Senin, 03 Maret 2008

BAGIAN 4 - NASKAH KOSONG

Aryo tidak pernah berhenti mengawasi. Sepertinya dia ingin sekali menangkap basah Dimas. Dimas tahu setiap kali diikuti. Dimas seringkali membuat Aryo lupa kalau dia kepergok Aryo. Meninggalkan Aryo yang dalam posisi kebingungan. Pernah sekali Aryo nyaris melihatnya membuka pintu ruang keinginan. Untungnya dia tidak sempat melihatnya.

Siang itu pada hari libur, Dimas, Raji dan Pafi akhirnya bisa masuk ke dalam ruang keinginan setelah berulang kali menunggu kesempatan. Mereka bertiga memutuskan untuk menghabiskan waktu masing-masing sendirian. Pafi masuk ke dalam ruang perpustakaan besar di Batavia. Hari minggu perpustakaan itu tutup sehingga Pafi dengan bebas membuka buku-buku yang ingin di bacanya. Raji menuju pelabuhan Sundakelapa dimana banyak kapal-kapal dagang berlabuh. Sedangkan Dimas menghabiskan waktunya di dalam ruangan rumah Gandrung.

Dimas melangkah mendekati naskah kosong itu. Sudah beberapa hari sejak menemukannya dia tidak pernah menyentuh sekalipun naskah itu. Hatinya ragu bisa kembali menemukan hal yang pernah dilihatnya sekilas. Dimas meraih naskah itu dan melepaskan ikatannya. Naskah itu terbuka dengan mudah dan dibaringkan di atas meja. Sesaat kemudian muncul tulisan-tulisan yang bergerak liar. Dimas terpekik senang melihatnya. Dalam hatinya berharap agar tulisan itu tidak menghilang lagi. Tulisan-tulisan itu tetap bergerak liar terus menerus. Lalu Dimas mengucapkan sebuah mantra pembukanya. Mantra yang sering diucapkannya di Sundabuana.

“Ingdorthium thor savantharau anglashiatvan” Perlahan semua aksara itu melambat dan menyusun menjadi kalimat.

“Berjanjilah membacanya sendiri, mengetahuinya untuk sendiri, membaginya hanya untuk sendiri” Tulisan itu hanya berhenti disitu. Dimas terdiam bingung. Lalu dia ingat kalimat pembuka yang membuat semua pintu-pintu di ruang keinginan muncul.

“Aku berjanji membacanya sendiri, mengetahuinya untuk sendiri, membaginya hanya untuk sendiri” Dimas mengucapkan janjinya. Seluruh kalimat itu perlahan pudar berganti sebuah naskah yang panjang dengan banyak tulisan.

“Sahabatku, aku hanya memintamu membaca sendiri, mengetahui untuk sendiri dan membaginya hanya untuk sendiri karena apa yang aku ceritakan hanyalah milikmu dan hakmu sendiri. Cerita ini aku mulai dari sahabat tua yang membawa cerita kepadaku tentang sebuah negeri tidak terbit dan tidak terbenam. Di kaki puncak tertinggi dimana kahyangan dewa-dewi bersemayam. Saat kegelapan datang di barat. Petir menggelegar berhari-hari. Terang datang di timur. Menghentikan waktu. Menerangi dunia tengah. Membawa kelahiran bintang. Bintang yang telah menjadi gelap. Dan hanya tersisa teman lahirnya di bumi. Bintangmu telah hitam sahabatku. Bintang yang selalu kau cari. Bintang yang selalu kau rindu. Bintang yang membawa kehidupanmu. Kau harus membawa terangnya kembali dengan membawa teman lahirnya. Menyucikan kembali lahirnya. Membebaskan jiwanya. Membawa kembali pada kelahiran yang kedua. Terbebas dari tujuh cabikan jiwa. Hanya dengan menyatukan bintang dengan teman lahirnya sang jiwa kembali utuh. Kegelapan hanya akan tenang bersama terang.”

Dimas hanya diam. Dia hanya teringat kalimat terakhir yang sangat mirip dengan naskah ramalan Sinar Avedi. Pikirannya bertanya mengapa Gandrung mengingatkan kembali tentang naskah itu. Dimas menggulung kembali naskah itu dengan tali pengikat. Tangannya menggaruk-garuk meja. Matanya menerawang. Kilasan-kilasan saat mereka sedang makan bersama di meja yang sama terlihat jelas. Ibu Gandrung yang sangat cantik dan lembut membagikan makanan untuk mereka. Dimas tertawa melihat Gandrung menjatuhkan sambal di hidungnya. Dia blingsatan akibat pedasnya. Lamunan Dimas pecah oleh kedatangan Raji dan Pafi.

“Kalian sudah datang. Bagaimana disana ?” Dimas bangkit dari kursi.

“Wow hebat-hebat sekali. Tidak banyak perbedaan antara kapal-kapal di Sunda Kelapa dengan yang aku lihat di pelabuhan kota Rajatapura. Aku heran mengapa kita bisa dikuasai oleh Belanda. Padahal kebudayaan dan kemampuan maritim kita tidak kalah hebat dengan Belanda.”

“Kau sendiri bagaimana Pafi”

“Aku menemukan ini! Aku pergi ke perpustakaan pusat di Batavia. Ternyata di sebuah ruangan khusus seperti tempat penelitian naskah, banyak sekali disimpan naskah-naskah kuno bangsa ini. Yang satu ini sengaja aku ambil karena naskah ini memiliki hurup yang mirip dengan naskah Sinar Avedi. Tapi aku tidak tahu isinya. Mungkin kau bisa bacakan.” Pafi menyodorkan sebuah naskah yang telah dibikin dengan kulit buku yang baru. Naskah itu cukup tebal. Tiap naskah diselingi oleh kertas baru dengan tulisan romawi bahasa Belanda. Sepertinya peneliti naskah ini telah berhasil menterjemahkan isi dari naskah kuno itu. Naskah itu memiliki aksara yang mirip dengan aksara Sinar Avedi, hanya sedikit ornamen dan garis panjang yang membedakannya.

“Caturyuga Nusantara” Dimas memulai kalimat pertamanya.

“Empat Jaman. Jaman Emas, Jaman Perak, Jaman Perunggu, Jaman Besi. Naskah ini menceritakan empat buah jaman yang pernah dilalui oleh Nusantara. Babad Narapati, Babad Sarwajala, Babad Sundapura, Babad Sriwijaya, Babad Mataram, Babad Majapahit, Babad Walisanga, Babad Tunjung Putih, Babad Kaliyuga. Naskah ini dibagi menjadi Sembilan babad. Kau yakin menemukannya di perpustakaan pusat ?” Dimas agak terkejut dengan isi naskah itu.

“Iya, ada dalam sebuah bungkusan kertas yang bertuliskan ditemukan di Ciseukeut, Teluk Lada. Memangnya kenapa ?” Pafi belum mengerti keterkejutan Dimas. Raji masih mengkerutkan dahinya tanda belum mengerti.

“Naskah ini memiliki cerita mengenai seluruh sejarah Nusantara sejak Jaman Narapati hingga sekarang bahkan masa depan. Babad Sarwajala bercerita tentang peradaban sesudah Narapati setara waktunya dengan Mesir kuno. Babad Sundapura tentang peradaban di Jawa pengaruh dari India. Babad Sriwijaya tentang kerajaan Sriwijaya di Sumatra, Babad Mataram tentang kerajaan Mataram Hindu di Jawa, Babad Majapahit tentang awal mula dan berakhirnya Majapahit di Jawa. Babad Walisanga tentang kerajaan-kerajaan islam. Babad Tunjung Putih tentang penguasaan bangsa kulit putih. Babad Kaliyuga tentang peradaban masa depan.”

“Babad Kaliyuga maksudmu seperti Jangkha Jayabaya ?” sela Raji.

“Ya, seperti itulah, tetapi ini lebih terbagi-bagi. Ramalan yang seperti itu ada di Babad Kaliyuga.” Dimas membuka bagian mengenai babad kaliyuga.

“Siapa yang membuat sejarah selengkap ini ?”Dimas membuka halaman demi halaman mencari nama pembuatnya.

“Pasti orang-orang yang pernah hidup pada masa aksara itu berada. Sekarang kan kebanyakan kita menggunakan aksara hanacaraka. Kemungkinan buku ini berasal dari jaman Narapati” Pafi mengungkapan dugaannya.

Kau harus menyimpannya. Disana ada sejarah bangsa ini yang sangat penting. Belanda bisa menyembunyikannya.” Dimas memberikan saran.

“Mungkin kita simpan saja dulu di ruangan ini. Aku tertarik menelitinya.” Pafi menutup kitab itu dan menyimpannya di atas meja.

“Bagaimana dengan naskah itu, apakah kau bisa memecahkannya ?” tanya Raji. Dimas diam. Dia memang sering menyembunyikan sesuatu dari kedua sahabatnya itu. Tapi tidak berbohong kepada mereka. Tetapi Dimas teringat janji yang diminta Gandrung.

“Buka saja” katanya berusaha menghindari untuk berbohong. Raji menarik tali gulungan naskah itu. Tidak ada apapun dari naskah itu. Naskah itu masih tetap kosong dan tidak berubah.

“Mungkin lain kali kita menyelidikinya lagi. Sepertinya waktu sudah sore.” Dimas menggiring kedua sahabatnya untuk pergi. Dia berusaha mencegah ada pembahasan lagi tentang naskah kosong itu. Pembahasan yang dia yakin akan membawanya melanggar Janji pada Gandrung. Raji dan Pafi menurut. Kelihatannya mereka berdua sudah puas dengan perjalanan mereka sendiri.

“Kita keluar dimana ?” tanya Raji.

“Di belakang huma saja” usul Pafi. Dimas dan Raji mengangguk setuju. Kemudian mereka bersama-sama menyebutkan tujuan mereka. Setelah pintu dibuka dan memastikan tidak ada orang yang melihat mereka keluar persis di belakang huma. Dengan mengendap-endap mereka kembali ke dalam asrama. Langit senja sudah mulai gelap. Kelelawar terbang meramaikan kelabu langit yang berbalut kabut ungu. Sebagian anak-anak yang bermain di halaman tengah telah meninggalkan permainan mereka. Ruang-ruang asrama mulai diterangi lampu-lampu.

Semalaman setelah selesai makan Dimas masih terus memikirkan isi naskah yang merupakan pesan Gandrung khusus kepadanya. Kedua tangannya di sandarkan di bawah kepalanya. Matanya menerawang ke atas seakan menembus dipan di atasnya. Dimas mengulang-ulang kalimat-kalimat dalam naskah itu. Tidak satupun yang dia mengerti. Biasanya dia bisa berbagi dengan kedua sahabatnya dan memecahkan bersama. Tapi kali ini kepalanya harus berpikir sendirian tanpa bantuan penalaran cerdas Pafi dan celetukan jenius Raji. Tetap tidak ada apapun yang menerangi kabut dalam pikirannya. Akhirnya Dimas menyerah. Dia memutuskan untuk memberi kesempatan tubuhnya untuk beristirahat dan menyerahkan semua waktu yang tersisa pada malam.




Tidak ada komentar: