Selasa, 11 Maret 2008

BAGIAN 10 - SANG PEWARIS

Hari-hari berjalan seperti biasa. Belajar di asrama, bermain di halaman tengah, makan, tidur. Berputar-putar hanya di asrama membuat Dimas, Raji dan Pafi merasakan kebosanan. Sekarang ditambah gudang bawah tanah yang penuh dengan lelembut, tidak ada yang berani mendekat. Kasihan Mbok Sinten dan Mbok Sirem yang biasanya dengan bebas mengambil bahan makanan. Pak Narso yang selalu diminta untuk mengambilnya. Nyai Janis benar-benar menempatkan asrama dalam status siaga tertinggi. Bila ada pelanggaran, hukumannya berada di ruang bawah tanah bersama para lelembut. Terang saja tidak ada satupun yang berani melanggar. Kebun pak Narso masih terlihat terlantar sekali. Pak Narso harus membajak ulang tanahnya dan menyemai bibit baru. Situasi yang sama di banyak ladang petani di tempat lain. Mereka harus menyemai ulang tanaman mereka yang hancur akibat serangan Belalang.

Di ruang belajar asrama, Dimas, Raji dan Pafi sedang mengerjakan PR mereka yang mulai bertambah banyak menjelang ujian akhir. Raji mulai pusing dengan semua tugas yang sedang dikerjakannya.

“Waduh… pusing aku mengerjakan semua PR gila ini, sejak pulang sekolah tadi nggak selesai-selesai. Apalagi ini sejarah Londo ini, heran aku, kok bangsa ini mau aja dijadikan Negara boneka Belanda. Kalo Pak Tardjo nggak minta-minta, mungkin kita sudah jadi Negara yang berdiri sendiri” Raji terus menggerutu tentang PR sejarah nasional Negara Hindia Belanda yang sedang dikerjakannya. Sedangkan Dimas tampaknya tetap asyik dengan tangannya yang terus menuliskan PR nya.

“Kau tidak bisa diam apa…..berisik, memangnya kalau kita memiliki negara yang berdaulat sendiri akan ada perubahan yang lebih baik?” Pafi mendelik menimpali gerutuan Raji sambil memandangnya menantang menunggu jawaban apa yang akan diberikan Raji kepadanya. Raji tak menyahut dan terlihat tidak peduli.

“Malas aku kerjakan PR bangsa londo ini, mendingan aku kerjakan sastra Jawa saja, karya bangsaku sendiri” Raji menutup halaman buku sejarah belanda yang sedang digunakannya untuk membuat PR. Tangannya kemudian membuka buku lain tentang sastra jawa.

“Sudah kerjakan PR sastra Jawa, Dimas?” Raji melongokan kepalanya ke arah buku catatan yang sedang ditulis Dimas.

“Belum, aku masih kerjakan sekarang” Jawab Dimas singkat.

“Kau benar-benar seperti tokek ya….gak bisa diam, aku kembali saja ke kamar, mendingan kerjakan di kamar” Pafi mendelik dengan wajah galak menatap Raji yang masih cengar-cengir.

Dimas hanya tersenyum kecil diujung bibirnya dan kemudian berkonsentrasi kembali kepada pekerjaannya. Dia tahu kalau sudah begitu Raji bukanlah orang yang bisa dinasehati. Dia akan makin tidak peduli dengan omongan orang lain. Wajah malas mulai merambat di seluruh permukaan wajah Raji, tangannya mulai ogah-ogahan menulis dan ketika semuanya mencapai puncak ubun-ubun. Tapi Pafi urung mengerjakannya di kamar teringat begitu banyaknya anak perempuan lain yang pasti lebih berisik dari Raji.

Jam sudah menunjukan pukul 12 malam, Dimas, Pafi dan Raji tak tampak akan segera mengakhiri belajarnya. Walaupun guratan kelelahan sudah tampak di wajah mereka, mereka tetap menulis seakan sedang dalam dunianya sendiri. Saking asyiknya menulis, ketiganya tidak lagi berbicara satu sama lain. Mereka tak sadar kalau tiba-tiba saja di seberang meja tempatnya menulis muncul 2 sosok manusia dewasa entah dari mana datangnya. Ketika keasyikannya terganggu oleh bayangan yang menutupi kertas bukunya sontak Dimas dan Pafi bangkit dari duduknya dan berjengit kaget, sementara Raji langsung terjengkang dari kursinya. Matanya melotot dengan dada yang berdegup begitu kencang, tangan gemetaran menahan rasa takut yang mulai menjalar ke ubun-ubunnya.

Hantu, adalah kata yang pertama keluar dari pikirannya, kakinya bergerak mundur dengan gemetar mendorong kursi yang berada di belakangnya. Bunyi derak kursi yang tergeser membuat suasana yang dirasakan Dimas makin mencekam. Dalam ketakutan yang sangat, dua wajah yang muncul di depannya menarik ingatan akan kejadian aneh yang dialaminya beberapa hari yang lalu. Setelah kejadian kesurupan masal dua hari kemarin, tidak ada lagi dalam pikiran mereka selain mahluk halus. Seketika degup jantungnya makin keras saja, suaranya tercekat, Pafi tangannya sempat mengayun pelan dan sebuah kursi yang berada di sebelahnya melayang mengarah deras ke arah dua orang misterius itu. Salah seorang misterius yang berwajah sudah agak tua tersenyum sambil mengibaskan tangannya. Kursi yang melayang ke arahnya seketika berhenti dan turun dengan lembut di sampingnya. Dimas tanpa sadar bergerak tidak karuan yang seketika itu pula diikuti dengan melayangnya benda-benda yang berada di dalam ruangan belajar itu meluncur deras ke arah dua orang misterius tersebut. Namun seketika itu juga benda-benda itu seperti tertahan di udara dan berhenti mendadak kemudian turun perlahan di atas lantai. Tidak ada satupun yang jatuh menyebabkan bunyi keras di lantai.

“Janganlah kalian takut Narapati, kami datang bukan bermaksud menyakiti” seorang yang lebih muda menerjemahkannya.

Orang tua yang berjubah putih dengan sorban di kepalanya menjulurkan tangannya untuk menenangkan Dimas, Pafi dan Raji yang sudah bangkit berdiri. Dimas merasa seperti ada yang menggenggamnya begitu kuat yang memaksanya duduk di kursi yang berada di belakangnya. Sekuat tenaga dia melawan, tetapi tidak ada daya yang mampu melepaskannya.

“Akh…akh…. apa yang kalian lakukan kepada kami ?” Dimas berteriak

“Sekarang mari kita duduk, ada yang akan aku beritahukan kepadamu, aku Prabu Narayala dan ini Kerthapati” Orang tersebut memperkenalkan dirinya dan temannya yang langsung menghaturkan sembah dengan dua telapak tangan disatukan. Dimas seperti tidak percaya mendengar nama itu. Nama yang diingatnya untuk seorang lelaki muda yang tenang dan sangat penuh pertimbangan. Bukan wajah dengan garis yang nyata dari kulit muda yang sudah mengendur dengan cambang dan janggut putih yang panjang. Dimas menatap lebih jelas ke wajah orang itu. Tapi mana mungkin. Hatinya menolaknya. Tidak mungkin Prabu Narayala masih hidup. Dia hidup 15.000 tahun lalu. Orang itu menangkap keraguan di wajah Dimas.

“Aku memang Prabu Narayala, dan aku masih hidup. Sejak pertemuan kita terakhir di balairung keraton Narapati 15.000 tahun yang lalu bersama Sinar Avedi Agung Au Co dan Ratu Kerajaan Selatan.”

Tidak ada yang tahu pertemuan itu kecuali yang hadir di sana. Tangan Dimas langsung memberikan salam sembah begitu mengenali sosok dibalik wajah itu.

“Maafkan saya Gusti Prabu, saya tidak mengenali wajah Gusti Prabu.” Raji dan Pafi ikut memberikan salam. Narapati, kembali hadir di depan mereka. Antara percaya dan tidak, bahkan Pafi harus mencubit tangannya sendiri untuk memastikan kalau dia tidak sedang bermimpi. Seperti hantu yang datang dari masa lalu, kedatangan Prabu Narayala benar-benar tidak terduga. Dimas tidak berharap kalau dia akhirnya bertemu dengan pemimpin tertinggi Kerajaan Narapati itu. Ruangan belajar tiba-tiba berubah menjadi sangat gelap. Tidak ada satupun yang terlihat. Hanya terdengar suara Prabu Narayala saja dalam kegelapan.

“Aku datang karena telah tiba waktunya bagimu untuk tahu apa yang sedang terjadi dan hubungan semua ini denganmu nak. Maafkan aku telah meminjam apa yang paling berharga darimu. Sekarang aku akan kembalikan kepadamu” Sesaat kemudian kembali terang. Hanya Dimas dan Prabu Narayala saja berada di tempat itu, bukan lagi berada di dalam ruang belajar. Melainkan di sebuah jalan desa yang dipagari pohon bambu apus. Sampah-sampah daun bambu berserakan tertiup angin di atas jalan. Rumah-rumah gedek dengan pagar dari bambu berjejer di ujung pertigaan jalan. Langit cerah tidak ada tanda-tanda akan turun hujan, walaupun awan putih tebal sudah menggantung di angkasa. Seorang lelaki memanggul pikulan berisi penuh rumput di kedua ujungnya berjalan kearah mereka. Hewan-hewan ternak berkeliaran dengan bebas.

“Kita berada dimana ?” Dimas merasa tiba-tiba seperti terlempar ke sebuah dunia yang lain. Ada hal yang dikenalnya, tetapi semuanya samar diingat.

“Kita berada di ingatanmu duabelas tahun yang lalu. Ingatan yang aku ambil sementara dari kepalamu nak. Untuk tujuan keselamatanmu.” Kata Prabu Narayala. Lelaki itu kelihatan berubah, wajahnya terlihat lebih muram. Ada perasaan berat dalam hatinya harus menunjukan anak usia tigabelas tahun kenyataan pahit tentang masa lalunya. Masa lalu yang harus diingatnya dengan cara yang sangat menyakitkan. Mereka kemudian berjalan menuju sebuah rumah yang agak jauh dari pemukiman lain.

Sebuah rumah yang sederhana dipinggir kali kecil. Seorang lelaki sedang duduk di dipan di beranda rumahnya sambil memangku seorang anak laki-laki berumur dua tahun. Sebuah kalung kain hitam terikat di lehernya, sama persis dengan yang sekarang dikenakan oleh Dimas. Mulutnya asyik menikmati singkong rebus sambil memandang seorang perempuan cantik berperawakan langsing sedang menjemur pakaian-pakaian yang baru saja dicucinya. Sesekali perempuan itu menengok ke arah anak lelaki itu dan tersenyum kemudian melambai-lambaikan tangannya.

“Dimas…Dimas…. Ibu di sini…” perempuan itu memanggil-manggil dan melambai-lambaikan tangannya kepada anak lelaki yang berada di pangkuan lelaki dewasa di beranda itu.

Dimas terhenyak mendengar perempuan itu memanggil nama anaknya. Kakinya seperti hendak melangkah menghampiri perempuan itu. Matanya mulai berkaca melihat pemandangan yang dilihatnya. Dia melihat sosok kecil dirinya yang sedang dipangku oleh orang yang tidak lain adalah ayahnya.

“tuh..tuh… ibu…Dimas.. lihat… itu ibu sedang menjemur pakaian” Lelaki dewasa itu menunjuk-nujuk perempuan yang sedang menjemur pakaian itu mencoba mengarahkan pandangan mata si anak kepada ibunya. Selesai menjemur semua cuciannya kemudian perempuan itu bergerak menghampiri suaminya.

“Kakang mau makan sekarang ? aku akan siapkan ya” Perempuan itu menyapa suaminya. Lelaki itu mengangguk. Kedua tangannya sibuk memindahkan Dimas dari pangkuannya.

“Dimas disini sebentar dengan ayah ya…. Ibu mau menyiapkan makanan dulu” Perempuan itu menyentuh lembut pipi anaknya kemudian masuk ke rumah. Belum lama perempuan itu masuk ke dalam rumah, tiba-tiba seorang lelaki datang tergopoh-gopoh.

“Kakang Tapa Aji, tolong…tolong ketiwasan kakang…” Lelaki muda itu terengah-engah

“Tenang..tenang Garung… tarik nafasmu dulu…. Lalu ceritakan apa yang terjadi” Tapa Aji berusaha menenangkan. Garung menarik nafasnya, suaranya masih terengah-engah. Setelah nafasanya mulai normal kemudian dia menceritakan apa yang terjadi.

“Kalau begitu, ayo kita ke sana” Tapa Aji segera bangkit menggendong Dimas dan memanggil istrinya.

“Jeng…jeng Kasih kemari dulu sebentar” Tapa Aji memanggil dengan lembut. Istrinya mendengar panggilan suaminya segera muncul di depan pintu rumah.

“Ada apa kakang” Istrinya tampak bingung kemudian melihat Garung sedang terengah-engah penuh keringat.

“Ada ketiwasan di dekat rumah Garung, aku harus ke sana. Jaga Dimas dulu, lakukan seperti yang biasa aku beritahukan” Tapa Aji dengan singkat menjelaskan dan menyerahkan Dimas ke dalam gendongan istrinya yang mengangguk mengerti.

Tapa Aji dan Garung segera berangkat meninggalkan Kasih berdua dengan Dimas. Sesampainya di tempat yang dimaksud Garung, orang-orang sudah berkerumun. Jalan menuju tempat kejadian menjadi agak sulit karena semua orang ingin melihat. Garung segera berteriak-teriak menyebut-nyebut nama Tapa Aji yang membuat kerumuan itu terbelah memberi jalan. Di tempat kejadian terlihat sesosok mayat lelaki yang tergeletak di pinggir rumpun pohon bambu dengan mata melotot terbelalak dan mulut seperti menganga sedang berteriak ketakutan. Matanya seperti menyiratkan ketakutan yang amat sangat.

“Siapa dia ? sepertinya bukan orang dari desa ini” Kata Tapa Aji sambil memeriksa mayat tersebut dan mencari bekas-bekas yang mungkin bisa dijadikan petunjuk.

“Bukan, setahu saya dia berasal dari desa tetangga di barat sana” Garung memberikan penjelasan.

“Dia sudah meninggal sejak semalam” Tapa Aji berbicara sendiri. Dalam pikirannya kemudian menghubungkan dengan angin kencang yang semalam berhembus tiba-tiba yang dirasakannya dengan bulu kuduk yang merinding.

“Segera angkat mayat ini, segera hubungi desa tempat orang ini berasal dan uruskan penguburannya dengan layak. Saya minta saudara-saudara mulai malam ini tidak keluar malam melebihi lewat tengah malam. Sekarang semuanya silahkan pulang ke rumah masing-masing”.

Tapa Aji segera meninggalkan tempat dengan diikuti seluruh warga yang ikut bubar. Tapa Aji segera kembali ke rumahnya dan bergegas menemui istrinya.

“Ada apa disana kakang Tapa Aji” Kasih terlihat gelisah duduk di ruang tamu.

“Tampaknya persembunyian kita telah diketahui oleh Amukhsara, kita harus segera melakukan upacara pamungkas untuk mencegah yang lebih penting jatuh ke tangan mereka. Segera siapkan semuanya jeng, akan segera memberi kabar ke Cakravartin”

Tapa Aji meminta istrinya untuk menyiapkan keperluan upacara yang diminta. Kasih segera bergerak gesit menyiapkan semuanya, Dimas ditinggalkannya duduk di dekat suaminya. Tak lama kemudian sebuah dipan yang lengkap dengan semua perlengkapan upacara telah siap.

“Kita akan melakukan upacaranya menjelang tengah malam, kita harus membuat pagar gaib berlapis untuk melindungi proses ini”

Kasih mengangguk mengerti, air matanya mengalir deras tanpa suara. Tapa Aji memeluk istrinya dengan erat. Kasih wanita yang tegar. Dia tahu apa yang harus dihadapinya. Walaupun ketika saatnya tiba, rasa sedinya tak dapat ditahannya, tetapi pikirannya tetap jernih.

Dimas memandangi kedua orang tuanya dengan hati yang harus. Dia begitu disayang oleh mereka. Dimas ingat kehangatan itu. Hatinya basah oleh cinta kedua orang tuanya.
Menjelang tengah malam Tapa Aji duduk bersila di hadapan semua perlengkapan upacaranya. Sebuah batu hitam berbentuk piramida berada di hadapan antara dirinya dan Dimas yang dia dudukan di hadapnnya. Sementara Kasih berdiri tegak di halaman rumah dengan pakaian lengkap seorang prajurit Narapati menunggu sesuatu yang akan datang malam ini.

“Sighram, muncul lah”

Tapa Aji mengucapkan mantra yang diikuti dengan kemunculan seekor harimau putih seukuran kuda besar di sebelah Tapa Aji. Harimau itu menggeram lembut ke arah Tapa Aji dan Dimas. Tapa Aji mengikatkan keranjang di atas punggung harimau itu. Kemudian meletakan Dimas yang bersinar keemasan di dalamnya. Tapa Aji kemudian berbicara dengan Sighram. Sang harimau hanya mengaum kecil tanda patuh. Kemudian pergi menghilang bersama Dimas kecil di atas punggungnya.

Seperti sebuah siraman air ditengah gurun yang panas, semua hal yang selama ini hilang kembali terang dan jelas. Dimas mengingat kembali seluruh ingatannya. Ingatan yang dikenangnya begitu perih menyakitkan. Semuanya menjadi gelap. Dan mereka kembali berada di dalam ruangan belajar. Dimas memandang bergantian kepada Raji dan Pafi. Bertanya dalam hati apakah nasib kedua orang tua mereka sama dengan yang dialami kedua orang tuanya. Tetapi Raji dan Pafi terlihat tidak mengerti apapun yang telah terjadi. Bagi mereka seolah Dimas tidak bergerakan kemanapun.

“Kau datang kepadaku diantar oleh seekor Narasimha. Harimau Putih kendaraan ayahmu. Lalu aku mengirim pasukan Narapati ke tempat ayah dan ibumu berada. Tetapi tidak ditemukan apapun disana. Kedua orang tuamu tidak ditemukan disana. Hanya satu yang aku tahu, sejak saat itu kau berada dalam bahaya. Karena Raja bangsa Amukhsara, Sanaisbin terus mencarimu. Karena kau menyimpan sesuatu yang diinginkan oleh Sanaisbin.”

“Apa yang diinginkan oleh Raja Sanaisbin dari saya ?” Dimas masih belum mengerti keterkaitannya.

“Rahasia dimana Buku Kehidupan disembunyikan. Rahasia yang hanya kau sendiri mengetahuinya. Rahasia itu diturunkan ayahmu Tapa Aji. Sekarang rahasia itu tersimpan di suatu tempat di dalam tubuhmu. Hanya kau sendiri yang bisa mengeluarkannya” Kata-kata Prabu Narayala menyengat Dimas. Dirinya menjadi pemegang rahasia dimana Buku Kehidupan berada. Buku yang begitu sangat diinginkan oleh Raja bangsa Amukhsara dan membuatnya menjadi yang paling dicari oleh mereka. Dimas Narapati paling dicari oleh bangsa Amukhsara. Sebuah kenyataan yang menakutkan. Prabu Narayala sangat tahu akibat dari kenyataan itu. Bisa saja Dimas akan ketakutan dan tidak bisa menjalani hidupnya dengan baik.

“Karena itu kau selalu dikelilingi oleh prajurit-prajurit Narapati terbaik yang melindungimu setiap saat.” Hal itu membuat Dimas cukup bisa menepis ketakutannya. Tetapi bukan itu yang menjadi pikirannya. Bagaimana dengan Raji dan Pafi. Prabu Narayala bangkit dan memegang tangan Dimas.


Ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiran Dimas tentang cerita yang disampaikan Prabu Narayala. Tetapi pertanyaan itu hilang begitu saja di ujung lidahnya. Dan akhirnya hilang saat Pafi lebih dulu bertanya.

“Bolehkah saya bertanya sesuatu bapak Narayala ?” Pafi meminta ijin.

“Tanyakanlah Pafi.” Prabu Narayala memberikan ijin. “Kami tidak mengerti tentang Amukhsara. Apakah Bapak Narayala bisa menjelaskan kepada kami tentang Amukhsara ?” Prabu Narayala tersenyum mendengar pertanyaan Pafi.

“Amukhsara adalah bangsa yang terbentuk dari pecahan Narapati yang telah menjadi sesat. Keberadaan mereka merupakan akibat dari syarat yang diminta oleh dunia tengah itu sendiri. Dunia tengah tidak akan bisa berdiri tanpa adanya kesimbangan dua pilar. Hitam dan putih, siang dan malam, baik dan jahat, benar dan salah. Amukhsara memiliki kemampuan yang sama dengan Narapati. Mereka bisa menggunakan kekuatan-kekuatan alam untuk kepentingan mereka. Tetapi kekuatan itu hanya terbatas pada Amukhsara yang berasal dari Narapati. Jumlahnya tidak banyak hanya kurang dari seratus ribu orang. Mereka adalah Narapati pertama yang harus menjadi korban perubahan itu. Seperti yang saya sudah bilang Amukhsara dipimpin oleh seorang Raja bernama Sanaisbin. Keberadaan mereka di dunia tengah sama pentingnya dengan keberadaan Narapati. Karena mereka menjadi jahat bukan karena kemauan mereka, tetapi karena mereka mengorbankan diri mereka untuk menjadi demikian. Di dalam dunia tengah tercipta dua buah buku yaitu Buku Kehidupan dan buku kematian. Kedua buku mencatat semua kejadian yang terjadi di dunia tengah. Pada mulanya kedua buku tersebut tersimpan di kuil Cakravartin di kota Sunda Buana. Kemudian tenggelam ke dasar laut bersama dengan kota Sunda Buana. Tetapi Amukhsara berniat menguasainya. Mereka menginginkan Buku Kehidupan. Karena Buku Kehidupan mencatat semua yang akan terjadi di masa depan. Bila Buku Kehidupan dibiarkan maka masa depan akan berjalan sesuai hukum alam. Tetapi hukum alam bisa diubah jika ada seseorang menuliskan masa depan yang diinginkan ke dalam Buku Kehidupan. Karena itu sangat berbahaya kalau Buku Kehidupan dikuasai oleh Amukhsara. Narapati berusaha mempertahankan Buku Kehidupan tidak jatuh ke tangan Amukhsara. Buku Kehidupan dipindahkan oleh Narapati dari kota Sunda Buana. Setiap seribu tahun buku itu dipindahkan ke tempat yang baru. Kemudian di tanam ke dalam perut gunung Krakatau. Setelah sebelumnya disimpan di dalam perut gunung Merapi. Pada saat Krakatau meletus tahun 1883 buku tersebut keluar sebelum waktunya. Kemudian terjadilah perang hebat antara Narapati dan Amukhsara di lembah Krakatau. Sejak saat itu buku itu memiliki kemauan sendiri untuk berada di mana. Amukhsara terus berusaha mengejar keberadaan Buku Kehidupan. Kehadiran Amukhsara ke dunia manusia selalu ditandai oleh sebuah bencana ataupun musibah yang besar beberapa hari sebelumnya. Serangan belalang ini merupakan tanda kehadiran mereka di tempat ini pada beberapa hari mendatang. Ini adalah tanda yang diberikan oleh alam untuk kita bersiap diri. Mereka adalah mahluk hidup. Segala yang hidup bisa mati. Menghadapi Amukhsara sama seperti menghadapi manusia biasa. Hanya saja mereka memiliki kemampuan yang sama dengan Narapati.”

Penjelasan Prabu Narayala sudah lebih dari cukup menurut Pafi. Pikirannya sekarang begitu terang. Kabut gelap mengenai Amukhsara mulai terbuka. Keyakinannya timbul. Ternyata Amukhsara bukanlah mahluk halus dan masih memiliki tubuh kasar yang bisa mati.

“Mari nak, kita akan jalan-jalan sebentar, banyak yang harus kau lihat, sudah saatnya kau tahu mengenai duniamu yang sebenarnya”

Prabu Narayala membalikan badannya berjalan ke lukisan dinding gunung bromo dan gunung semeru. Pintu gaib muncul menggantikan lukisan itu. Kerthapati membuka pintu. Sebuah cahaya temaram menyeruak dari balik pintu.

“Pintu gaib itu” Pafi berbisik pelan. Dimas dan Raji melihat pintu yang selama ini mereka selidiki.

Prabu Narayala membimbing Dimas, Pafi dan Raji masuk ke dalam pintu itu. Tanpa banyak tanya ketiganya mengikuti masuk pintu. Di balik pintu mereka menemui sebuah ruangan berdinding batu hitam yang dihiasi obor-obor di kiri kanannya.

“Mari kita keluar”.

Prabu Narayala memegang pundak Dimas dan membimbingnya menuju sebuah sebuah relung seperti gerbang yang tertutup.

“Buka…………..”

Prabu Narayala mengibaskan tangannya ke arah tembok berelung di depan mereka, tembok di depan mereka tergeser dan sinar bulan yang indah di langit yang bening masuk memenuhi ruangan. Mereka bergerak menuju pintu, tidak percaya dengan apa yang baru saja di lihatnya di luar Dimas, Pafi dan Raji berdecak kagum. Mereka berada di puncak sebuah bangunan batu berbentuk segi empat setinggi bukit dengan ribuan anak tangga menurun ke bawahnya. Terdapat empat pilar persegi yang tersusun dari potongan-potongan batu hitam dengan relief-relief menjulang tinggi di setiap sudut di dasar bangunan. Begitu megah dan menakjubkan.

“Kita berada dimana sekarang ?”.

Dimas masih ternganga keheranan, sementara Raji bergerak ke sana kemari ke pinggir balkon. Prabu Narayala tersenyum melihat ekspresi wajah Raji yang takjub. Takjubnya mereka bukan karena kehebatan pemandangan yang mereka lihat. Dunia Narapati 15.000 tahun lalu jauh lebih hebat. Yang menjadi kekaguman adalah dunia yang berjalan dengan waktu yang sejajar dengan dunia manusia dan benar-benar nyata. Mereka hanya pernah mendengar dongeng-dongeng dan cerita-cerita mahluk-mahluk gaib. Dunia di balik dunia.

“Kita sekarang berada di dunia Narapati, di atas puncak kuil agung Caturbhasa Mandala di gunung Mahameru, dan kita sedang menghadap gunung bromo di depan sana”. Prabu Narayala menujukan jarinya ke depan.

“Dunia Tengah? Apakah dunia Tengah berbeda dengan dunia manusia?”

Dimas mengawali pertanyaannya dari ribuan pertanyaan yang nantinya akan ditanyakan kepada Prabu Narayala yang sudah siap pula dengan ribuan jawaban.

“Dunia tengah berbeda dengan dunia manusia juga berbeda dengan dunia gaib. Dunia manusia menempati matra ruang pertama, Dunia tengah di matra ruang kedua dan Dunia gaib di matra ruang ketiga. Dan masih ada lima matra ruang lain dengan kehidupannya sendiri-sendiri.”

“Bajra, Nagapasa, Sangkha, Danda, Khadga, Dwaja, Cakra, dan Trisula.” Dimas teringat delapan ruang waktu yang pernah disebutkan oleh Ratu Kerajaan Selatan. Prabu Narayala tersenyum melihat Dimas mengerti maksudnya. Raji dan Pafi terbengong-bengong mendengar penuturan dari Prabu Narayala yang selalu tersenyum setiap kali menyelesaikan setiap kalimat dalam ceritanya.

“Tapi, nama-nama gunungnya sama” Kali ini Pafi bertanya dengan suara yang mulai bergairah. Ketakutan yang tadi mereka rasakan serta merta hilang digantikan rasa takjub dunia lain yang mereka lihat.

“Memang Dunia Narapati memiliki wilayah yang sama dengan nama yang sama, yang membedakan hanyalah ruang. Dalam dunia Narapati, Laut Jawa tetaplah sebuah daratan luas dengan lembah-lembah sungainya. Swarnadwipa, Jawadwipa dan Barunadwipa adalah satu daratan yang satu. Bangsa Narapati pindah ke dunia baru tepat sebelum banjir besar datang, dimana ketiga pulau besar yang sekarang di dunia manusia bernama Sumatra, Jawa dan Kalimantan masih satu daratan. Berkat kalian, banyak rakyat Narapati yang selamat dan bisa menyebrang ke dunia tengah. Dunia Narapati memiliki sejarahnya sendiri, walaupun antara dunia Manusia dan Narapati ada kesamaan wilayah, tapi setiap sejarah yang dituliskannya memiliki jalan yang berbeda”.

“Mengapa dunia tengah dengan alam Gaib tidak sama saya masih tidak mengerti ?” Raji yang sejak tadi sudah begitu bersemangat mengajukan pertanyaan. Prabu Narayala membelai kepala Raji dengan lembut.

“Tidak anakku, dunia tengah tidak sama dengan alam gaib. Dunia tengah memiliki ruangnya sendiri. Seperti kalau kau berada di dalam rumah. Tiap ruangan memiliki pintu keluar dan jendela untuk melihat. Dunia manusia, dunia tengah dan dunia gaib memiliki ruang yang saling berhimpit satu sama lain. Dan ada pintu diantara ketiga ruangan itu untuk melintas. Sebelum adanya sebuah perjanjian, melintas ruang matra yang lain sangatlah bebas. Kami sempat mengajarkan beberapa kepandaian kepada manusia yang mengalami kemunduran pada jaman itu. Sisa manusia yang selamat pada bencana 15.000 tahun lalu kehilangan ilmu pengetahuan mereka. Sehingga mereka kembali hidup di jaman batu. Kami mengajarkan mereka untuk membentuk kebudayaan dan masyarakat. Sampai terjadi undang-undang baru yang melarang semua bangsa Narapati mengajarkan apapun kepada manusia dan para Narapati dilarang melintas ke dunia manusia jika tidak diundang oleh manusia, kecuali atas perintah kerajaan, setiap gerbang menuju dunia manusia akan dijaga oleh Nandiswara. Jika hendak melintasi gerbang harus menunjukan ijin kerajaan, karena jika tidak maka para Nandiswara akan bertindak.”

Ketiganya mulai tampak mengerti sekaligus bingung, Prabu Narayala tampak mengerti dengan kebingungan mereka dan dia kembali menjelaskan. Lalu Prabu Narayala mengeluarkan siulan yang khas dari mulutnya, entah bagimana dia membuat siulannya begitu kencang menggema, Dimas terkagum-kagum dengan apa yang dilakukannya.

“Bagaimana Bapak Narayala bisa mengeluarkan suara yang begitu keras dan menggema ?” kata Dimas. Prabu Narayala tersenyum lalu dia menunjuk ke bawah.

“Kau nanti juga akan bisa melakukannya, lihat dibawah itu”.

Prabu Narayala menunjuk seekor harimau putih seukuran kuda jantan dengan pelana dipundaknya. Dimas terbelalak kaget dan merapatkan tubuhnya ke Prabu Narayala. Dari angkasa turun sepasang Garuda Kencana dan dua seorang penunggangnya.

“Dimas, ini adalah dengan harimau putih Narasimha namanya Ki Maungbajra, dan yang ini adalah Arghapati dan Wirapati beserta Garuda kencananya, namanya Pavakah dan Vihangah”.

Kelimanya menunduk dan memberikan salam, Dimas tidak mengerti kalau sujud tunduk hormat itu untuk dirinya.

“Bangkitlah semuanya !”. Prabu Narayala meminta ketiganya bangkit.

“Baiklah ! sebaiknya kita tinggalkan tempat ini, Dimas naiklah ke punggung Ki Maungbajra bersamaku! Raji kau naiklah bersama Arghapati, Pafi naiklah bersama Wirapati. Arghapati kau awasi jalan yang akan aku lalui dari udara, pastikan tidak ada yang mencurigakan, Kerthapati bawalah pesanku ini untuk penguasa pantai selatan jangan kembali sampai kau diperintahkan pergi”

Prabu Narayala menaiki punggung Narasimha dan kemudian menarik Dimas duduk di depannya. Arghapati dan Raji segera terbang bersama Pavakah, Wirapati dan Pafi juga terbang bersama Vihangah, sementara Kerthapati langsung saja menghilang seperti ditelan bumi.

Duduk di atas Ki Maungbajra harimau putih yang sangat besar adalah hal yang sangat mendebarkan sekaligus menyenangkan bagi Dimas. Dimas mencoba menyentuh bulu lembut di pundak Ki Maungbajra, seakan Ki Maungbajra mengerti elusan lembut yang dilakukan Dimas, Ki Maungbajra mengaum menggema ke seluruh penjuru hutan Mahameru. Ki Maungbajra terus berlari ke arah barat, jauh di depan sepasang Garuda Kencananya terus mengangkasa mengawasi setiap kemungkinan mencurigakan.

Di kejauhan telah tampak bangunan-bangunan batu menjulang tinggi mengelilingi sebuah piramida berbentuk segi empat. Piramida bangunan paling tinggi di antara bangunan batu lainnya. Benteng setinggi 100 meter mengelilingi kota megah itu.

“Lihat di depan sana, itu kotapraja Narapati “Medanggana Raya”.

Pilar-pilar obor dari bangunan batu mengelilingi setiap sudut kota. Medanggana Raya memang sebuah kota yang sangat besar, terlihat dari tingginya bangunan-bangunan dan luas benteng yang mengelilinginya. Relief-relief dan relung-relung berukir di setiap gerbang rumah-rumah dengan atap berbentuk limas segi empat dan kerucut-kerucut mengelilinginya. Di tengah kota terdapat Nadhisara, sebuah saluran air buatan yang besar yang membagi-bagi kota menjadi sektor-sektor. Jembatan-jembatan lengkung menghubungan setiap sisi nadisara. Patung-patung Garuda kencana berseling dengan Narasimha bertengger di setiap pilar-pilar penjaga jembatan. Pohon-pohon tumbuh teratur di setiap halaman rumah-rumah penduduk menambah keindahan pagi yang mulai menjalar di ufuk timur.

Ki Maungbajra berhenti di depan gerbang batu dengan relung besar dan terukir relief-relief huruf-huruf kuno. Prabu Narayala mengibaskan tangannya sambil mengeluarkan suara yang agak berat dan lambat

“Buka…..”

Gerbang batu itu bergeser ke kiri dan ke kanan membuka perlahan. Ki Maungbajra bergerak memasuki pintu gerbang yang terbuka, sementara Pafi dan Raji sudah menunggu bersama Arghapati dan Wirapati beserta Garuda kencananya di balik gerbang. Mereka segera bergerak menuju kuil piramida di pusat kota. Prabu Narayala turun dari punggung Ki Maungbajra dan mengangkat Dimas turun dari punggung Ki Maungbajra.

“Ki Maungbajra, kau boleh kembali ke tempat peristirahatanmu”.

Ki Maungbajra menggeram kecil kemudian berbalik meninggalkan tempat. Arghapati dan Wirapati mengelus-elus kepala kedua Garuda Kencana mereka. Kedua Garuda Kencana itu juga segera mengangkasa meninggalkan mereka.

Pagi sudah benar-benar sempurna menunjukan wajahnya walaupun matahari masih setengah hati membagi kehangatannya pada rumput-rumput yang sejak malam menggigil kedinginan. Sambutan pagi itu begitu meriah, daun-daun dengan sesaji embun dinginnya menyembul di ujung-ujungnya yang runcing, burung-burung dengan kicaunya begitu bergairah mengepakan sayap untuk pemanasan setelah semalaman meringkuk di hangatnya sarang yang bergantung di dahan yang yang daunnya sudah luruh karena meranggas. Disapu angin lembut yang membawa hangatnya mentari dedaunan kering meranggas di musim yang mulai kemarau. Kemegahan kota Medanggana Raya makin terlihat jelas, batang-batang pohon jati yang meranggas di seluruh kota membuat suasana kota begitu telihat penuh akan sejarah kejayaan.

Mereka kini berada di sebuah ruangan yang merupakan bagian dari kuil utama di tengah kota. Kuil tersebut merupakan pusat segala kegiatan intelektual masyarakat Narapati di Medanggana Raya. Gerbang berbentuk segi enam setinggi duapuluh meter berbentuk pilar yang berelung ukiran di kaki kuil menembus masuk ke dasar bangunan. Memasuki ruangan pertama persegi enam yang sangat besar dengan tinggi melebihi 2 kali pohon kelapa dengan enam pilar besar menyangga langit-langitnya. Pada tiga dinding di depan, kiri dan kanan terdapat tiga ruang berarsitektur sarang lebah. Untuk mencapainya harus melalui tangga naik yang sangat lebar yang langsung dapat terlihat saat melalui gerbang utama. Sepertinya tangga itu adalah tangga utama yang menuju ruang-ruang lain pada bagian inti dan belakang kuil. Dua tangga lain berada di bagian dinding kiri dan kanan mengarah pada ruangan-ruangan pada bagian sisi kiri dan kanan kuil.

Ruangan itu terlihat sepi, hanya kursi-kursi batu yang teratur rapi mengelilingi setiap pilar. Melihat lantai dan kursi yang begitu bersih mengkilat, jelas Dimas bisa menduga bahwa sebenarnya ruangan ini sangatlah ramai pada siang hari.

“Kuil ini disebut yang artinya pembuat kemakmuran. Dahulu kuil ini kami gunakan untuk kegiatan persembahan bagi Isvarah, Dia sang pencipta. Kemudian kami mengubahnya menjadi pusat kebudayaan dan belajar”.

“Banyak sekali istilah-istilah yang digunakan dalam bahasa sansekerta dan jawa kuno, apakah Narapati tidak mempunyai bahasa sendiri ?” tanya Dimas

“Ya…memang, kebudayaan Narapati adalah kebudayaan pertama. Beberapa bahasa kemudian berkembang menjadi sansekerta yang berkembang pesat di India. Bahasa Sunda, Jawa dan bahasa lainnya di nusantara. Narapati sempat bersentuhan dengan kebudayaan Hindu saat pemerintahan prabu Ajisaka di Jawa. Pada saat itu manusia Jawa baru memulai peradaban yang dibawa dari India, dibuatlah Undang-undang Ajisaka yang mengatur lalu lintas bangsa Narapati ke dunia manusia. Karena hal itulah akhirnya terjadi pertukaran budaya. Sampai akhirnya Undang-undang Ajisaka diganti dengan Undang-undang baru, seperti yang aku sebutkan tadi, melarang semua bangsa Narapati mengajarkan apapun kepada manusia dan para Narapati dilarang melintas ke dunia manusia jika tidak mendapatkan ijin dari kerajaan. Untuk mencegah penyebrangan yang tidak sah kemudian ditempatkan penjaga khusus di 9 pintu gerbang yang disebut para Nandiswara.”

Prabu Narayala tersenyum, sebelum pertanyaan kembali keluar dari mulut Dimas, Prabu Narayala kembali melanjutkan.

“Tentu saja kami melintas ke dunia manusia dengan ijin terlebih dahulu. Siapapun yang pernah melintas ke dunia manusia akan dapat terlihat jelas bekas-bekas di tubuhnya. Siapapun yang melintas tanpa ijin akan mendapatkan hukuman yang sangat berat” Dimas teringat pak Narso dan Mbok Sinem.

Jari telunjuk Prabu Narayala mengacung ke atas memberikan penekanan yang kuat pada kalimat terakhirnya. Tak terasa langkah mereka terus berjalan menapaki anak tangga menuju ruang pada lapisan kedua. Sesampainya pada depan ruangan, terhampar lorong persegi enam dengan kekosongan mutlak oleh kegelapan. Seakan tak dapat ditebak sampai mana ujungnya. Jari-jari Prabu Narayala menjentik membunyikan bunyi “klik” sambil mengucapkan kata “Aktu”. Dalam hitungan yang singkat seluruh lorong terang benderang oleh nyala obor di kiri dan kanan lorong. Jelas sekali sekarang semuanya terlihat. Di kiri dan kanan lorong terdapat pintu-pintu masuk persegi enam. Di setiap 2 pintu masuk diselingi oleh lorong persegi enam yang menghubungkan dengan lorong-lorong di bagian yang lain. Pada bagian ujung lorong terlihat sebuah ruangan yang sangat terang dan luas. Dimas, Pafi, Raji dan Prabu Narayala terus berjalan menuju ruangan paling ujung. Sesampainya di sana, ketiganya lagi-lagi berdecak kagum, kemegahan ruangannya yang dihiasi pancaran cahaya kuning dari obor-obor di sekelilingnya membuat ruangan ini tampak sangat indah. Enam Pilar menyangga sampai ke langit-langit ruangan. Di bagian tengah terdapat pilar bening seperti kaca yang menjulang setinggi pilar yang lain menembus langit-langit berdiameter 2 meter. Prabu Narayala membimbing Dimas mendekati pilar kaca itu. Tangannya bergerak menyentuh pilar dan mengucapkan mantra.

“Tangga udara buka….”

Sepertiga bagian dinding kaca pilar yang berbentuk lingaran itu terbuka. Prabu Narayala membimbing Dimas, Pafi dan Raji masuk ke dalam pilar dan berdiri di atas sebuah lapisan batu berbentuk lingkaran yang lebih kecil dari lingkaran pilar. Alas batu yang mengkilat hitam penuh dengan ukiran tampak jelas sudah sangat sering di pakai. Prabu Narayala mengembangkan tangannya dengan telapak berada di atas, lalu dia menggumamkan mantra sambil mengangkat sedikit tangannya.

“Naik…”

Lingkaran batu bergerak naik ke atas sampai akhirnya menghilang dibalik langit-langit ruangan. Entah berapa tinggi telah dicapai, yang pasti merasakan sensasi yang tidak nyaman di perutnya ketika dirinya terangkat dengan cepat ke atas. Tak lama kemudian mereka berhenti dan tiba di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar. Pintu pilar kaca segera terbuka setelah Prabu Narayala mengibaskan tanggannya. Kemudian mereka berjalan menuju relung yang tertutup. Seperti yang sebelumnya dilihat, Prabu Narayala mengibaskan tangannya dan mengucapkan mantra yang diikuti dengan terbukanya dinding relung. Mereka berdua bergerak menuju pintu yang telah terbuka. Di depan tampak seperti sebuah balkon dengan dinding batu setinggi pinggang orang dewasa.

Matahari begitu hangat menyambut kedatangan mereka yang sekarang berada di puncak kuil Cakravartin. Kuil yang berada berada sebelah-sebelahan dengan kawah gunung Bromo. Medanggana Raya adalah kota yang berada di dalam kaldera Bromo purba. Bentangan bangunan kota dengan lansekap berundak-undak mengikuti bentuk lereng mengelilingi kawah dan Cakravartin. Setiap teras diisi oleh bangunan-bangunan rumah penduduk yang terbuat dari batu dengan atap-atap ukiran mengerucut. Pemandangan megah kota Medanggana Raya yang dikelilingi benteng setinggi seratus meter melingkar mengelilingi kota sampai ke tebing gunung Bromo. Dari tempat itu mereka dapat melihat puncak Mahameru yang menjulang tinggi. Dua kuil yang saling berhadap-hadapan Caturbhasa Mandala di lereng utara Mahameru dan Cakravartin di dalam kawah Bromo purba. Diantara keduanya membentang hamparan pertanian.

Prabu Narayala berkata pelan dan menggiring Dimas dan kedua sahabatnya kembali ke dalam ruangan. Dimas mengikuti gerakan Prabu Narayala memasuki ruangan dan dia tidak melihat beberapa orang sudah duduk menunggu di dalam ruangan itu. Prabu Narayala mempersilahkan Dimas, Raji dan Pafi duduk di antara mereka yang semuanya serentak berdiri dan menghaturkan sembah dengan telapak tangan saling menyatu di depan dada. Sembah yang sempat dia lihat dilakukan oleh Arghapati, Wirapati dan Kerthapati kepadanya.

“Duduklah semuanya”

Prabu Narayala meminta semuanya kembali duduk di tempatnya. Dimas menatap satu persatu orang-orang yang hadir, ada enam orang termasuk dirinya. Seorang lelaki muda berpakaian hijau-hijau yang diingatnya sewaktu berada di alun-alun utara keraton saat penobatan Sultan Hamengkubuwono IX. Juga seorang perempuan sangat cantik tampak duduk bersebelahan dengannya pakaian sangat indah berwarna biru laut. Dua laki-laki yang lain telah dikenal Dimas sebelumnya di kuil Caturbhasa Mandala, Wirapati dan Arghapati.

“Aku perkenalkan, ini adalah utusan Kerajaan Laut Selatan dan Sinar Avedi Hoa-Binh” Prabu Narayala mulai mengenalkan lelaki berpakaian hijau-hijau yang sudah pernah dilihat Dimas sebelumnya.

“Selamat datang Gusti! Saya NIEPETHIN SONAR, saya biasa dipanggil NIEPETHIN. Kita sempat bertemu dua kali.” Lelaki itu memperkenalkan diri dengan tangan kanan menyilang di dada sebelah kiri sambil membungkuk rendah. Kemudian disusul perempuan cantik di sebelahnya.

“Selamat datang Gusti! Saya Cuu Long, Sinar Avedi Agung Au Co menitipkan salam.” Setelah melakukan gerakan hormat yang sama dengan Niepethin, Cuu Long kembali duduk.

“Kami semua adalah PAHOM NARENDRA – BATHARA SAPTHA PRABHU atau disebut Tujuh Pelindung. Yang bertugas melindungimu.” Prabu Narayala menatap Dimas yang masih kurang mengerti maksudnya.

“Tujuh ? lalu yang dua lagi siapa ?” kata Dimas dalam hati.

“Dua yang lain adalah Pafi dan Raji, kedua sahabatmu Dimas”

Prabu Narayala menjawab pertanyaan Dimas. Setelah melihat semua kemegahan kota Medanggana Raya. Tidak ada hal lain yang lebih mengejutkan kalau Raji dan Pafi termasuk di dalam kelompok yang bertugas melindunginya.

“Pahom Narendra bertugas melindungi rahasia dimana buku kehidupan disembunyikan. Rahasia yang sekarang berada di dalam tubuhmu.”

“Tapi saya tidak ingat sama sekali dimana rahasia itu” Dimas agak frustasi dengan kenyataan itu.

“Saat ini memang kau belum tahu, karena masih ada satu kunci yang harus ditemukan agar kau bisa mengetahuinya. Dan kunci itu hanya kau sendiri yang bisa menemukannya.” Kata-kata Prabu Narayala makin membuat Dimas bingung.

“Baiklah, saatnya kita kembali. Niepethin sampaikan salamku pada Ratu Kerajaan Selatan. Cuu Long sampaikan salamku pada Sinar Avedi Agung Au Co.” Semua yang berada di ruangan memberikan salam.

Prabu Narayala mengucapkan mantra sambil mengusap kepala Dimas, Pafi dan Raji bergantian. Seketika ketiganya merasakan kedamaian yang luar biasa menghapus semua rasa sesak di dadanya. Beban yang terasa memuncak terasa ringan terangkat keluar dari kepalanya. Matanya melihat sekeliling ruangan yang terasa makin sempit, lama kelamaan wajah-wajah para Pahom Narendra lenyap dan akhirnya gelap gulita. Saat terang muncul mereka sudah kembali berada di ruangan belajar.

“Selain itu kalian juga perlu tahu, selama kalian tinggal di asrama ini aku menempatkan penjaga yang selalu membantu dan melindungi kalian bertiga.”

Dimas sudah bisa menebak siapa penjaga yang dimaksud Prabu Narayala. Hal ini pernah dibahas bersama Raji dan Pafi. Tetapi pengungkapan ini tetap menjadi sangat penting buat mereka.Prabu Narayala melambaikan tangan kirinya kearah pintu ruang belajar. Dari luar ruangan masuk Nyai Janis, Garangjiwo dan Lakunogo. Kehadiran mereka bertiga walaupun sudah diduga sebelumnya tetap memberikan sedikit kejutan bagi Dimas, Raji dan Pafi. Kejutan bahwa akhirnya mereka semua saling membuka diri siapa sesungguhnya mereka. Raji masih agak sukar percaya Nyai Janis adalah juga seorang Narapati.

“Selamat datang Prabu Narayala!” Nyai Janis menyapa Prabu Narayala. Garangjiwo dan Lakunogo hanya memberikan hatur sembahnya. Nyai Janis kemudian menyapa Dimas, Raji dan Pafi bergantian. Suasana agak menjadi kikuk bagi Dimas.

“Kalian bertiga tentunya sudah mengenal Nyai Janis dengan baik. Nyai Janis adalah Narapati yang ditempatkan di asrama ini untuk menjaga kalian bertiga selama tinggal di asrama ini. Di dalam asrama ini hanya tinggal empat orang Narapati. Nyai Janis, Raji, Pafi dan kau sendiri nak. Dan tentunya ada dua orang lagi yang tentunya kalian bertiga sudah tahu kenal dengan sangat baik dan selalu membimbing kalian selama ini.” Dimas terkejut Prabu Narayala menyebutkan keberadaan dua orang Narapati yang lain. Dimas sudah mengerti yang dimaksud adalah Pak Narso dan Mbok Sinem. Tetapi mengapa kerajaan Narapati tidak menangkap keduanya kalau sudah mengetahui keberadaan mereka. Bukankah pak Narso bilang kalau mereka adalah buronan kerajaan Narapati. Nyai Janis mendekat berdiri di sebelah Dimas. Garangjiwo dan Lakunogo mengikutinya di belakang. Raji masih terus berusaha menyesuaikan hatinya. Menerima kenyataan kalau Nyai Janis adalah juga seorang Narapati. Sesuatu yang begitu tidak rela dia berikan. Dua orang perempuan muncul dari balik pintu. Keduanya segera menghaturkan salam sembah kepada Prabu Narayala. Prabu Narayala memperkenalkan keduanya kepada yang hadir.

“Ini Kriyandita dan Sukmaratih. Mereka akan ikut membantu mengamankan di dalam asrama.” Raji tersenyum semangat menyodorkan tangannya. Kriyandita dan Sukmaratih tersenyum geli melihat tingkah Raji. Sesaat lalu dia begitu ketakutan hingga jatuh ke lantai. Tetapi sekarang semangatnya berpijar mengalahkan matahari siang.

“Tempat ini sekarang sudah terlalu berbahaya untuk kalian bertiga. Dalam waktu dekat Amukhsara akan menemukan keberadaan kalian disini. Kalian harus dipindahkan segera. Untuk sementara tempat teraman adalah Medanggana Raya.”

“Tidak, saya akan tetap berada disini. Saya tidak mau meninggalkan teman-teman saya di asrama dalam keadaan bahaya. Mereka teman yang selama sebelas tahun tinggal dan tumbuh besar bersama saya. Saya tidak akan menghianati mereka. Saya akan tetap disini bersama mereka.” Penolakan Dimas cukup mengagetkan. Pafi dan Raji memiliki pendapat yang sama mereka berdua memilih tinggal bersama di asrama. Prabu Narayala melihat bahaya yang sangat besar kalau membiarkan Dimas tetap berada di asrama. Bahaya yang tidak Cuma mengancam dirinya, tetapi juga seluruh Narapati dan dunia tengah. Tetapi Prabu Narayala melihat kesetiaan dan sikap ksatria yang ditunjukan Dimas. Suatu sikap yang akan amat diperlukannya nanti saat memimpin dunia tengah.

Tidak ada komentar: