mereka lihat.

Seperti yang telah diperjanjikan. Dimas, Raji dan Pafi berkumpul di ruang belajar mencari bahan tentang ramalan Jayabaya. Pafi sudah mengambil setumpuk buku cerita lama. Raji yang paling bersemangat membaca. Raji paling menyukai sejarah nusantara. Menurutnya sejarahnya lebih hebat dibandingan Kerajaan Belanda yang tidak sepersepuluh wilayah Nusantara. Ramalan Jayabaya banyak dibicarakan di kalangan masyarakat Jawa. Pemerintah Hindia Belanda begitu takut dengan Ramalan itu. Karena masyarakat Jawa begitu percaya dengan Ramalan Jayabaya. Banyak tokoh-tokoh pemuda pergerakan mengutip ramalan Jayabaya dalam siding ‘Volksraad’ untuk menggerakan rasa nasionalisme. Pafi membolak-balik bacaannya. Raji sudah berkali-kali membaca semua kalimat-kalimat dalam Jangkha Jayabaya. Tapi tidak satu pun dari kalimat-kalimat itu yang dimengerti.

“Mungkin sebaiknya kita hentikan saja. Sepertinya memang masa depan adalah sesuatu yang harus kita biarkan dengan misterinya sendiri. Seperti kata-kata Ratu Kerajaan Selatan waktu itu ‘Masa depan adalah misteri, tidak mungkin ada yang bisa menerkanya. Begitu banyak jalan yang harus dipilih dari setiap nasib. Bahkan para pendahulu Bangsa Sinar Avedi dengan pikiran sebening intan masih samar melihatnya. Perjalanan harus dijalani dan diterka sendiri pada setiap persimpangan. Masa depan akan datang dengan sendirinya. Tetapi dia tidak akan lebih dari sekedipan mata, karena setelah itu dia akan menjadi masa lalu’ Tugas kita hanyalah menjalani hidup kita sekarang sebaik-baiknya. Memanfaatkan setiap waktu yang ada.” Dimas kasihan melihat kedua sahabatnya yang terlihat lelah.

“Yah, mungkin kau benar Dimas.” Pafi terlihat pasrah. Raji tidak menolaknya.
Mereka kemudian menyudahi semua pencarian mereka dan menyerahkan semuanya kepada masa depan itu sendiri.

Dimas, Raji dan Pafi meninggalkan ruangan belajar yang masih ramai oleh anak-anak yang lain. Hari ini sepertinya banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Dimas sudah menyelesaikan semua PR nya dua hari lalu. Sekarang sedang dipinjam Raji sebagai ‘bahan pertimbangan’ kalau Raji tidak bisa mengerjakannya. Mereka berjalan ke kanan menyusuri koridor hingga ruang tengah dekat tangga. Tujuan mereka sekarang ke ruang makan. Setelah melewati tangga yang menuju ke lantai dua kembali menyusuri koridor lalu belok ke kiri. Sesaat sebelum masuk ke pintu ruang makan. Cincin di jari kanan Dimas seperti bergetar dan menyala.

“Hey sebentar! Lihat cincin kebenaran menyala. Ada apa ya ?” Tangan Dimas seperti bergerak sendiri mengarah terus menyusuri lorong melewati pintu ruang makan. Kemudian berhenti persis di sebelah pintu menuju gudang bawah tanah tempat menyimpan stok makanan. Sebuah pintu muncul di sebelah pintu menuju ruang bawah tanah. Awalnya pintu itu tidak ada. Kalau pun ada pasti masuk ke dalam ruang tidur Mbok Sinten. Yang persis di sebelahnya.

“Pintu apa lagi ini ? Mengapa dia muncul karena cincin kebenaran ini ?” kata Raji setengah berbisik.

“Entahlah! Cincin ini kan memang akan mengungkap apapun yang dirahasiakan.” Kata Dimas.

“Ssttt ada orang!” Pafi member peringatan. Tiba-tiba beberapa anak yang hendak makan siang muncul di ujung koridor. Dimas segera menarik tangan kanannya yang terjulur ke pintu itu. Mereka segera bergegas menuju pintu ruang makan.

Setelah mengambil bagian makan masing-masing Dimas, Raji dan Pafi mengambil meja di bagian pojok yang cukup jauh dari anak-anak yang lain. Mata Nyai Janis tidak lepas dari mereka. Pafi menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Matanya berhenti pada tatapan Nyai Janis. Segera Pafi membuang wajahnya ke makanannya.

“Nyai Janis mengawasi kita. Sebaiknya kita tidak membicarakannya disini” Dimas dan Raji mengangguk setuju. Mereka hanya melanjutkan makan siang saja tanpa membicarakan apapun. Nyai Janis masih terus mengawasi mereka dengan lekat.

---- *** ----

“Kita sudah tahu kalau ada pintu gaib di lukisan dinding di ruang belajar. Tapi ini pintu yang lain. Dan pintu itu hanya terlihat saat kita mendekatkan cincin kebenaran. Jadi menurut kalian ini apa lagi ?” Dimas memulai pembahasan mereka. Pafi kelihatan serius sekali memikirkan hal dibalik kemunculan pintu gaib itu. Tetapi Raji kelihatan santai.

“Kita datangi saja! Mana kita tahu kalau tidak membukanya. Kita kan belum sempat membukanya.”

“Ya bagaimana membukanya pintu itu tidak memiliki gagang sama sekali.” Pafi agak terpancing dengan sikap Raji.

“Mungkin kita datangi sekali lagi saja sekarang” usul Dimas

“Sekarang ? kau gila ini kan masih sore. Masih banyak orang berlalu lalang” Pafi tidak setuju dengan gagasan Dimas.

“Kau ingin melakukannya nanti malam maksudmu ?” Raji berkata dengan nada yang agak keberatan. Mengganggu jam tidur paling pamali buat Raji.

“Yah aku kira paling aman memang nanti malam” kata Dimas dengan berat hati.

“Masak kau setuju dengannya Dimas ?” Raji makin keberatan. Terbayang suasana hangat di kasurnya harus diganti dengan rasa dingin dan gelap.

“Dari pada ketahuan. Kau pilih mana ?” Pafi menantang Raji. Raji tidak bisa menjawab lagi selain setuju.

Malam hari mereka sudah berada di lantai bawah mengendap-enap. Raji berjalan setengah diseret Dimas. Mulutnya masih menguap lebar setiap saat. Saat di sebelah pintu gudang bawah tanah cincin kebenaran di tangan kanan Dimas bergetar dan menyala. Sebuah pintu terlihat. Tidak ada gagang sama sekali yang bisa ditarik untuk membuka. Pafi mendorong pintu itu. Tapi tidak bergerak sama sekali. Cincin di tangan kanan Pafi juga bersinar. Dimas lalu menarik Raji dan menyorongkan tangan kanannya ke depan pintu. Cincin di tangan kanan Raji bersinar terang. Kini tiga cincin telah bersinar terang di depan pintu itu. Sebuah tulisan muncul perlahan bersinar keemasan. Tulisan dari bahasa yang dimengerti oleh Dimas. Bahasa Sinar Avedi.

“Di sini Gandrung Mocopati putra Narajalaseva pernah berdiri dan masuk ke dalamnya.”

“Gandrung! Apakah dia hidup selama itu!” Pafi setengah memekik. Raji yang matanya masih berat tiba-tiba terbuka lebar mendengar nama itu.

“Gandrung! Mana Gandrung!” Raji mencari-cari menengok kesana kemari. Dimas menyorongkan wajah Raji ke depan pintu. Raji melihat tulisan bahasa Sinar Avedi di atas pintu.

“Bisa saja, dia kan setengah Narapati setengah Sinar Avedi. Dia mewarisi keabadian ibunya yang Sinar Avedi.” Kata Dimas sambil memperhatian tulisan-tulisan Sinar Avedi yang terukir di pintu.

“Sampai sekarang aku masih belum juga bisa membaca tulisan ini. Bahasa Sinar Avedi sangat rumit.” Kata Pafi mendekatkan matanya pada tulisan itu.

“Tiga cincin dari tiga sahabat adalah kuncinya” Tiga buah ukiran berbentuk kepalan tangan dengan lubang ditengahnya seukuran cincin muncul di bawah tulisan itu.

“Ayo letakan cincin kita disini.” Raji dan Pafi mengikuti perintah Dimas. Kemudian mereka meletak masing-masing tangan mereka ke dalam tiga lubang itu. Sesaat kemudian pintu itu terbuka. Lalu masuk ke dalam ruangan di baliknya.

Sebuah tangga menurun ke bawah yang diterangi oleh cahaya-cahaya obor di pinggir dindingnya. Di bawah tangga terdapat sebuah ruangan yang besar dan terang kosong. Bentuk yang bundar mengingatkan mereka pada ruangan keinginan di kota Sunda Buana.

“Ruangan ini mirip sekali dengan ruang keinginan” kata Pafi.

“Bukan mirip, tapi ini adalah ruang keinginan” Dimas menunjuk sebuah tulisan bahasa Sinar Avedi yang terpahat mengelilingi dinding bagian atas ruangan.

“Dahulu Gandrung Mocopati putra Narajalaseva pernah berada di ruang keinginan ini. Menunggu dan memendam rindu pada tiga sahabat terbaiknya datang. Mengatakan padanya kalau mereka masih mengingatnya.”

Pafi nyaris menangis mendengar arti tulisan yang di baca oleh Dimas. Raji hanya tertegun mendengarnya.

“Tapi tanpa pintu” kata Raji singkat.

“Dia menunggu kita. Tentu kami masih mengingatmu Gandrung. Kau sahabat terbaik kami.” Kata Dimas pelan. Tiba-tiba puluhan pintu muncul di seluruh dinding. Pafi, Raji tertawa senang melihat perubahan itu. Dimas berlari menghampiri sebuah pintu.

“Kita bisa pergi kemanapun sekarang!” Teriak Dimas.

“Aku mau ke keraton Jogja” Raji membuka sebuah pintu untuk uji coba pertama. Saat pintunya dibuka tampak sebuah lapangan kecil di depan pendopo keraton di baliknya. Suasana sama gelapnya berarti pintu itu menunjukan waktu yang sama.

“Ini ruang keinginan sungguhan! Terima kasih Gandrung!” giliran Raji berteriak keras. Pintu di hadapannya ditutup kembali.

“Sekarang kita mau pergi kemana ?” Raji malah lebih semangat sekarang. Lebih semangat dari kantuknya beberapa saat lalu.

“Kita tidur” Pafi meledek. Raji merengut. Pafi tertawa terbahak-bahak melihat raut muka Raji. Begitu pula Dimas.

“Tentu saja jalan-jalan anak bodoh. Terima kasih Gandrung. Tapi jalan-jalan kemana tengah malam begini ?” Pafi menggoda Raji. Raji kembali tersenyum.
Dimas dan Raji berpikir kemana mereka akan pergi.

“Bagaimana kalau ke Batavia?” usul Pafi.

“Ide bagus! Aku setuju! Kau bagaimana Raji” Belum lagi Raji menjawab mata Dimas melihat sebuah tulisan halus di atas sebuah pintu. Dimas mendekat. Pafi dan Raji tak lagi berbicara. Keduanya ikut mendekat. Samar Dimas menyebutkan isi tulisan itu.

“Jika pulau Jawa tinggal selebar daun kelor, dan datang jago kate wiring kuning dedege cebol kepalang yang menguasai pulau jawa datanglah ke gerbang timur menjemput Nirwana.”

“Pintu ini khusus dibuat Gandrung untuk menyampaikan pesannya.” Dimas membuka pintu itu perlahan. Sebuah ruangan persis rumah Gandrung di Sundabuana berada di balik pintu itu. Meja makan dan semua kursinya yang terbuat dari kayu berukir indah. Kamar-kamar lain dimana Dimas, Raji dan Pafi menginap. Dapur tempat mereka keluar melalui cerobong sampah. Semuanya membangkitkan kenangan. Terbayang sekali Gandrung yang begitu kesepian sejak perpisahan mereka. Sebuah gulungan tergeletak di atas meja makan. Dimas mengambil gulungan berikat tali rami kemudian melepaskannya. Gulungan itu kosong. Tidak ada tulisan apapun di atasnya.

“Mengapa Gandrung meninggalkan gulungan naskah kosong ?” Dimas membolak-balik naskah kosong itu. Tidak petunjuk apaapun ditemukan.

“Kira-kira apa maksudnya ?” Raji mulai berpikir keras. Hal yang benar-benar ajaib terjadi padanya.

“Gandrung kan berdarah campuran Narapati dan Sinar Avedi. Dan seumur-umur dia sangat menyukai teka-teki Sinar Avedi. Pasti dia melakukan hal yang sama. Dia membuat pintu ruangan ini hanya bisa dilihat jika dekat dengan Cincin Kebenaran. Lalu menyembunyikan pintu-pintu ruang keinginan dari orang yang tidak pernah mengingat dan mengenalnya. Pasti juga dia membuat naskah ini tidak terbaca oleh siapapun kecuali yang dikehendakinya.” Pafi mengusap kertas naskah itu.

“Apa yang dia inginkan dari kita, kalau seandainya kau adalah Gandrung.” Dimas melontarkan pertanyaan pada Raji dan Pafi juga pada dirinya sendiri.

“Jelas dia membuatkan kita ruang keinginan yang sama persis dengan yang ada di kota Sundabuana. Artinya dia menginginkan kita pergi ke suatu tempat. Dia juga menyuruh kita datang pada waktu yang masih dia rahasiakan dalam bentuk kalimat rahasia. Dia juga membuat sebuah pintu langsung menuju ruangan yang persis dengan rumahnya dulu, artinya dia ingin kita mengingatnya dan petualangan-petualangan yang pernah kita lalui bersamanya. Dan dia meninggalkan naskah kosong, untuk kita…….” Pafi tidak dapat meneruskan kata-katanya lagi. Tidak ada yang terpikirkan olehnya maksud dari naskah kosong itu.

“Kau ingat ! saat terakhir kita berpisah dengannya. Aku menyerahkan naskah Agung Sinar Avedi padanya untuk melanjutkan pencarian tempat di dunia tengah. Mungkin dia menginginkan kita ke dunia tengah dengan naskah ini ?”

Pafi berjalan mengelilingi ruangan, Raji memeriksa tiap kamar. Sementara Dimas masih memegangi naskah kosong itu. Saat Raji dan Pafi berada di ruangan yang lain tiba-tiba naskah itu bersinar mengeluarkan tulisan-tulisan bahasa Sinar Avedi yang bergerak liar. Dimas berteriak memanggil kedua sahabatnya.

“Raji, Pafi! Cepat kemari!” Raji dan Pafi bergegas menghampiri Dimas. Tetapi semua aksara itu hilang begitu saja.

“Tadi muncul tulisan-tulisan Sinar Avedi di atas naskah ini. Sama persis dengan naskah Sinar Avedi yang baru dibuka. Aksaranya bergerak liar tidak beraturan.” Dimas mencoba menjelaskan apa yang dilihatnya. Tapi Raji dan Pafi tidak melihat apapun kecuali naskah kosong seperti yang sebelumnya mereka lihat.

“Kenapa hilang ? apakah kau melakukan sesuatu tadi ?” tanya Pafi

“Entahlah, aku tidak melakukan apa-apa. Semuanya hilang begitu saja saat aku memanggil kalian berdua.” Dimas tidak dapat menjelaskan. Raji dan Pafi malah tambah bingung.

“Mungkin lebih baik kita kembali ke kamar saja. Kita lanjutkan semuanya besok.” Usul Pafi.

“Ya, lebih baik begitu.” Raji setuju usulan Pafi. Dimas tidak lagi bisa berkata apa-apa. Apa yang baru saja dilihatnya benar-benar tidak dimengerti. Setelah menggulung kembali naskah itu. Mereka meninggalkan ruangan.

“Agar lebih cepat sepertinya kita bisa menggunakan pintu-pintu ini untuk sampai lebih cepat ke kamar tidur.” Kata Raji.

“Ide yang bagus, ayo kita mulai!” Sambil mengucapkan tujuan mereka masing-masing mereka membuka pintu bersama-sama. Akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan gelap yang penuh dengan tempat tidur yang berjajar rapi. Kemudian mengendap-enap menuju tempat tidur masing-masing.

Tidak ada komentar: