Selasa, 11 Maret 2008

BAGIAN 11 - TALI PUSAR JAYAPATI

Udara lebih sejuk setelah pertemuan semalam terjadi. Ada berkas-berkas indah menari di kepala Dimas. Dia menemukan kembali kedamaian pelukan ayahnya. Lembut belaian kasih ibunya. Walaupun hanya sepenggal, paling tidak ada setetes kasih yang pernah dirasakan dan bisa diingatnya. Dimas lebih suka menyendiri belakangan ini. Raji dan Pafi mengerti kebutuhannya. Mereka berdua membiarkan Dimas mengambil waktunya sendiri. Halaman gersang sisa serangan belalang malah tampak lebih indah dengan ingatan pahit ini. Air matanya mengalir tanpa bisa dibendung. Tangannya buru-buru menghapusnya. Bangsal masih sepi, anak-anak masih menghabiskan waktu mereka di ruang belajar. Matanya melihat seorang penjaga berada di halaman asrama. Jendela tempatnya berdiri biasa memandang, kini menjadi penjara yang begitu membosankan. Tapi hatinya ditegarkan demi teman-temannya. Mereka belum tahu kalau kemalangan yang sekarang mereka alami adalah karena dirinya. Pertama kalinya Dimas merasa telah membebani begitu banyak orang. Menempatkan mereka pada posisi yang berbahaya. Andai saja hanya dirinya yang harus berhadapan dengan para Amuksara, mungkin sesak di dadanya tidak akan seberat ini. Rasa bersalah juga menghinggapinya telah membawa Raji dan Pafi ke dalam konflik ini. Keselamatan kedua sahabatnya yang begitu berharga kini harus berada di ujung tanduk. Walaupun dia tahu Raji dan Pafi sangat tidak mempermasalahkan hal itu. Dimas hanya menatap prajurit yang berjalan-jalan berputar-putar di depan asrama. Tidak tampak apapun yang mencurigakan yang membuatnya bersikap lebih waspada. Sesaat kemudian dia teringat kata-katanya sendiri. Dia akan berada di asrama bersama teman-temannya menghadapi semuanya. Dimas memutuskan untuk bergabung dengan teman-temannya yang lain di ruang belajar. Kakinya melangkah pasti keluar dari ruangan bangsal.

Beberapa prajurit khusus Narapati telah ditempatkan di dalam asrama. Setiap malam mereka bergantian menjaga dan berkeliling asrama. Anak-anak asrama yang lain hanya tahu kalau mereka adalah polisi yang punya kemampuan dukun. Suasana sebenarnya tidak terlalu mencekam. Berkat kemampuan para prajurit khusus Narapati yang membawa cair suasana. Canda tawa dan gurauan bergema di dalam ruangan-ruangan. Ruang makan yang biasanya penuh dengan meja dan kursi kini berubah menjadi panggung hiburan. Anak-anak duduk di lantai memperhatikan sebuah pertunjukan wayang orang yang diperagakan beberapa anak, termasuk Raji di dalamnya. Suara riuh bergemuruh di dalam ruangan. Nyai Janis, pak Narso dan para pembantu ikut menyaksikan. Sukmaratih dan Kriyandita berjaga di sudut ruangan. Dimas langsung bergabung dengan anak-anak lain. Belum pernah Nyai Janis mengijinkan acara seperti ini sebelumnya. Ini adalah kali pertama asrama begitu hangat dan bersahabat. Padahal mereka semua sedang ditengah sebuah kecemasan. Mungkin itu sudah menjadi sifat alamiah manusia. Mereka akan saling menghibur memberikan semangat saat keadaan terburuk menimpa. Mungkin ini yang disebut sifat alami untuk kelangsungan hidup. Yang dipikirkan hanya bagaimana meningkatkan kualitas mental yang lain agar bisa meneruskan hidup dan berjuang untuk kelangsungan hidup jenis mereka. Mungkin ini pula yang menghindarkan manusia dari kepunahan walaupun sama-sama melewati masa yang sama dengan Mamoth ataupun Singa bertaring panjang yang telah punah ribuan tahun lalu.

Pertunjukan selesai. Anak-anak diminta untuk kembali ke bangsal mereka masing-masing. Dimas menghampiri Raji yang baru menyelesaikan perannya. Tak lama kemudian Pafi ikut bergabung.

“Kau hebat Raji! Kau memang berbakat sekali di pertunjukan seperti itu. Selamat ya!” Mendapatkan pujian dari Pafi seperti mendapat kunjungan sultan keraton. Hal yang jarang terjadi. Hidung Raji langsung membesar.

“Eh hehehe terima kasih! Tapi tanpa yang lain aku tidak bisa seperti itu. Mereka yang membantuku kelihatan bagus.” Kata Raji merendah. Komentar yang jarang pula didengar Pafi. Biasanya Raji selalu pamer.

“Tapi benar Pafi bilang. Kau memang hebat sekali tadi. Anak-anak tadi lebih banyak memujimu.” Dimas ikut memuji.

“Ayo kita kembali ke kamar tidur!” kata Raji.

“Kalian tega sekali! Sudah berapa lama coba kita tidak berkumpul seperti ini. Masak harus cepat-cepat kembali. Aku bisa bengong sendirian di kamar.” Pafi menolak kembali lebih awal ke kamar. Dimas paham benar maksud Pafi. Tak tega melihat wajah Pafi yang begitu memelas.

“Baiklah. Kita ke ruang belajar saja.” Raji memberikan usul. Wajah Pafi berubah sumringah. Dimas pun setuju. Sudah dua hari mereka tidak berkumpul karena Dimas memilih untuk sendirian. Mereka pun pergi menuju ruang belajar.

Melepaskan kangen mengobrol bertiga memberikan energy baru bagi Dimas. Rasa terima kasihnya begitu besar mendapat dua sahabat yang selalu setia dengannya. Banyak cerita yang muncul dalam dua hari ini. Terutama bagaimana Raji melakukan latihan-latihan singkat bersama yang lain membuat pertunjukan tadi.

“Bagaimana kau bisa ikut pertunjukan tadi ?” Dimas penasaran. Raji memang tidak banyak cerita tentang hal itu. Dan dia yakin karena Raji ingin memberikan ruang sendiri untuknya.

“Yah, aku awalnya tidak ikut. Secara tidak sengaja aku melihat latihan pertama mereka. Sambil lewat menirukan dialog mereka. Maksudku bercanda. Tapi bibi Sukmaratih malah memanggilku. Katanya caraku mengucapkan dialog itu begitu lucu. Aku kagum pada bibi Sukmaratih, selain seorang prajurit khusus ternyata pandai menjadi sutradara juga.”

Raji menceritakan semua kelucuan yang terjadi selama latihannya. Dimas dan Pafi tertawa terbahak-bahak tiada henti. Bukan hanya karena ceritanya yang lucu tetapi juga cara Raji membawakan cerita yang begitu menyenangkan dan lucu. Cerita Raji menjadi pengobat yang ampuh bagi duka Dimas. Yang membuatnya makin menghargai persahabatan mereka.

Sudah dua hari Prabu Narayala kembali ke Cakravartin. Sebelum pergi dia memasang pagar-pagar pelindung melingkari seluruh asrama. Tetapi Dimas tidak bisa tidur semalaman. Ingatannya terus melayang. Hatinya terus ingin bertemu dengan pak Narso. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tetapi semuanya seperti tersumbat di dalam dada. Walaupun matanya dipaksa dipejamkan Dimas tetap tidak bisa tidur. Akhirnya kakinya tidak bisa lagi diperintah untuk tetap berada di atas kasur. Dimas melangkah keluar bangsal dengan hati-hati. Kali ini Raji tidak dibangunkan. Di luar bangsal Dimas mendengar percakapan. Dua suara perempuan jelas sekali terdengar. Kriyandita dan Sukmaratih masih berjaga di dalam. Dimas menghampiri keduanya. Tidak ada jalan lain kalau ingin menemui pak Narso yang tinggal di belakang dapur sekarang. Pak Narso dan Mbok Sinem menempati kamar Mbok Sinten yang terpaksa harus sekamar dengan mbok Sirem. Telinga Sukmaratih yang tajam segera mengetahui kedatangan seseorang dari lantai atas.

“Siapa itu!” Sukmaratih menanyakan identitas orang yang tak lain adalah Dimas.

“Saya, Dimas.” Dimas menuruni tangga menghampiri keduanya.

“Kenapa malam-malam masih keluar kamar ?” Kriyandita bertanya lebih lembut.

“Aku tidak bisa tidur, aku mau menemui pak Narso. Bibi semua tahu dimana pak Narso ?” Belum Kriyandita dan Sukmaratih menjawab, tiba-tiba suara pak Narso sudah berada di belakang mereka.

“Saya disini nak Dimas. Ada apa nak Dimas mencari saya ?” Pak Narso muncul dari balik pintu ruang makan. Dimas senang sekali bertemu dengan pak Narso.

“Kalian tidak boleh keluar dari asrama ini.” Sukmaratih melarang dengan keras.

“Siapa yang bilang mau keluar. Kami akan duduk di ruang makan saja.” Dimas dan pak Narso masuk ke dalam ruang makan. Meja-meja dan kursi telah dikembalikan seperti semula setelah siang tadi digunakan untuk pertunjukan seni.

“Nak Dimas tidak bisa tidur ?”

“Iya pak, saya tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Isi kepala saya selalu saja berputar-putar. Entah apa yang saya pikirkan saya sendiri tidak mengerti.”

“Itu karena hati nak Dimas yang resah. Nak Dimas harus menenangkan dulu isi hati nak Dimas baru pikiran bisa tenang.”

“Iya pak, sudah saya coba tetapi tidak juga bisa.”

“Kalau begitu cobalah kenakan ini. Mungkin ini bisa membantu”

“Apa ini pak ?”

“Ini adalah tali pusar anak saya. Saya sering mengenakannya sewaktu dia rewel waktu kecil. Setelah dia mengenakannya dia lebih tenang.” Dimas meraih kalung hitam dari tangan pak Narso. Kalung yang begitu mirip dengan yang sekarang dikenakannya. Terbuat dari kain hitam. Dimas melingkarkan kalung itu di lehernya. Rasa hangat menjalar saat kalung itu menyentuh kulit dadanya. Rasa nyaman menjalar ke seluruh tubuhnya. Kalung hitam itu tiba-tiba bergerak menjadi satu dengan kalung hitam milik Dimas hingga akhirnya benar-benar menyatu. Dimas tidak mencegah lagi. Pak Narso hanya tersenyum melihat kejadian itu.

“Mungkin kalung itu berjodoh dengan nak Dimas.”

“Tidak pak, kalung ini milik pak Narso. Ini kenang-kenang dari anak Bapak. Saya tidak boleh memilikinya. Bagaimana cara membuatnya terpecah lagi jadi dua ?”

“Saya juga tidak tahu nak, Tapi saya yakin kalung itu memang berjodoh dengan nak Dimas. Mungkin isi kalung itu tahu siapa tuannya yang sebenarnya sekarang.”

Dimas tidak bisa berkata apa-apa lagi. Perasaannya begitu nyaman sekarang. Seolah semuanya telah lengkap.

“Mengapa tali pusar ini memiliki kekuatan seperti itu pak Narso ?”

“Tali pusar itu adalah bagian dari tubuh anak saya Jayapati yang dipotong setelah tubuhnya dirasuki oleh kekuatan Buku Kehidupan. Jadi tali pusar itu memiliki sebagian kecil kekuatan Buku Kehidupan.”

Dimas teringat hal yang dikatakan Prabu Narayala kalau dirinya adalah pemegang rahasia terakhir dimana Buku Kehidupan disembunyikan. Mungkinkah kalung ini akan membantunya mengeluarkan rahasia itu dari dalam tubuhnya ? Mungkin memang dirinya berjodoh dengan kalung itu karena dia yang menyimpan rahasia tempat persembunyiannya. Dimas masih mereka-reka dalam hatinya.
Pak Narso kelihatan begitu bahagia telah menyerahkan kalung itu kepada Dimas. Seolah beban yang lama ditanggung telah terangkat dari pundaknya.

Tidak ada komentar: