Selasa, 11 Maret 2008

BAGIAN 6 - SAHABAT TUA

Hari ini malam bergerak lambat. Dimas tidak menguasai dirinya. Pikirannya terus melayang membawanya ke sebuah tempat. Dimas tidak yakin apakah dirinya sedang bermimpi atau memang nyata sedang berada di sebuah tempat yang tidak pernah dikunjunginya, tapi seperti begitu mengenalnya.

“Mahameru!” begitu bisiknya pelan. Matanya memandang sebentuk kerucut yang begitu tinggi di belakangnya. Seolah nama tempat itu begitu saja keluar dari mulutnya. Setiap hal yang dilihatnya seperti langsung mendapatkan sebuah nama dalam ingatannya.

Pagi begitu dingin di kaki Mahameru dekat tepian sungai Glidik yang mengalir jernih dari mata airnya yang turun dari lereng gunung. Sejak fajar menyingsing dentuman-dentuman laksana petir menggema di pagi yang begitu cerah. Sesekali getaran menjalari bumi mengguncang semua yang berdiri tegak di atasnya. Tak satupun kicauan burung terdengar atau ada hewan yang keluar setelah semalaman meringkuk nyaman dalam sarangnya. Tampaknya pagi itu bukan pagi yang mereka biasa tunggu dengan tidak sabar menyambut kehangatan mentari muda. Dimas memandang langit yang bersemu kemerahan.

“Pagi bermega ?” semburat merah muncul di langit barat. Kumpulan atap ilalang terlihat begitu dekat. Dikelilingi ladang yang sudah selesai panen. Desa-desa di kaki Mahameru tampak sepi tanpa denyut kehidupan pagi. Tidak ada satu orang pun berada di jalan. Tampaknya semua penduduk lebih memilih berkumpul dengan keluarga mereka masing-masing, pikir Dimas. Tetapi ada dua orang sedang berada di depan sebuah rumah. Seorang laki-laki muda bolak-balik gelisah di depan sebuah rumah kayu beratap alang-alang. Bolak-balik di depan seorang lelaki tua yang sedang asyik menghisap cangklongnya sambil tersenyum melihat perilaku anak muda di depannya. Dari dalam rumah terdengar suara seorang perempuan mengerang kesakitan diselingi suara yang lain seperti memberi semangat. Dimas berjalan menghampiri rumah itu.

“Kelihatan sedang ada sesuatu di dalam rumah, dan kedua lelaki itu sedang menunggunya.” Pikir Dimas.

“Tenang Karto, istrimu sedang ditangani oleh yang sudah berpengalaman, anak dan istrimu pasti selamat” lelaki tua itu mencoba menenangkan anak muda tersebut sambil mengangkat kakinya dari lantai dan menyatukan dengan tubuhnya yang duduk di atas dipan kayu. Cuaca yang dingin pagi hari memaksanya menekukan badan mengurangi rasa bekunya seluruh kulit karena usia yang sudah tidak muda lagi. Tampak sekali wajahnya menyiratkan rasa cemas yang berusaha disembunyikannya sambil terus berpegangan pada dipan yang sedang didudukinya kalau-kalau getaran bumi kembali mengguncang lagi. Tatapan cemas Karto tidak juga hilang walaupun mendengar apa yang diucapkan lelaki tua tadi. Kepalan tangannya memukul-mukul udara kosong seperti berusaha menekan gundah dalam hatinya. Wajah anak muda itu seperti begitu dikenal Dimas. Garis wajahnya tidak asing. Tetapi kali ini tidak ada satu namapun yang muncul dari kepalanya.

“Mana aku bisa tenang Ayah, aku khawatir sekali dengan Swarti, aku tidak tega mendengarnya kesakitan seperti itu. Sudah sejak fajar tadi anakku belum juga lahir.” Kepala Karto berusaha melongok ke dinding rumah yang tertutup dengan harapan tatapannya bisa menembus dinding kayu rumahnya dan melihat keadaan yang terjadi di dalam. Lelaki tua yang dipanggil ayah oleh Karto tadi juga menyadari apa yang sedang terjadi. Gejala alam yang tidak biasanya sejak pagi yang mengiringi kelahiran cucunya membuatnya juga cemas dan mencoba mereka-reka apa yang sedang terjadi.

Gerakan-gerakan gelisah yang dilakukan Karto seketika terhenti oleh sebuah ledakan yang sangat luar biasa kencang disusul oleh getaran bumi yang mengguncang lebih dahsyat dari sebelumnya. Keterkejutan Karto segera teralih pada saat yang bersamaan oleh jerit tangis seorang mahluk mungil yang baru saja lahir. Sesaat kemudian tidak ada suara lagi yang terdengar kecuali suara tangisan bayi yang baru saja lahir. Kemudian udara terasa begitu padat, ranting dan daun-daun terdorong angin ke timur. Lalu suasana menjadi hening, awan hitam menggulung dari barat bergerak terus ke timur menutupi seluruh langit pagi yang baru saja menikmati mentari muda. Langit kembali menjadi gelap gulita. Dimas terkejut bukan main melihat perubahan yang begitu cepat. Matanya terus memperhatikan.

Tiba-tiba saja whooooooottttt…….. seberkas cahaya meluncur cepat dari deburan awan hitam yang menggulung menerobos masuk ke dalam rumah dan …………….semua terhenti, Karto berdiri tegak tak bergerak, sedangkan ayahnya yang meniupkan asap rokoknya ke udara yang juga berhenti mendadak seakan waktu berhenti berputar.

“Hei apa itu! Kedua orang itu tidak bergerak.” Dimas berlari masuk ke dalam rumah itu. Sebuah bola cahaya bergerak turun lambat di atas seorang bayi merah. Bola cahaya putih itu kemudian masuk ke dalam tubuh bayi itu. Sesaat kemudian seluruh tubuh bayi itu bersinar begitu terang. Kulitnya yang merah berubah menjadi putih keemasan.

*******

Dari dalam seorang perempuan tua keluar melalui pintu dengan senyum sumringah.

“Laki-laki” perempuan itu menyambut Karto dengan pelukan lega. Karto begitu bahagia

“Alhamdulillah” wajahnya begitu gembira, dadanya terasa bergolak tak kuasa menahan rasa bahagia. Serta merta Karto menembus masuk ruangan dimana istrinya berbaring lemah bersisian dengan seorang bayi laki-laki. Tatapan bahagia begitu memuncak di mata Karto yang mencium kening istrinya dengan penuh kasih sayang. Kemudian matanya beralih kepada bayi mungil yang tertidur pulas disamping istrinya. Diraihnya bayi itu ke dalam gendongan tangannya, wajahnya begitu berseri-seri melihat geliat sang bayi yang tampak cerah bersinar terang. Dimas berdiri di pojok ruangan terus memandangi kegembiaraan keluarga itu menyambut kehadiran anggota keluarga baru.

“Anakku, kau aku namakan Jayapati” Karto memberi nama kepada anakknya. Sang bayi menangis keras setelah Karto memberikan nama, seluruh tubuh bayi Jayapati memancarkan sinar terang keemasan dan sebuah lambang huruf muncul di dahi bayi Jayapati. Karto terpaku melihat bayi Jayapati dalam gendongannya yang bersinar sangat terang. Di sekelilingnya dilihat kedua orang tua Karto dan dukun beranak sudah duduk bersimpuh dengan kedua tangan bersalam di depan dada.

“Ayah, ada apa dengan anakku, Jayapati. Mengapa kalian semua duduk bersimpuh seperti itu ?” tanya Karto.

“Karto, berbahagialah anakmu adalah sang terpilih.” Jawab ayah Karto.

“Sang Terpilih, apa maksud ayah ?” tanya Karto penuh kebingungan sambil terus menggendong Jayapati.

“Menurut cerita legenda Narapati, bangsa yang dulu tinggal di lembah Sunda, tetapi kemudian terpaksa berpindah ke dunia tengah tepat saat terjadinya banjir besar yang menenggelamkan seluruh peradaban Narapati ke dalam lautan yang sekarang disebut Nusantara, adalah bangsa terpilih untuk menjadi penjaga Buku Kehidupan yang menuliskan semua nasib bangsa-bangsa di dunia tengah. Buku Kehidupan tersimpan di perut bumi pada saatnya akan diserahkan kepada sang penjaga untuk membawanya, dan sang Candramukha akan mengeluarkan seluruh kekuatannya untuk melepaskan Buku Kehidupan dan menyerahkannya kepada sang Terpilih. Sang terpilih akan memiliki tanda gaib dikening berupa hurup kuno Narapati yang hanya akan muncul saat seluruh tubuhnya mengeluarkan sinar keemasan.” kata ayah Karto.

“Tapi, aku bukan bangsa Narapati, anakku bukan keturunan bangsa Narapati.” Kata Karto dengan wajah masih bingung.

“Kau keturunan bangsa Narapati Karto, karena aku dan ibumu adalah bangsa Narapati. Tetapi kami memutuskan pindah ke dunia manusia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih tenang. Maafkan kami baru menceritakannya kepadamu sekarang, karena kami terikat janji untuk tidak menceritakan apapun tentang dunia tengah kepada siapapun di dunia manusia. Tetapi tampaknya aku harus melanggar janjiku karena sekarang kau memiliki tanggung jawab besar untuk membesarkan sang Terpilih.” Kata ayah Karto. Karto menatap tidak percaya kepada ayahnya, kemudian pandangannya dialihkan kepada Jayapati anaknya yang sudah kembali normal. Kemudian Karto meletakan bayi Jayapati di samping istrinya yang tampak cemas.

“Apa maksudnya dengan menjadi Sang Terpilih kang Karto ?” tanya Swarti istrinya yang masih terbaring lemah.

“Aku sendiri tidak tahu dek.” Kata Karto pelan.

“Pada waktunya nanti Sang Terpilih harus menemui semua kewajiban yang telah dituliskan kepadanya, dan hanya dia sendiri yang tahu dan dapat menemukannya.” Kata ayah Karto

“Yang terpenting sekarang adalah Jayapati harus terlindung. Kita semua harus merahasiakan hal ini sampai Jayapati cukup dewasa.” Ayah Karto kembali menambahkan sambil menatap kepada istrinya dan memberi isyarat. Ibunda Karto segera ingat kepada dukun beranak yang masih berada di ruangan lain menunggu. Ayah Karto meraih cucunya dari pembaringan dan menggendongnya. Suasana berubah ceria dengan suka cita seluruh keluarga menyambut kehadiran Jayapati di tengah mereka.

“Sang terpilih ? Narapati ?” Semua yang dilihatnya menjadi samar kemudian hilang sama sekali. Dimas mendapati dirinya kembali berada di atas tempat tidur.

“Karto, Swarti, Jayapati” Dimas bangkit dari tempat tidurnya. Ruangan bangsal masih gelap. Malam belum lagi beranjak pagi. Matanya melihat Raji yang masih meringkuk pulas. Dimas berusaha terus mengingat mimpinya tadi. Kali ini mimpinya berbeda. Tidak lagi menyeramkan ataupun menyedihkan. Dimas sempat berpikir, apakah bayi itu adalah dirinya. Tapi kemungkinan itu dibuangnya jauh-jauh. Nama yang diberikan kedua orang tua bayi itu adalah Jayapati. Tapi ada kesamaan dengan mimpinya yang lalu. Buku Kehidupan ! Mereka bicara tentang Buku Kehidupan.

“Aku belum menceritakan semua tentang mimpi-mimpiku kepada pak Narso. Mungkin lebih baik aku bercerita kepadanya.” Dimas melangkah ke depan jendela. Sesaat matanya melihat empat titik merah di kegelapan. Sinar merah itu hanya berputar-putar mengelilingi pagar. Dimas terus mengawasi gerak titik-titik merah itu. Tengkuknya merinding. Kakinya segera melangkah kembali ke tempat tidur dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

Pagi ini Dimas kusut sekali. Wajahnya masih terlihat mengantuk sisa malam yang tidak bisa dilanjutkan tidurnya sampai pagi. Pafi melihat hal tidak biasa ini. Matanya menilik lebih tajam ke wajah Dimas. Dimas berusaha menyembunyikan wajahnya. Tetapi mulutnya yang menguap beberapa kali tidak bisa membohongi Pafi.

“Kau tidak tidur semalam ya ?” tanya Pafi

“He eh” jawab Dimas singkat. Mulutnya kembali menguap.

“Memangnya kau mimpi lagi yah. Kenapa aku tidak tahu ?” tanya Raji yang biasanya selalu membangunkannya saat dia gelisah dalam mimpinya.

“Iya, kali ini tidak seram jadi aku tidak terbangun kaget. Tetapi semalam aku tidak bisa tidur lagi. Aku melihat dua pasang mata menyala merah berkeliling di luar pagar asrama.”

“Apa! Maksudnya mahluk yang tempo hari menyerang kita ?” Raji terkejut sekaligus merinding. Dimas hanya mengangguk.

“Terus kau mimpi apa semalam ?” Pafi lebih tertarik dengan mimpi Dimas. Baginya kehadiran mahluk itu kembali bukan hal yang mengejutkan. Memang menakutkan, tetapi dengan langkah Nyai Janis menebar garam dan merica di sekeliling pagar asrama sudah memberi tanda yang jelas kalau mahluk itu akan datang lagi.

Dalam keadaan masih mengantuk Dimas menceritakan semua hal mengenai mimpinya. Kali ini bukan dilakukannya karena memang dirinya sedang ingin menceritakannya. Tetapi karena Dimas sedang berusaha mengusir rasa kantuknya. Dengan bercerita pikirannya jadi lebih bekerja dan bisa mengusir kantuknya.

“Aku akan menceritakannya kepada pak Narso setelah kita pulang dari sekolah nanti.”

“Mungkin lebih baik begitu. Lagi pula kita sudah berjanji menceritakan apapun kepada pak Narso. Dan selama ini kita belum sempat menceritakan mengenai mimpi-mimpimu dengan lengkap kepadanya. Siapa tahu dengan menceritakannya secara lengkap, pak Narso bisa memberikan jawaban arti dari mimpi-mimpi itu.” Kata Pafi.

“Yah, aku rasa juga begitu. Aku yakin pak Narso juga menyimpan jawaban tentang tamu-tamu Nyai Janis.”

“Aku juga penasaran tentang tamu-tamunya Nyai Janis. Kau dengar mantra yang terdengar dari dalam kantor Nyai Janis ?” kata Raji.

“Aku mendengarnya, tapi tidak begitu jelas. Karena pikiranku teralih oleh kedatangan mahluk-mahluk itu.” Kata Dimas.

“Sudahlah, kita bahas lagi masalah ini nanti di tempat pak Narso.” Dimas mengangguk setuju usulan Pafi. Raji juga tidak lagi bertanya. Mereka terus berjalan menyusuri jalan menuju sekolah. Sesekali berpapasan dengan orang-orang dan saling menyapa ramah. Khas Jogjakarta. Penuh tata krama dan keluwesan.
---- *** ----

Siang hari terasa teduh, awan kelabu mengambang di angkasa. Belum ada tanda-tanda akan hujan, tapi udara sangat sejuk. Rumah pak Narso sudah menjadi tempat yang akrab. Dimas, Raji dan Pafi hampir setiap hari lebih suka menghabiskan waktu mereka di tempat pak Narso. Kalau PR mereka sudah selesai. Pak Narso dan Mbok Sinem terlihat lebih senang kalau mereka bertiga datang. Dimas sudah bulat dengan tekadnya. Ada hal yang ingin diceritakannya, tapi dia juga ingin mengetahui lebih jauh mengenai pak Narso dan Mbok Sinem. Pengetahuannya begitu luas mengenai semua hal yang ditanyakan kepadanya. Dimas merasa ada sesuatu yang juga disembunyikan oleh Pak Narso. Dan hari ini adalah saat yang tepat untuk mendapatkannya. Entah dari mana datangnya keyakinan itu. Matanya menatap gurat wajah yang semalam muncul dalam mimpinya. Seraut wajah muda yang masih tampak jelas di garis wajah pak Narso. Ada kemiripan antara pak Narso dengan Karto pemuda yang ada dalam mimpinya. Pemuda yang menanti menjadi seorang ayah dari seorang yang terpilih. Sejenak Dimas menarik nafas panjang. Pak Narso sendiri tampak santai dengan cangklongnya.

“Saya ingin menceritakan sesuatu yang penting tentang mimpi-mimpi saya pak. Saya harap pak Narso bisa membantu saya memecahkan arti mimpi itu.”

Pak Narso memberikan perhatian kepada Dimas. Hatinya begitu senang akhirnya Dimas mau percaya penuh kepadanya. Dirinya tahu arti penting mimpi-mimpi Dimas bagi kelanjutan perjalanan mereka sendiri. Tapi ada hal yang sudah dia tahu dan harus tetap dipegangnya sampai waktunya tepat. Dimas mulai menceritakan secara lengkap mimpi-mimpinya. Belum ada tanggapan apapun dari pak Narso. Tetapi air muka pak Narso berubah drastis saat Dimas menceritakan mimpinya di kaki gunung Mahameru. Pak Narso seperti tercekat, diam tak bisa mengeluarkan kata-kata apapun. Dimas benar-benar menelanjangi siapa dirinya sebenarnya. Tetapi tetap pak Narso mempertahankan rahasia yang lain. Yang harus tetap dijaganya demi keselamatan Dimas.

“Apakah pak Narso kenal dengan Karto ?” Pertanyaan Dimas langsung menyentak pak Narso. Dirinya tidak menduga pertanyaan Dimas yang begitu langsung ke pokok masalah. Sejenak pak Narso terdiam. Dimas sudah mendapatkan jawabannya dari diamnya pak Narso. Pafi dan Raji masih tidak mengerti apa yang dimaksud Dimas. Karena Dimas memang belum menceritakan adanya kemiripan wajah dari pak Narso dengan Karto yang dalam mimpi Dimas. Pak Narso menghela nafasnya dalam-dalam seakan sedang mengangkat beban yang begitu berat dalam hatinya. Dia tahu kalau sekarang dirinya sedang diminta hal yang sama oleh Dimas, Kejujuran.

“Baiklah nak Dimas.” Suara pak Narso begitu berat.

“Sepertinya saya juga harus memberikan sikap yang sama seperti yang saya minta kepada anak semua, Jujur. Karto, pemuda dalam mimpi nak Dimas adalah saya. Waktu itu istrinya Swarti, atau yang anak kenal semua mbok Sinem sedang dalam persalinan. Jayapati adalah anak kami yang lahir pada saat Krakatau meletus dengan dahsyat tahun 1883. Mimpi nak Dimas tentang perang di lembah Krakatau adalah perang yang benar-benar terjadi pada tahun yang sama. Tetapi bukan perang yang terjadi di dunia ini. Perang itu terjadi di dunia tengah, dimana Narapati sekarang tinggal. Kami adalah bangsa Narapati.” Seperti petir di siang bolong pengakuan pak Narso cukup mengagetkan Raji dan Pafi. Tetapi bagi Dimas itu hanya sebuah penguatan dari dugaannya saja yang didapatnya semalam.

“Jadi pak Narso dan Mbok Sinem adalah Narapati ?” Raji seperti masih belum percaya dengan apa yang didengarnya.

“Kenapa bapak merahasiakannya dari kami ?” tanya Pafi

“Saya bukanlah narapati lagi, sejak saya dan keluarga memutuskan untuk tinggal di dunia manusia. Keberadaan Narapati di dunia manusia sangat dibatasi dan diatur dengan ketat. Penyebrangan tanpa ijin dan persetujuan dari kerajaan maka akan dikenai hukuman mati. Jika seorang Narapati hendak pindah dari dunia tengah ke dunia manusia, dia harus melepaskan semua hal yang membuat dirinya seorang Narapati.”

“Memangnya apa yang membuat seorang Narapati berbeda dengan manusia biasa.” Tanya Raji yang makin kebingungan dengan Narapati dan Manusia.

“Narapati memiliki kemampuan mengolah pikirannya dan tujuh cakra di dalam tubuhnya. Semua itu terjadi secara alamiah, bahkan sejak lahir. Manusia biasa tidak dapat menggunakan energi dari alam untuk melakukan banyak hal. Bila pindah ke dunia manusia, maka kerajaan Narapati akan mencabut semua kemampuan itu sehingga kemampuan setara dengan manusia biasa. Keberadaan seorang Narapati yang masih dengan kemampuan aslinya di dunia manusia akan sangat berbahaya dan bisa disalahgunakan. Hanya pejabat yang sudah ditunjuk dapat melintas gerbang.”

“Maksud pak Narso Itu artinya kami adalah juga Narapati ?” Dimas mendapatkan kesimpulan yang makin mengarahkannya kepada semua penyebab keanehan yang dialaminya. Bahwa dia berada di dunia yang bukan tempatnya berasal. Pak Narso menjawab hanya dengan mengangguk. Antara gembira dan cemas, itulah yang dirasakan oleh Dimas.

“Itu sebabnya Ratu Kerajaan Selatan memanggil kami Narapati saat datang ke tempatnya.” Raji teringat saat pertama di gua Ngejungan.

“Lalu mengapa kami berada di sini ? di dunia manusia bukan di dunia tengah?” Pertanyaan Dimas membuat pak Narso terkejut. Tidak ada jawaban yang bisa disiapkan untuk pertanyaan itu. Lidahnya kelu dan suaranya tertahan diujung tenggorokan.

“Saya….saya…tidak tahu nak. Bapak hanya tahu anak diantarkan secara bersamaan oleh seorang perempuan tua. Perempuan itu pergi begitu saja tanpa pesan setelah menyerahkan anak kepada Nyai Janis. Sedangkan nak Raji dan nak Pafi dibawa Nyai Janis sejak masih bayi.” Jawaban pak Narso mengaburkan harapan Dimas. Raji dan Pafi seperti terhenyak akan kenyataan itu. Selama ini mereka tidak pernah berusaha mencari tahu bagaimana mereka bisa tiba di asrama ini. Mereka selalu beranggapan kalau mereka dititipkan ke asrama karena kedua orang tua mereka telah meninggal. Suasana menjadi murung. Pak Narso merasakan betul kesedihan mereka.

“Bagaimana cara ke dunia tengah ?” Raji masih kembali memompa semangatnya. Walaupun harapan tentang orang tua sudah berakhir. Tetapi Dunia tengah tetap menjanjikan hal baru dan menyenangkan.

“Narapati yang sudah berada di dunia manusia tidak akan bisa kembali ke dunia tengah. Kalau dia tidak tahu dimana letak Sembilan gerbang. Sembilan gerbang itu dijaga ketat oleh mahluk gaib bernama Nandiswara.”

“Nandiswara, apakah sama dengan lodaya bersayap mahakala ?” Dimas teringat patung-patung harimau bersayap yang menjaga Sembilan satuasra.

“Tidak, tidak sama. Nandiswara yang dimaksudkan adalah patung Sapi yang berada di pintu gerbang itu. Patung itu telah diberi sihir-sihir yang akan bisa mengenali siapapun yang telah mendapatkan ijin melintas gerbang.”

“Apakah pak Narso sudah tidak punya kekuatan Narapati lagi ?” Pafi mengalihkan perhatian mereka semua. Pak Narso mengerti betul maksud Pafi. Ceritanya akan membuat Dimas dan Raji makin ingin tahu dan membawa mereka ke sana. Dimas membiarkan arah pembicaraan beralih.

“Saya masih memilikinya. Karena itu kerajaan Narapati masih mencari keluarga saya. Keberadaan saya dan keluarga harus disembunyikan karena kami adalah pelarian buronan kerajaan Narapati. Kami pindah ke dunia manusia tanpa ijin. Tapi kami tahu aturan yang seharusnya dan kami tidak pernah menggunakan kekuatan kami di dunia manusia. Tapi kami tetap orang bersalah. Karena itu kami mengubah nama kami.”

“Lalu dimana Jayapati, putra bapak ?” tanya Dimas

“Dia sudah meninggal duabelas tahun yang lalu”

“Meninggal ? maafkan kami pak Narso” Dimas merasakan dadanya tiba-tiba saja sesak dan tidak terbendung. Air matanya hampir saja buyar di matanya. Dia tidak mengerti mengapa harus merasakan hal ini. Dia tidak tahu siap Jayapati. Tapi mengapa seakan kematiannya membawa sejuta duka dalam hatinya. Raji dan Pafi tertunduk sedih.

“Tapi, bukankah dia adalah sang terpilih, pembawa Buku Kehidupan ?” pertanyaan Pafi membantunya mengalihkan perhatian.

“Dia tewas mempertahankan Buku Kehidupan dalam sebuah pertempuran melawan Sanaisbin, Raja bangsa Amukhsara.” Pak Narso mengalihkan pertanyaan Pafi pada hal lain. Dia tahu kalau dia tidak akan mampu menjawab pertanyaan berikutnya. Karena apa yang harus dia pertahankan akan pecah.

“Amukhsara ?” Raji memindahkan topik mereka. “Jadi Narapati tidak menempati dunia tengah sendirian. Maksud pak Narso ?” Pafi memastikan kesimpulannya benar.

“Ya benar. Itulah yang dimaksud Ratu Kerajaan Selatan tentang Hitam dan Putih, Baik dan Jahat, Benar dan Salah. Sebagian Narapati harus berkorban menjadi tumbal berdirinya dunia tengah. Mereka kemudian berubah menjadi bangsa yang berbeda dan menamakan dirinya Amukhsara. Perang abadi antara hitam dan putih di dunia tengah seperti halnya di dunia manusia.”

“Mengapa Buku Kehidupan begitu penting hingga diperebutkan ?” tanya Raji

“Karena siapa yang menguasai Buku Kehidupan maka dialah yang menentukan nasib dan masa depan. Benar dan Salah hanyalah ditentukan oleh siapa yang paling berkuasa atas dunia dan siapa yang punya kekuatan menentukan nasib yang lain.” Dimas menjawab pertanyaan Raji.

“Berarti sekarang Buku Kehidupan telah dikuasai oleh bangsa Amukhsara ?” Pafi terdengar khawatir dengan dugaannya sendiri.

“Belum, buku itu masih aman disimpan oleh Narapati. Disembunyikan di tempat yang tidak diketahui oleh Amukhsara.”

Ketiganya bernafas lega mendengar jawaban pak Narso. Pak Narso menatap dalam kepada Dimas. Ada isyarat yang ditangkap oleh Dimas tapi tidak dimengerti olehnya. Isyarat yang pernah dia lihat dulu saat pertama kali menceritakan kejadian-kejadian aneh yang dialaminya. Isyarat yang juga tertangkap dari mata Mbok Sinem.

“Apakah dua mahluk yang datang pada malam itu adalah Amukhsara pak Narso ?” Dimas teringat serangan dua mahluk hitam di belakang kantor Nyai Janis.

“Bukan, mereka bangsa Gendrawa. Mereka termasuk sekutu Amukhsara. Saya tidak tahu mengapa mereka bisa kesini. Bangsa Gendrawa memang suka muncul di dunia manusia. Mereka sangat pandai menyerupakan diri seperti manusia. Biasanya mereka menyamar menjadi seorang lelaki yang baru saja meninggalkan istrinya pergi. Biasanya hanya terjadi di desa-desa dekat tempat tinggal para Gendrawa, di lereng gunung.”

Masih banyak pertanyaan dalam pikiran Dimas. Tetapi matahari telah condong ke barat. Dimas teringat aturan baru yang ditetapkan Nyai Janis untuk mereka. Raji dan Pafi juga sama enggannya meninggalkan rumah pak Narso. Masih banyak hal yang ingin ditanyakan. Pak Narso pun menyarankan mereka untuk segera kembali ke asrama. Tidak ada pilihan lain selain pulang. Tapi pak Narso berjanji akan melanjutkannya besok. Ketiganya melangkah pergi meninggalkan rumah pak Narso dengan sejuta tanya baru yang terus berkembang dalam pikiran mereka. Tapi lebih dari itu, kenyataan baru bahwa mereka bertiga adalah Narapati memberikan harapan, kesenangan, kesedihan, khawatir dan semua perasaan yang bercampur aduk. Akankah banyak kesempatan terbuka luas di sana atau justru hidup akan lebih sulit. Semuanya terus berputar dalam pikiran Dimas.

Tidak ada komentar: