Minggu, 23 Maret 2008

BAGIAN 13 - PERTEMPURAN DI ASRAMA

Asrama menjadi senyap sekali. Seakan semua suara tertelan. Di dalam asrama tidak ada yang tahu asrama telah dikelilingi oleh Amukhsara. Seluruh anak asrama dan para pembantu kecuali Dimas, Raji dan Pafi telah diungsikan ke dalam ruang keinginan. Kamar rumah Gandrung cukup memberikan tempat yang aman untuk sementara. Dimas, Raji dan Pafi kelihatan gelisah berada di dalam ruangan rumah Gandrung. Ruangan yang semua cukup luas ternyata menjadi begitu sempit dengan begitu banyak anak-anak asrama berada di dalamnya.

“Kita harus keluar dari tempat ini!” Dimas berbisik pada Raji dan Pafi. Matanya menyapu ruangan memastikan tidak ada yang memperhatikan pembicaraan mereka.

“Bagaimana caranya ? Terlalu banyak anak-anak yang melihat kita kalau kita keluar. Akibatnya bisa buruk. Mereka akan mengikuti tindakan kita.” Tangan Pafi memegang naskah yang dulu disimpannya diruangan itu.

“Cerobong sampah!” sahut Raji.

“Kita belum pernah mencobanya. Kita tidak tahu akan keluar dimana” Pafi ragu-ragu. Tidak kalau kau baca yang ini. Dimas menarik tangan Pafi. Dimas membacakan tulisan aksara Sinar Avedi itu. “Semua jalan keluar adalah pintu yang sama”. “Kau percaya sekarang ?” Pafi mengangguk setuju. Mereka bertiga segera menuju dapur. Anak-anak yang lain tidak terlalu memperhatikan mereka bertiga. Dengan perlahan Dimas masuk ke dalam lubang pembuang sampah. Disusul Raji dan Pafi. Saat keluar mereka sudah berada di ruang keinginan.

“Kita akan kemana dulu ?” tanya Pafi.

“Bangsal putra di lantai dua saja.” Usul Raji. Dimas mengangguk setuju. Kemudian mereka membuka sebuah pintu dan menyebutkan bangsal putra di lantai dua. Di balik pintu bangsal putra telah di hadapan mereka. Dari jendela Dimas bisa melihat bayangan hitam yang masih mengelilingi asrama. Dua larik sinar merah meluncur deras dan membuat dentuman keras di udara kosong. Sejauh ini pagar gaib yang dibuat melingkari asrama masih mampu menahan mereka. Tetapi itu tidak akan berlangsung lama. Amukhsara terus-menerus menggedor perlindungan. Semakin lama terasa sihir-sihir perlindungan Narapati makin lemah. Beberapa Narapati penjaga telah bersiaga penuh. Kegelapan malam memperjelas terang lampu-lampu asrama yang menyala di dalam. Tiba-tiba dua larik sinar merah meluncur. Kemudian meledak di udara kosong. Bangunan asrama bergetar hebat. Debu-debu rekahan dinding bertaburan di udara. Dimas merasakan getaran di seluruh ruangan seolah gempa sedang terjadi. Mereka berlari keluar ruangan kemudian menuruni tangga ke lantai bawah.

“Apa yang kalian lakukan ? Kalian seharusnya berada di ruang perlindungan” Kriyandita menangkap kedatangan Dimas, Raji dan Pafi.

“Kami harus membantu kalian. Kami memiliki kemampuan yang sama dengan bibi semua. Kami bisa menjaga diri kami sendiri.” Sahut Pafi.

“Iya, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk berlatih. Di depan sana adalah musuh nyata yang kita hadapi.” Kata Sukmaratih.

“Betul senyata ancaman yang akan kami hadapi sepanjang hidup kami. Lebih baik menghadapi mereka sekarang.” Kata-kata Dimas menutup debat mereka. Seolah kalimat Dimas tidak dapat lagi dibantah. Sukmaratih dan Kriyandita tidak berkata apa-apa lagi. Dimas segera mengambil posisi disebelah Nyai Janis berada di sebelahnya di dalam ruangan depan. Pak Narso juga berada di sana. Matanya menatap bangga pada ketiga anak asuhnya.Sukmaratih dan Kriyandita berjaga di depan dekat pintu utama.

“Apakah mereka akan berhasil menembus perlindungan gaib ?” Pafi tampak lebih khawatir dari pada yang lain.

“Belum, perlindungan gaib yang dibuat Prabu Narayala sangat kuat. Mereka akan butuh waktu yang lama untuk menembusnya.” Nyai Janis berusaha memberikan keyakinan pada Pafi. Tapi wajah pak Narso menunjukan ketidakyakinannya. Dimas, Raji dan Pafi melihatnya dengan jelas.

“Mengapa bantuan belum datang juga ? Apakah prajurit jaga gerbang itu berhasil memberitahu Cakravartin?” Kriyandita melihat belum juga ada bantuan datang.

“Entahlah kita berdoa saja.”

“Kalian sudah terkepung. Kalian tidak akan bisa menahanku untuk masuk.” Suara dari luar asrama menggema hingga ke dalam. Sebuah dentuman terdengar lagi. Seluruh gedung terasa berguncang hebat.

“Sepertinya pintu gaib telah rusak akibat serangan gendrawa kemarin.” Kata Sukmaratih. Dari luar pintu Garangjiwo dan Lakunogo mundur dan berjaga di depan pintu.

“Pelindung gaib akan tembus! Bersiaplah!” Garangjiwo berteriak memperingati semua yang berada di dalam. Semuanya bersiaga melepaskan serangan. Dua larik sinar merah kembali meluncur dengan cepat. Dalam hitungan detik dentuman mengguncang kembali bangunan asrama. Pelindung gaib benar-benar sudah hancur. Bayang-bayang hitam melompati pagar bergerak dengan cepat. Garangjiwo melepaskan serangannya. Dua sinar biru meluncur deras menghantam dua bayangan hitam. Seketika keduanya terjengkang dan terkapar di atas tanah terbakar hangus. Bayangan hitam yang lain kelihatan tidak peduli dua temannya mati terkapar. Mereka terus maju membalas menyerang. Empat larik sinar merah melesat mengarah pada Garangjiwo dan Lakunogo. Keduanya merunduk menghindari serangan yang langsung menghantam pintu di belakang mereka. Dua daun pintu jati lepas dari engselnya terdorong beberapa meter dari tempatnya. Garangjiwo dan Lakunogo melakukan serangan balik. Beberapa bayangan hitam ambruk. Jantung Dimas berdegup kencang. Pintu terbuka lebar. Sekarang mereka benar-benar tidak terlindung lagi. Namun tiba-tiba terdengar suara geram marah begitu keras. Tidak jelas datangnya dari mana. Tapi terasa dekat sekali suara itu seolah berasal dari dalam asrama. Garangjiwo dan Lakunogo melihat hal yang tidak diduga mereka. Pagar-pagar asrama bergerak seperti dua tangan menghalau bayangan-bayangan hitam yang berusaha masuk ke dalamnya.

“Rumah Pelindung! Ternyata asrama ini adalah Rumah Pelindung. Asrama ini benar-benar menyimpan banyak kejutan. Terlalu banyak sihir-sihir Sinar Avedi disini.” Garangjiwo tetap melakukan serangan-serangannya kearah bayangan-bayangan hitam itu.

“Rumah ini benar-benar marah setelah pintunya dihancurkan.” Kata Lakunogo. Sanaisbin tidak menduga kalau asrama itu adalah rumah pelindung yang diciptakan dengan sihir-sihir Sinar Avedi. Rumah itu bergerak melawan menghalangi pasukan bergerak masuk. Tidak satupun kesempatan diberikan oleh Rumah Pelindung membuat pasukan Amukhsara tercerai-berai. Sanaisbin memutuskan masuk sendiri. Tubuhnya melayang masuk diantara gerakan pagar tangan Rumah Pelindung yang berusaha menghalaunya.

“Narso, serahkan tali pusar Jayapati!” Dimas terkejut bukan main. Suara Sanaisbin terdengar saat melayang masuk ke dalam. Suara itu begitu mengerikan dan terdengar sangat berat.

“Aku tidak akan menyerahkannya.” Pak Narso berteriak keras menolak permintaan itu.

“Kalau begitu, aku akan mengambil paksa darimu. Nasibmu akan sama dengan anakmu Jayapati dan istrinya.” Suara itu bergema kembali. Dalam sekejap dua larik sinar merah menghantam Garangjiwo dan Lakunogo. Kedua menahan dengan perisai gaib. Tenaga serangan terlalu kuat untuk mereka. Garangjiwo dan Lakunogo terlempar menabrak dinding di dalam ruangan. Keduanya meringkuk menahan sakit akibat benturan. Nyai Janis dan Pafi membantunya. Sebuah bayangan dengan jubah menutup hingga kepala melayang masuk ke dalam. Baju yang compang-camping dan tidak menapak ke lantai menyiratkan kalau itu bukan manusia. Sukmaratih dan Kriyandita maju melakukan serangan. Dua sinar biru dan putih meluncur deras menyerang bayangan itu. Tapi dengan mudah serangan itu dipatahkan. Kedua tangannya membelah ke kanan dan ke kiri. Tubuh Sukmaratih dan Kriyandita terlempar jauh ke dalam koridor. Keempat prajurit khusus dilumpuhkan dengan mudah.

“Hadapilah aku Sanaisbin” Pak Narso menghadang.

“Serahkan benda itu Narso, kau akan aku ampuni” Sanaisbin melayang berhenti di depan pak Narso.

“Kau tidak akan pernah mendapatkannya.” Pak Narso meluncurkan serangan. Dua buah sinar hijau melesat cepat kearah Sanaisbin. Sanaisbin melepaskan dua laris sinar merah menyongsong serangan pak Narso. Kedua sinar itu berbenturan di udara. Seluruh ruangan asrama kembali berguncang hebat. Pak Narso terjengkang. Pak Narso bangkit lagi. Tangannya sudah siap melepaskan serangan. Dua larik sinar kuning melesat dari tangan Sanaisbin. Pak Narso melepaskan serangannya. Dua larik sinar putih meluncur menyongsong serangan Sanaisbin. Benturan hebat kembali terjadi. Tapi kali ini keduanya sinar itu bersimpul di tengah. Saling dorong terjadi antara pak Narso dengan Sanaisbin. Tetapi kekuatan tubuh tua pak Narso bukan tandingan Raja Amukhsara itu. Sinar putih dari tangan pak Narso terdorong habis menghantam tubuhnya sendiri. Tubuh pak Narso terlempar menghantam dinding dengan keras. Darah keluar dari mulut, hidung dan telinganya. Dimas dan Raji menangkap tubuhnya sebelum jatuh terkulai ke lantai. Pak Narso hanya tersenyum melihat Dimas.

“Se..la..matkan dirimu nak” Pak Narso menutup matanya untuk yang terakhir kali. Dimas menangis sejadinya. Raji memeluk tubuh tanpa nyawa itu dengan erat. Air matanya mengalir tanpa henti.

“Pak Narso!” Pafi berlari menghambur ketubuh pak Narso yang sudah tidak bernyawa. Tiba-tiba Dimas bangkit.

“Kau harus membayar kematiannya!.” Dimas berjalan menghadang Sanaisbin.

“Jangan Dimas! Dia bukan tandinganmu!” Nyai Janis berusaha mencegah.

“Dimas, Kau anak Jayapati! Hahaha, mencari biji malah pohonnya sekalian datang kepadaku.” Dimas tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Sanaisbin.

“Kau telah membunuh ayahku Tapa Aji dan ibuku Kasih. Sekarang kau membunuh lagi orang-orang yang aku sayangi. Kau harus membayarnya.”

“Keberanian yang sama yang aku lihat sebelum ibumu terkapar.” Sanaisbin melayang mendekat. Wajahnya tetap tersembunyi di balik kerudungnya.

Dimas menerjang dengan serangan dua larik sinar kuning. Sanaisbin hanya menghindar. Kemudian Sanaisbin membalas serangan. Dua larik sinar merah lepas dari kedua tangannya. Dimas menyongsong serangan dengan dua larik sinar kuning dari kedua tangannya pula. Benturan itu membuat Dimas terjengkang ke belakang, tetapi masih sanggup berdiri. Sanaisbin terdorong mundur hingga ke depan pintu.

Tiba-tiba kilasan bayangan muncul di depan mata Dimas dengan cepat. Kemudian bayangan itu bergulung menjadi kabut dan menyerap masuk ke dalam kepala Dimas. Sejenak Dimas merasakan linglung. Sebuah ingatan masuk ke dalam kepalanya. Dimas melihat ibunya, Kasih berdiri tegak mengawasi seluruh sudut halaman rumahnya. Beberapa bayangan muncul dari kegelapan malam yang hanya diterangi oleh dua lampu obor bambu. Semua bergerak mendekati rumah, tetapi ketika sudah berjarak sepuluh langkah dari tempat berdirinya Kasih semua bayangan itu terpental ke belakang diikuti lecutan sinar merah dari menghantam mereka. Beberapa selamat dengan menghindari lecutan itu tetapi yang lain hangus terbelah dua.

“Aku telah pasang pagar halilintar di sekeliling rumahku, tidak akan ada mahluk dari dunia tengah maupun dunia gaib yang mampu menembusnya. Pergilah kalian semua sebelum binasa”

Kasih berkacak pinggang mengusir semua tamunya yang tak diundang itu. Tiba-tiba dari tempat yang agak gelap melesat dua larik sinar merah ke arah Kasih, sebelum menyentuhnya dua sinar itu bertumbukan dengan sesuatu yang kasat mata dan menimbulkan dentuman keras. Bumi bergetar hebat Kasih terpelanting menghantam pintu rumah. Dadanya terasa sakit dan sesak, kemudian bangkit dan menata kembali posisi berdirinya. Sesaat kemudian melesat lagi dua larik sinar merah ke arahnya, kali ini Kasih tahu bahwa pagar halilintarnya akan segera hancur, dia menyiapkan segenap tenaganya dan menghempaskan telapak tangannya ke depan. Bersamaan dengan itu dua larik sinar biru keluar dari telapak tangannya menyongsong dua sinar merah yang melesat ke arahnya. Dentuman kecil sempat terdengar tanda pagar halilintar akhirnya bisa ditembus, kemudian saat kedua sinar itu bertemu dentuman yang lebih besar menggelegar diikuti dengan terpentalnya ke belakang Kasih menghantam pintu rumah yang langsung jebol dan menghantam bilik ruang tamu. Kasih hanya mengeluarkan suara pelan sebelum akhirnya rebah dengan darah yang membasahi seluruh dadanya keluar dari mulutnya. Matanya masih melihat dengan tatapan yang penuh kesakitan.

Tapa Aji menghampiri istrinya dan memangku kepalanya di pahanya. Dia tersenyum melihat Kasih yang tersenyum juga kepadanya.

“Aku telah berhasil jeng, sekarang semua tergantung usaha Sighram”

Tapa Aji membisikannya ke telinga Kasih. Mendengar suara suaminya Kasih hanya tersenyum dan mengangguk dan menutup matanya.

“Baiklah, aku akan melakukannya”

Tapa Aji melepaskan istrinya dan disenderkan ke dinding. Tapa Aji bangkit dan menyongsong musuh yang sudah berdiri di halaman yang langsung mengurungnya.

“Narapati serahkan Buku Kehidupan”

sebuah suara yang sangat menakutkan menggema dari belakang para pengurung Tapa Aji yang segera menyurut ke belakang dua langkah. Sesosok bayangan hitam dengan jubah yang sudah compang camping bergerak melayang menghampiri Tapa Aji.

“Sanaisbin” Tapa Aji dalam hati bergetar menyebutkan nama itu.

“Serahkan Buku Kehidupan itu” Sanaisbin menyorongkan tangannya yang berkuku panjang dengan daging yang sudah sobek.

“Kalau kau menginginkannya, kau harus mengambilnya sendiri ke dalam tubuhku. Itu pun kalau kau sanggup” Tapa Aji menantang Sanaisbin.

“Baiklah, kita lihat ada apa di dalam tubuhmu”
“PHONHIDHATH RAHA….”

Sanaisbin menggerakan tangannya ke udara kemudian dua sinar hijau keluar dari tangannya bergerak ke arah Tapa Aji berusaha membelit seluruh tubuh Tapa Aji. Tapa Aji tidak tinggal diam,

“EKHARA SOBIENH…..”

tangannya dengan telapak terbuka bergerak memutar-mutar di depan kepalanya yang mengeluarkan sinar putih berputar-putar menyerap semua sinar hijau Sanaisbin. Tapi tanpa diduga Sanaisbin berkelebat ke arah Tapa Aji dan kedua tubuh mereka bertumbukan. Dalam tumbukan itu sebuah bayangan hitam keluar dari tubuh Sanaisbin dan menyerap masuk ke dalam tubuh Tapa Aji. Tubuh Sanaisbin yang telah ditinggalkan rohnya ambuk ke tanah, sementara di dalam tubuh Tapa Aji terjadi pertempuran dua jiwa. Tubuh Tapa Aji menggeliat dan bergulung-gulung di atas tanah beberapa saat sebelum akhirnya berhenti. Tubuh Tapa Aji bangkit dan tertawa terbahak-bahak.

“HA…HA…HA…aku akhirnya menguasai BUKU KEHIDUPAN, HA…HA…HA… dan sekarang dunia”

Tubuh Tapa Aji yang telah dikuasai Sanaisbin terus tertawa tanpa henti. Semua pengepung tadi langsung duduk berlutut menyembah. Belum usai rasa puas yang dimenangkan oleh Sanaisbin, tiba-tiba terdengar suara lemah dari dalam rumah yang tak lain suara Kasih yang mendayu lembut seperti sebuah tembang.

“Ketika kempompong tak lagi menjadi kupu-kupu, Sang Angkara hanya dapat dibunuh oleh anaknya sendiri”

Kasih tak lagi melanjutkan kata-katanya, kedua matanya terpejam menyusul suaminya pergi.

“Kau sekarang milikku! Aku Sanaisbin! Raja dari segala raja dunia tengah. Aku menguasai buku kehidupan. Takdir dunia tengah ada ditanganku”

Sanaisbin melayang menghampiri Dimas yang terkulai duduk dengan mata yang nyaris terbalik. Ingatan yang masuk ke dalam kepala membuatnya kehilangan konsentrasi. Sanaisbin tepat berada di depannya. Raji dan Pafi menyadari bahaya melakukan serangan menghalau Sanaisbin. Serangan mereka dengan mudah di halau Sanaisbin. Sanaisbin dengan mudah mendorong Raji dan Pafi ke belakang. Dimas masih duduk lemas.

“Dimas, bangkit. Dia ada di depanmu!” Raji berteriak.

Sanaisbin telah siap melancarkan serangannya. Sesaat Sanaisbin melihat benda yang dicarinya tergantung di leher Dimas. Tiba-tiba Sanaisbin seperti kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Tubuhnya seperti terpecah menjadi dua bagian. Dia mundur menjauhi Dimas. Kemudian mencoba mendekatinya lagi. Hal yang sama terjadi padanya. Tubuhnya seolah akan terpecah dua. Tidak ada yang mengerti apa yang terjadi pada Sanaisbin. Dimas masih terkulai lemas dengan mata yang memutih. Sanaisbin kemudian menyiapkan sebuah serangan dari jauh. Dia sadar dirinya tidak bisa menyentuh Dimas sama sekali. Sebelum serangan Sanaisbin meluncur, sebuah bayangan berkelebat menyambar tubuh Dimas kemudian meletakannya di bawah tangga.

“Kau sudah tahu sejak dulu aku lah lawanmu yang seimbang, Naraphala” Prabu Narayala sudah berada di dalam ruangan.

“Bapak Narayala!” Raji dan Pafi berteriak gembira.

“Maafkan aku anak-anak. Lama sekali memperbaiki pintu gaib itu. Sekarang pasukan Narapati sudah masuk ke tempat ini.” Prabu Narayala tersenyum. Dimas yang masih terkulai dipapah Raji ke dinding.

“Narayala, kau tidak bisa menghalangiku lagi.” Sanaisbin geram sekali.

“Oh ya, aku masih bisa menghalangimu Naraphala” Sanaisbin melepaskan serangannya. Dua larik sinar hijau meluncur kearah Prabu Narayala. Dengan cekatan Prabu Narayala melepaskan serangannya. Dua larik sinar keemasan lepas dari kedua tangannya bertemu di udara kosong. Kedua sinar itu saling bersimpul kemudian saling mendorong. Puluhan pasukan Narapati keluar dari ruang belajar keluar menuju halaman.

“Pasukan Narapati akan datang dengan jumlah yang lebih besar lagi Naraphala” Sanaisbin melihat gerakan pasukan Narapati yang makin banyak jumlahnya mulai menyerang pasukannya. Sanaisbin melepaskan serangannya.

“Aku tidak akan mengalah Narayala, aku akan datang lagi” Sanaisbin melayang keluar asrama kemudian menghilang bersama seluruh pasukannya di kegelapan malam.

“Aku akan tunggu, selalu setiap saat aku menunggumu datang” Suara Prabu Narayala mengecil saat mengucapkan kalimat terakhirnya. Wajahnya berubah sendu. Kemudian matanya beralih kepada Dimas.

“Kau tidak apa-apa nak ?” Dimas masih setengah sadar dengan mata yang mulai terbalik. Prabu Narayala meletakan kedua telapaknya di kening Dimas. Asap putih keluar dari kedua telinga Dimas. Sesaat kemudian Dimas pulih kembali. Dua prajurit Narapati membantu Garangjiwo dan Lakunogo. Sukmaratih dan Kriyandita berjalan tertatih dari ujung koridor. Ruangan asrama begitu berantakan.Setelah sadar Dimas berlari menghampiri pak Narso. Wajahnya nanar memandang lelaki tua yang sudah tak bernyawa itu. Kesedihan memayungi seluruh asrama. Dimas terus memeluk tubuh pak Narso. Raji dan Pafi menunduk sedih di sampingnya. Sesaat Dimas memandang pada Prabu Narayala. Bibirnya gemetar. Prabu Narayala hanya terdiam.

“Bapak Narayala, apakah Jayapati dan Tapa Aji adalah orang yang sama ?” suara Dimas bergetar. Semua yang melihat menahan nafas mendengar apa yang ditanyakan Dimas. Pafi sudah berlinang air mata melihatnya. Prabu Narayala sejenak diam.

“Betul nak, Jayapati adalah orang yang sama dengan Tapa Aji. Dia putra pak Narso, kakekmu.” Dimas balas memeluk lelaki tua itu. Jawaban Prabu Narayala menjadi isyarat berkekuatan halilintar yang menyentak Dimas dengan amat keras. Nafasnya terengah menahan sesak yang mendobrak dadanya. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari kenyataan setelah tidak memiliki keluarga kemudian harus kehilangan lagi keluarga yang baru saja ditemukan. Tidak ada satu pun dalam ruangan itu yang merasa akan sanggup menanggung beban kesedihan yang dialami Dimas. Nyai Janis hanya tertunduk mengusap air matanya.

“Mengapa kakek tidak pernah bilang pada saya. Mengapa kakek merahasiakan semua ini dari saya ?”

“Aku yakin, kakekmu melakukannya demi keselamatanmu. Dia sangat sayang padamu sehingga dia harus menahan semua kerinduannya demi keselamatanmu.” Kata-kata Prabu Narayala membangkitkan kenangan Dimas saat bersama dengan pak Narso. Dimas memegang kalung hitam di lehernya. Dia teringat saat pak Narso memberikan kalung itu kepadanya. Kalung yang disebutnya telah berjodoh denganya.

Beberapa prajurit Narapati mendekati tubuh pak Narso. Dimas seperti sudah tidak bertenaga lagi. Kakinya tidak sanggup menopang tubuhnya sendiri. Raji dan Pafi membantunya berdiri. Tubuh pak Narso diangkat beberapa prajurit Narapati. Dari caranya terlihat penghormatan yang diberikan kepada Pak Narso. Cara menghormati seorang pahlawan Narapati.

Tidak ada komentar: