Selasa, 11 Maret 2008

BAGIAN 8 - TEMAN LAHIR SANG BINTANG

Alun-alun masih ramai hingga malam. Gelar wayang kulit semalam suntuk menjadi bagian paling ditunggu semua warga. Tetapi pagelaran itu tidak bisa dinikmati anak-anak asrama. Nyai Janis mengharuskan mereka semua untuk kembali sebelum pukul lima sore. Dimas, Raji dan Pafi telah tiba di asrama lebih awal. Mereka telah meminta ijin kepada Nyai Janis untuk pulang lebih cepat. Pikiran Dimas kembali teraduk-aduk oleh tugas yang disampaikan oleh Ratu Kerajaan Selatan kepadanya. Kalimatnya serupa dengan isi pesan Gandrung dalam naskah kosong itu.

Sepanjang perjalanan Dimas hanya diam. Pikirannya terus berputar-putar menerka apa yang dimaksud Gandrung dalam naskah itu. Untuknya Raji terus berkelakar membuatnya tidak terlalu kelihatan sedang memikirkan sesuatu. Dalam hatinya Dimas terus mereka-reka.

“tidak terbit dan tidak terbenam. Di kaki puncak tertinggi dimana kahyangan dewa-dewi bersemayam. Saat kegelapan datang di barat. Petir menggelegar berhari-hari. Terang datang di timur. Menghentikan waktu. Menerangi dunia tengah. Membawa kelahiran bintang. Bintang yang telah menjadi gelap. Dan hanya tersisa teman lahirnya di bumi. Bintangmu telah hitam sahabatku. Bintang yang selalu kau cari. Bintang yang selalu kau rindu. Bintang yang membawa kehidupanmu. Kau harus membawa terangnya kembali dengan membawa teman lahirnya. Menyucikan kembali lahirnya. Membebaskan jiwanya. Membawa kembali pada kelahiran yang kedua. Terbebas dari tujuh cabikan jiwa. Hanya dengan menyatukan bintang dengan teman lahirnya sang jiwa kembali utuh. Kegelapan hanya akan tenang bersama terang.”

“Tidak di timur dan di barat, berarti di utara atau selatan. Puncak tertinggi tempat kahyangan adalah Mahameru, mungkin maksudnya gunung Semeru. Aku harus ke gunung Semeru dulu. Selebihnya aku pikirkan nanti.” Dimas telah menetapkan tujuannya. Sekarang bagaimana caranya menyampaikan maksudnya pada Raji dan Pafi. Memberi mereka pengertian kalau urusan ini harus diselesaikannya sendirian. Langkahnya makin cepat. Celotehan Raji samar didengarnya. Terkadang dia ketinggalan tawa. Hal itu nyata benar dilihat oleh Pafi. Pafi paham benar tabiat Dimas. Dia tidak akan pernah mengurangkan perhatiannya pada kedua sahabatnya kalau tidak ada sesuatu dalam pikirannya. Mereka akhirnya tiba di depan asrama. Asrama dalam keadaan kosong. Ketiganya segera menuju ruang keinginan.

“Aku akan pergi ke suatu tempat sendiri. Mungkin perlu sehari.” Raji dan Pafi saling pandang. Tidak biasanya Dimas meminta hal itu kepada mereka. Biasanya dia selalu mengajak mereka pergi bersama. Tapi Pafi dapat menangkap maksud Dimas. Pasti ada kaitannya dengan pertemuannya dengan Ratu Kerajaan Selatan, pikirnya.

“Pergilah! Kami akan mencari cara menjawab jika ada yang mencarimu.” Kata Pafi dengan yakin. Raji malah bingung dengan tindakan Pafi. Matanya menatap Pafi dengan lekat seakan mencari jawaban di dalamnya. Pafi hanya member isyarat mengangguk pada Raji. Raji mengerti maksud Pafi.

“Ya, pergilah Dimas! Selesaikan apa yang harus kau selesaikan. Kami akan menunggu disini. Bawalah ini” Raji menyerahkan sebuah kantong kulit berisi bekal air yang selalu dibawanya setiap saat. Raji menepuk pundak Dimas. Dimas membalasnya kemudian mengikatkan kantong kulit itu di pinggangnya. Hatinya lega kedua sahabatnya mengerti permintaannya. Ternyata berbicara dengan mereka tidak sesulit yang dibayangkannya.

“Aku kembali secepatnya setelah semua urusanku selesai. Terima kasih kalian telah mau mengerti.” Dimas memeluk Raji kemudian bergantian memeluk Pafi. Setelah itu Dimas memilih satu pintu. Dalam hatinya dia menyebutkan tujuannya. Kemudian membuka pintu itu perlahan. Kegelapan hutan tampak di hadapan Dimas. Raji dan Pafi hanya berdiri di belakangnya. Kemudian Dimas melangkah memasuki pintu itu dan menutup kembali.

Pohon-pohon menjulang tinggi di lereng Semeru. Ada jalan setapak yang biasa digunakan pemburu dan pencari kayu bakar. Seekor kijang berlari mengetahui kehadiran Dimas. “Mudah-mudahan aku tidak bertemu harimau” kata Dimas dalam hati. Dimas mengikuti jalan setapak itu menuruni lereng. Tanah yang lembah dan sisa hujan kemarin membuat jalan cukup licin. Dimas harus membawa sebatang ranting untuk membantunya turun. Jalan setapak itu berliku dan meliuk mengelilingi lereng. Kadang ada batu-batu yang bisa dipijak menahan licinya permukaan tanah. Tanaman perdu dan paku-paku raksasa tumbuh sembarangan di sepanjang jalan. Matahari berada di puncaknya. Dimas tidak bisa membedakan dimana arah barat dan timur. Dari kejauhan Dimas melihat atap-atap merah rumah penduduk. Sebuah sungai mengalir di sisi sawah-sawah yang masih hijau. Dimas mempercepat langkahnya. Sekarang tujuan pertamanya adalah bertemu seorang manusia yang bisa ditanyai. Di tengah sawah sebuah huma berdiri. Seorang lelaki dan perempuan kelihatan sedang bersantai di dalamnya. Dimas berjalan menapaki pematang sawah mendekati huma itu. Kedua petani itu tersenyum ramah melihat kedatangan Dimas. Dimas membalas senyum ramah itu.

“Maaf pak, bu. Bolehkan saya bertanya ?” Dimas berusaha menunjukan kesopanannya.

“Oh iya silahkan nak.” Lelaki itu menjawab. Perempuan di sebelahnya masih sibuk membuka bekal makan siang yang dibawanya dari rumah.

“Apakah benar ini kaki gunung Semeru ?” tanya Dimas

“Betul sekali. Wilayah ini adalah kaki gunung Semeru barat.” Jawab lelaki itu.

“Memangnya anak mau kemana ?” tanya lelaki itu.

“Saya sedang tidak tahu arah pak, saya sedang mencari tempat tinggal kakek saya.” Dimas berkata begitu saja menutupi maksud sesungguhnya.

“Lho memang kakeknya anak itu tinggal dimana ?” lelaki agak terkejut. Dari penampilan Dimas dia bisa menebak kalau Dimas bukan berasal dari desa-desa sekitar kaki gunung Semeru.

“Saya lupa nama tempatnya. Sudah lama saya tidak mengunjunginya. Bisakah bapak memberitahu saya nama-nama desa di sekitar kaki Semeru ini. Mungkin dengan begitu saya bisa ingat kembali namanya.” Dimas sudah membaca apa yang dipikirkan lelaki itu. Matanya kemudian tersenyum ramah kepada perempuan di sebelahnya yang mulai memberikan perhatian.

“Banyak nak. ………………………………………………..”

Dimas teringat satu nama yang pernah didengarnya. Desa Glidik, tempat tinggal pak Narso saat muda. Juga tempat kelahiran Jayapati.

“Tempat tinggal pak Narso. Mungkin sahabat tua yang dimaksud Gandrung adalah pak Narso yang bercerita tentang kelahiran anaknya. Kelahiran Bintang, kelahiran pembawa buku kehidupan. Bintang itu telah gelap karena Jayapati menurut pak Narso telah meninggal saat bertempur dengan Sanaisbin. Aku harus membawa terangnya kembali membawa teman lahir. Teman lahir. Apa yang menjadi teman lahir bayi ? yang itu nanti saja. Berarti sekarang aku harus ke desa Glidik.” Kata Dimas dalam hati.

“Yah desa Glidik pak” Sahut Dimas.

“Oh desa Glidik adanya di lereng selatan. Saya banyak kenal orang-orang disana. Kakeknya anak ini namanya siapa ?” Kata lelaki itu.

“Karto dan istrinya Swarti.” Jawab Dimas singkat.

“Oh pak Karto dan bu Swarti. Jadi anak ini putranya Jayapati yah ?” lelaki mengenal nama-nama yang disebut Dimas. Dimas mengangguk pelan.

“Tapi mereka sudah lama sekali pindah. Rumahnya sudah lama sekali kosong.” Lelaki itu mulai heran.

“Oh, iya pak. Saya hanya mau melihat rumahnya saja. Kakek saya sekarang sudah tinggal bersama saya.” Dimas buru-buru menjawab.

“Oh begitu. Perjalanan kesana agak sulit nak. Harus melewati beberapa sungai. Lebih baik anak beristirahat dulu disini. Kebetulan istri saya membawakan makan siang. Mari makan siang bersama kami!” Tawaran lelaki sulit ditolak Dimas. Bukan karena lelaki pandai membujuk tetapi karena perut Dimas memang sudah lapar sekali. Dia menyesal sekali tidak makan siang dulu di asrama.

“Eh baiklah, terima kasih atas kebaikan bapak dan ibu.” Istri lelaki itu segera menyediakan satu pincuk daun pisang untuk Dimas. Dimas akhirnya bisa mengobrol akrab dengan pasangan itu. Cerita mereka banyak sekali. Kebanyakan tentang hal-hal gaib di sekitar lereng Semeru. Cerita-cerita tentang hilangnya beberapa gadis setahun yang lalu karena diculik oleh gendrawa untuk dijadikan istri cukup membuat bulu kuduk merinding. Bahkan sering kali gendrawa turun gunung dan menyamar menjadi lelaki manusia. Kemudian menggauli istri-istri yang sedang ditinggal pergi suaminya.

“Kemarin di desa kami ada wanita yang melahirkan anak hasil hubungannya dengan gendrawa. Saat lahir anak itu bertubuh penuh dengan bulu hitam lebat. Bayi itu langsung memakan ari-arinya sendiri begitu lahir. Ibunya akhirnya meninggal dunia.” Istri lelaki itu bercerita dengan wajah yang ketakutan.

“Ari-ari ? apa itu ari-ari bu ?” tanya Dimas tidak mengerti.

“Itu, teman kelahiran bayi. Setiap lahir bayi akan selalui ditemani oleh sebuah ari-ari. Biasanya orang tuanya akan menanamnya di tanah dalam sebuah candil. Lalu di beri lampu penerangan selama empatpuluh hari. Katanya ari-ari itu selalu menemani sang bayi sampai empatpuluh hari. Makanya biasanya bayi suka tertawa sendirian. Karena ari-arinya mengajaknya bercanda.” Istri lelaki itu menjelaskan. Dimas seperti mendapatkan durian runtuh. Dia tahu maksud kalimat berikutnya dari pesan yang ditinggalkan Gandrung.

Dimana biasanya ari-ari diletakan bu ?”

“Biasanya ditanam di samping kamar si bayi. Lalu di beri lampu di atasnya dan ditutup dengan kurungan bambu.”

“Aku harus mencari ari-ari Jayapati. Itu maksud dari semua ini.” Kata Dimas dalam hati. Perut Dimas sudah terisi penuh. Walaupun sederhana makanannya sangat nikmat. Itu cukup memberinya tenaga untuk melanjutkan perjalanannya.

“Pak, arah mana yang paling cepat menuju desa Glidik ?” Dimas mulai bersiap melanjutkan perjalanannya.

“Anak lewati sawah ini saja. Lalu menyebrang sungai ini. Teruslah ke selatan hingga melewati dua sungai lagi. Setelah menyebrang dari sungai ketiga anak ambilah jalan ke timur. Setelah melewati 3 sungai, sungai ke empat adalah sungai Glidik. Anak ikuti arahnya ke selatan. Desa pertama itulah desa Glidik.”

“Baiklah, saya hendak melanjutkan perjalanan saya. Terima kasih telah memberikan saya makan yang enak.”

“Mampirlah lagi kalau anak lewat tempat ini lagi.”

“Saya pamit dulu pak, bu. Pareng” Dimas mengikuti arah yang ditunjukan lelaki itu. Sungai-sungai yang disebranginya tidak terlalu dalam. Masih banyak batu-batu besar betebaran di tengah sungai. Dengan mudah Dimas menyebrangi sungai-sungai itu. Setelah mencapai sungai ke empat di arah timur Dimas telah sampai di sungai Glidik. Dia mulai ingat dimana sekarang berada. Tempat yang dilihatnya dalam mimpi saat pak Narso sedang menunggu kelahirnya putranya Jayapati. Dimas kemudian melangkah terus menuju selatan hingga menemui sebuah gapura kecil dari batu dengan sebuah tulisan huruf hanacaraka. Tak jauh dari tempat itu rumah pertama dan paling luar dari desa adalah rumah pak Narso. Dimas masih melihat dipan tempat ayah pak Narso duduk menghisap cangklongnya. Dimas melangkah membuka pintu rumah yang sudah lama tidak dikunci. Ingatannya membayangkan saat kelahiran Jayapati. Dimas melangkah menuju sebuah kamar dimana Jayapati dilahirkan. Ada desir aneh dalam hatinya. Desir kerinduan yang sangat dalam. Kakinya melangkah ke dalam kamar itu. Sebuah dipan kayu masih berdiri dipojok kamar. Kemudian membuka jendelanya. Dimas kemudian melangkah keluar rumah dan menyisir ke samping rumah. Tepat di dinding dekat kamar Jayapati dilahirkan Dimas berhenti. Tepat dibawah jendela itu tidak terdapat apapun. Hanya tanah kosong.

“Harusnya diletakan di bawah sini. Aku tidak akan menggunakan pengendali bumiku. Aku akan menggalinya dengan tanganku dan kayu ini saja.” Dimas mengorek tanah di bawah jendela itu. Setelah digali sedalam sikunya tidak ditemukan apapun. Kemudian Dimas melebarkan pencariannya. Hampir sepanjang dinding kamar itu digali. Tapi tidak ada apapun disana. Dimas merasakan putus asa mulai menjalari hatinya. Keringatnya mengalir deras. Tangannya penuh dengan tanah. Dengan gontai Dimas melangkah kemudian duduk di atas dipan di depan rumah. Ingatannya hanya pada kenyamanan yang dirasakan ayah pak Narso saat menghisap cangklongnya.

“Dimana ari-ari itu ditanam ?” Dimas masih berpikir. Tiba-tiba dia melompat dari bale-bale. Ingatannya sekelebat menunjukan sebuah kurungan di bawah dipan dalam kamar. Dimas berlari menuju kamar. Matanya menangkap sebuah kurungan diletakan di pojok bawah dipan tempat Jayapati ditidurkan. Dimas menarik dipan itu ke arahnya. Kemudian melangkah ke pojokan. Kurungan bambu itu diangkat. Kemudian tangannya dengan bantuan sebuah kayu menggali. Hanya sedalam telapak tangan kayu sudah membentur sebuah benda keras. Dimas mengorek ke samping melebarkan lubang. Sebuah candil dari tanah liat berada di dalamnya. Dimas mengangkat candil itu dengan hati-hati dan meletakannya di atas dipan. Dimas membuka tutup candil itu. Sebuah bungkusan kain putih yang sudah berwarna coklat tanah tergeletak rapi di dalamnya. Dimas mengambil bungkusan kain itu dengan perlahan.

“Ari-ari Jayapati. Aku harus menyimpannya. Kantong kulit Raji tertanya punya tujuan juga. Terima kasih Raji.” Dimas membuang isi air di dalam kantong kulit itu. Kemudian meletakan bungkusan ari-ari yang sudah kering itu ke dalamnya.

“Aku harus pulang malam ini. Hari sudah mulai senja aku harus bergegas.” Dimas bergegas berlari meninggalkan rumah itu. Lari Dimas berkejaran dengan sinar matahari yang sudah mulai bergerak menjauhinya. Tepat saat maghrib Dimas sudah melewati desa tempatnya bertemu dengan sepasang petani di humanya. Tinggal bagian tersulitnya menaiki lereng menuju tempatnya keluar dari pintu ruang keinginan. Perlahan Dimas menapaki jalan-jalan pemburu menuju lereng barat. Perjalanan naik lebih sulit dari pada turun. Langit yang mulai gelap menyulitkannya. Sebuah obor yang dipinjamnya dari gerbang desa dinyalakan. Dimas tidak khawatir dia akan jatuh terpeleset, tetapi lebih khawatir kalau cerita yang dikatakan oleh pasangan petani itu benar. Tentang tempat tinggal gendrawa yang berada di lereng gunung Semeru. Pikirannya berkelebat pada kejadian di asrama saat dua gendrawa mendatangi asrama. Dimas terus berjalan tanpa kabut mulai turun tipis. Udara begitu dingin di atas lereng. Pintu masuk sudah tidak terlalu jauh. Sebuah pohon besar terlihat terang di batangnya. Sebuah pintu menyala terang. Dimas bernafas lega akhirnya sampai juga. Tetapi kemudian matanya menangkap empat sinar merah bergerak bersama dari arah belakang pohon itu. Dimas bergegas lari menghampiri pintu itu. Tetapi gerakan dua sinar merah itu lebih cepat. Kini dua sinar merah itu telah berada di depan pintu. Bayangannya tampak jelas sekarang. Dua mahluk setinggi dua kali orang dewasa dengan bulu di sekujur tubuhnya menatap merah kearah Dimas. Seringai taringnya masih jelas diingatan Dimas. Dimas gemetar sesaat. Tapi dia harus masuk ke dalam pintu itu. Dan untuk itu dia harus melewati dua mahluk seram di hadapannya. Mahluk itu mulai bergerak kearahnya. Dimas melepaskan serangan.

“Asban Bhumi!” Tanah yang dipijak kedua gendrawa itu amblas. Tetapi gendrawa bukanlah mahluk kasar. Dia memiliki sifat halus. Keduanya tidak terpengaruh oleh ruang manusia. Dimas panik. Kepala terus berpikir sementara kedua mahluk itu makin mendekatinya. Dia mengingat-ingat mantra yang didengarnya malam itu.

“VA…VA…VADHARNAHA” sebuah kilat merah lemah keluar dari tangan Dimas menyambar kedua mahluk itu. Kedua gendrawa itu hanya terdorong pelan. Rasa gugupnya membuat Dimas kehilangan konsentrasi melepaskan serangan. Nafasnya ditarik dalam. Dia harus mengembalikan konsentrasinya. Kalau dia tidak bisa masuk ke dalam pintu itu dalam waktu cepat, maka teman-teman mahluk itu pasti akan tiba. Dan ikut akan jadi kesulitan besar bagi Dimas.

“VADHARNAHA” dua larik sinar merah meluncur deras dengan kekuatan yang lebih besar. Kedua gendrawa itu terjengkang dan menjerit kesakitan. Jeritannya menggema ke seluruh hutan.

“PHOBOSERRAHA” Dimas melancarkan lagi dua serangan. Dua larik sinar kuning melesat mengejar dua gendrawa yang lari meninggalkan Dimas. Tanpa pikir panjang lagi Dimas segera berlari membuka pintu ruang keinginan kemudian menutupnya rapat. Nafasnya terengah-engah tidak karuan. Jantungnya berdegup cepat. Kakinya gemetar. Seluruh badannya kotor oleh lumpur. Dimas bergegas membuka pintu ruang keinginan lagi. Dan dalam sekejap dia sudah berada di kamar mandi. Dan beberapa saat Dimas membersihkan badannya. Kemudian kembali ke kamar mengganti bajunya. Kamar kosong sekali, anak-anak yang lain telah berada di ruang makan. Setelah ganti baju Dimas bergegas menuju ruang makan. Raji dan Pafi sudah hampir selesai makannya. Mereka sangat gembira melihat kedatangan Dimas.

“Nyaris saja Nyai Janis memanggilku lagi. Untung kau cepat datang. Dia tidak tenang saat melihat kau tidak ada.” Kata Raji berbisik. Dimas menyantap makanannya sambil terus mendengarkan cerita Raji dan Pafi tentang Nyai Janis. Raji dan Pafi mulai bertanya apa yang dicarinya tadi siang. Dimas hanya menunjukan kantong kulit yang tergantung di pinggangnya. Raji dan Pafi paham kalau Dimas belum bisa menceritakan hal itu kepada mereka. Tapi kehadirannya saja sudah cukup membuat mereka gembira.

Tidak ada komentar: