Selasa, 11 Maret 2008

BAGIAN 7 - TUGAS BARU

“Narapati, ternyata kita juga adalah Narapati.” Raji melompat-lompat tidak tentu arah. Dimas memandang sahabatnya. Ada perasaan ikut gembira ada juga cemas. Narapati yang dikenalnya adalah Narapati 15.000 tahun lalu. Sekarang Narapati sudah tinggal di dunia tengah. Dunia yang amat berbeda dengan yang sekarang dijalaninya. Ada harapan dia akan bisa bertemu kembali dengan kedua orang tuanya. Tapi pertanyaan besar kemudian timbul dalam pikiran Dimas. Bagaimana mereka bisa terdampar begitu jauh di asrama ? Di dunia manusia. Pertanyaan itu masih disimpannya sendiri. Dimas tidak mau mengganggu kegembiraan Raji. Ruang bangsal sepi. Kebanyakan anak-anak sudah pergi ke ruang makan. Hanya tinggal Dimas dan Raji.

“Ayo kita makan dulu!”

Raji menyusul Dimas yang sudah keluar dari bangsal. Makanan malam ini sepertinya kalah menarik dengan berita Narapati. Raji seperti kelihangan jurus sapu jagatnya. Tangannya menyendok dengan gaya yang aneh. Pafi sebal sekali melihatnya.

“Kau ini kenapa sih, gayamu menyebalkan sekali.”

“Aku sedang membiasakan diri menjadi seorang…..” Tangan Dimas segera menutup mulut Raji yang nyaris saja membuat semua janji mereka dengan pak Narso pecah.

“Kau harus hati-hati Raji, jangan terlalu berlebihan menunjukannya di tempat umum.” Dimas melepaskan tangannya dari mulut Raji.

“Eh..maafkan aku.”

Beberapa pasang mata memperhatian kejadian itu. Mbok Sinem tersenyum melihatnya. Drama tidak berlanjut panjang. Semuanya sibuk kembali dengan makanannya.

Di ruang makan sekarang sudah ada kebiasaan baru, mencuci piring masing-masing setelah makan. Semua bermula dari ulah Dimas menghipnotis Aryo dan gengnya mencuci piring mereka sendiri setelah makan beberapa waktu yang lalu. Malam ini pun kebiasaan baru itu masih berlangsung. Nyai Janis sangat senang dengan perubahan baik itu. Setelah semua anak selesai mencuci, Nyai Janis meminta semuanya untuk tetap berada di meja makan.

“Dengarkan baik-baik besok kita semua akan menghadiri upacara penobatan Raja di keraton. Jadi berpakaian yang bagus-bagus. Sekolah diliburkan selama sehari”

Semua anak-anak bersorak-sorai gembira. Penobatan Raja bukan hal yang terjadi setiap tahun. Ini kesempatan langka yang tidak semua orang bisa berada pada waktu yang sama.

“Tumben sekali Nyai Janis baik begini” Raji masih tidak percaya. Dari dulu dia sangat tidak percaya kalau orang bule seperti Nyai Janis tertarik dengan kebudayaan Jawa. Mereka lebih tertarik mengeruk harta tanah ini.

“Kau salah Raji, Nyai Janis selalu memperhatikan pengetahuan kita tentang budaya kita sendiri. Kita tidak akan diajak melihat upacara larung di pantai Parang Kusumo kalau dia tidak peduli.” Dimas baru kali ini membela Nyai Janis. Itu cukup mengherankan Raji dan Pafi. Tapi apa yang dikatakan Dimas memang ada benarnya.

“Aku setuju denganmu Dimas. Lagi pula Nyai Janis pasti tahu kalau penobatan Raja bukan sesuatu yang terjadi setiap tahun. Ini kesempatan langka seumur hidup. Tentu dia tidak mau peristiwa ini disia-siakan begitu saja.” Kata Pafi. Sepertinya mulai ada perubahan pandangan terhadap Nyai Janis. Raji masih agak kurang suka dengan perubahan itu. Nyai Janis masih tetap tidak menyenangkan.

“Eh lebih baik kita bicarakan hal lain saja. Tentang Narapati” Raji makin tertarik dengan tema itu. Yang lain pun merasakan yang sama. Narapati dan dunia tengah menjadi hal yang makin menarik. Sama seperti saat mereka masuk ke dunia Narapati 15.000 tahun lalu. Dunia yang mereka pikir memiliki sesuatu yang lain.

“Apakah menurut kalian Nyai Janis juga adalah seorang Narapati ?” Dimas memulai topic mereka tentang Narapati. Raji langsung cemberut, karena topiknya kembali lagi tentang Nyai Janis.

“Mungkin saja, dia kan pernah berusaha membaca pikiranku. Artinya dia punya kemampuan seperti kita. Ditambah kedua tamu misteriusnya waktu itu.” Kata Pafi yang begitu senang melihat Raji kelihatan sebal dengan tema mereka. “Bagaimana menurutmu Raji ?” tambahnya.

Raji tidak mau menjawab, dia diam saja. “Ini kan tema Narapati juga. Kalau benar Nyai Janis adalah seorang Narapati, berarti asrama ini dikelilingi oleh Narapati. Artinya ada sesuatu di asrama ini. Pak Narso bilang hanya Narapati yang memiliki ijin saja berada di dunia manusia. Biasanya mereka adalah telik sandi, petugas pemantau, atau prajurit pencari Narapati yang menyebrang.” Dimas berusaha membuat tema mereka lebih menarik di telinga Raji. Benar saja Raji tertarik memberikan pendapatnya.

“Mungkin di asrama ini ada satu gerbang dari Sembilan gerbang itu. Dan pintu gaib di ruang belajar itu lah gerbangnya.” Kata Raji.

“Mungkin juga, itulah kenapa kita melihat ada orang masuk melalui pintu itu. Seperti pintu-pintu di ruang keinginan. Kita bisa kemana saja yang kita mau. Dan kalau kita bisa membukanya kita bisa masuk ke dunia tengah.” Gagasan Dimas mulai mengkhawatirkan Pafi.

“Ayo kita ke ruang belajar!” Raji makin bersemangat.

“Tunggu! Aku masih tidak yakin dengan pintu itu. Aku tetap merasakan getar menyeramkan di sana.” Dimas kembali tidak yakin dengan gagasannya.

“Tapi kan kita melihat sendiri tamu Nyai Janis masuk melalui pintu itu.” Raji berusaha meyakinkan. Tapi Pafi pun sepertinya sependapat dengan Dimas. Dia tidak ingin mereka mencari pintu itu lagi. Raji kecewa sekali dengan kedua sahabatnya. Dimas terus berusaha menjelaskan. Tapi Raji sudah tidak tertarik lagi mendengarnya. Akhirnya mereka putuskan untuk kembali ke kamar masing-masing.

--- *** ---

Jalan-jalan di Jogjakarta begitu ramai oleh penduduk yang berbondong-bondong menuju alun-alun keraton. Janur dan panjer berjajar di sepanjang jalan Mangkubumi dan Malioboro hingga terus ke alun-alun. Tidak ada pasar yang buka, sekolah, kantor-kantor pemerintah meliburkan diri. Suasana di dalam keraton begitu khidmat. Tidak ada yang mengeluarkan suara. Di luar keraton, ramai penduduk memenuhi alun-alun. Semua orang berdesak-desakan ingin melihat Raja mereka. Raja yang tidak Cuma bertahta di keraton, tetapi telah bertahta di hati mereka semua.

Dimas berjalan kaki bersama anak-anak rombongan dari asrama. Beberapa orang yang tampaknya rombongan kesenian jalanan berpakaian penari bersama peralatan gamelannya berjalan sambil menabuhkan alat-alat gamelan mereka. Para penari berjoget menghibur pejalan kaki yang berduyun-duyun menuju alun-alun utara. Kesenian seperti itu sangat jarang tampil di jalan. Pemerintah Hindia Belanda melarang pertunjukan di jalanan. Tetapi hari ini diberikan kelonggaran sehari. Ibu-ibu penjual pecel menggendong bakul rotan mereka dengan setumpuk sayuran di atas tampah yang diusung di atas kepala mereka. Penjual makanan lainnya pun tidak mau ketinggalan memanfaatkan kesempatan keramaian ini untuk mengais rejeki. Di depan gerbang alun-alun utara prajurit-prajurit keraton berjaga dengan pakaian khas mereka. Anak-anak asrama masuk ke dalam alun-alun menyatu bersama kerumunan orang yang telah berbaris di depan keraton. Orang-orang berpakaian hijau banyak berdiri di sudut-sudut kosong keramaian. Dua orang menghampiri Dimas saat memasuki alun-alun.

“Selamat datang Yang Mulia. Saya Heritha Radhnana dan ini Niepethin Sonar.” Kedua orang itu memberikan salam. Dimas tidak mengenal sama sekali keduanya, tetapi Dimas tahu mereka dari Kerajaan Laut Selatan. Raji dan Pafi sudah maklum dengan perilaku Dimas yang tiba-tiba senyum sendirian dan menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.

“Siapa yang kau lihat Dimas ?” tanya Raji penasaran. Matanya terus mencari arah kepada siapa Dimas sedang berbicara.

“Dua orang Senopati dari Kerajaan Laut Selatan” jawab Dimas pelan.

“Memangnya ada apa mereka disini ?”

“Keraton Jogjakarta punya hubungan kuat dengan Kerajaan Laut Selatan.” Pafi menjawabnya sebelum Dimas.

“Hubungan kuat, memangnya pernah terjadi apa antara Kerajaan Laut Selatan dengan Keraton Jogjakarta ?” Raji masih belum mengerti maksud Pafi.

“Keraton Jogjakarta punya hubungan dengan Kerajaan Laut Selatan dimulai saat masa Panembahan Senapati. Semuanya terjadi karena tapabrata yang dilakukan oleh sang Panembahan di gua Ngejungan.” Dimas berhenti, dia tidak melanjutkan jawabannya. Matanya kembali beralih kepada dua orang senopati Kerajaan Laut Selatan. “Mereka memintaku untuk ikut.”

“Ikut kemana ?” tanya Raji

“Masuk ke dalam keraton.” Dimas tidak sempat lagi menjelaskan yang lain. Tiba-tiba tubuhnya sudah menghilang dari hadapan Raji dan Pafi. Raji dan Pafi berusaha menyeruak ke dalam kerumunan orang.

Dimas menerobos kerumunan dengan mudahnya dan masuk ke dalam lingkungan keraton tanpa terlihat oleh siapapun. Heritha Radhnana dan Niepethin Sonar telah membuatnya tidak terlihat.Sebuah kursi kosong di antara kursi para tamu ikut berjejer di barisan paling depan paling dekat dengan kursi Raja. Tidak ada yang tahu kenapa kursi itu disediakan. Tapi bagi Dimas dia tahu siapa yang sekarang sedang duduk di atasnya. Wajah yang dikenalnya. Perempuan itu tersenyum kepada Dimas. Dimas membalasnya dengan senyum pula. Tidak ada perubahan sama sekali Ratu Kerajaan Selatan tetap cantik seperti terakhir Dimas bertemu dengannya 15.000 tahun lalu. Barisan tamu undangan duduk rapi menyaksikan acara penobatan. Dimas teringat balai agung yang begitu megah di kerajaan Narapati. Kesakralannya tidak jauh berbeda dengan yang sekarang disaksikannya di keraton Jogjakarta. Kerajaan terakhir di Jawa yang masih berdiri ini memiliki banyak hal yang diwariskan dari leluhurnya di Narapati.

“Selamat berjumpa lagi Dimas! Bagaimana kabarmu?” Ratu Kerajaan Selatan menyapa. Perempuan cantik itu bangkit dari duduknya menghampiri Dimas yang berada di halaman.

“Saya baik saja gusti ratu.”

“15.000 tahun aku menanti bertemu lagi denganmu Dimas. Hari ini akhirnya Sang Pencipta mengabulkannya.”

“Mengapa gusti ratu ingin bertemu dengan saya ?” Dimas bertanya dengan polos. Perempuan itu tersenyum.

“Karena aku harus menyampaikan hal penting untukmu. Kau harus berjanji padaku dulu kalau kau akan melaksanakannya dan tidak bertanya alasan aku memintamu berjanji.” Dimas mengangguk setuju atas permintaan Ratu Kerajaan Selatan.

“Baiklah, dalam keadaan apapun. Kau harus Merahasiakan apapun yang aku katakan. Kau tidak boleh membicarakannya dengan siapapun dengan apapun. Setiap kau langgar janjimu sebuah bintang akan keluar dari punggung telapak tanganmu sebagai sebuah peringatan. Bintang itu akan hilang kalau dalam 7 hari kau tidak lagi melanggar janjimu. Bila kau langgar janjimu lagi sebelum bintang di tanganmu hilang, maka bintang kedua akan muncul. Dan baru akan hilang setelah 14 hari kau tidak melanggar janji lagi. Apakah kau mengerti Dimas ?”

Seperti disambar petir di siang hari, Dimas terpasung dalam janji yang sudah dia sanggupi. Dimas tidak bisa mengeluarkan kata-kata apapun. Dia tidak mengerti mengapa dirinya diminta berjanji seperti itu.

“Dengarkanlah baik-baik, “Tidak terbit tidak terbenam di kaki puncak kahyangan. Sahabat tua membawa cerita. Tentang teman sang bintang yang menanti di bumi. Membawa kelahiran kembali pada yang telah mati.” Kau harus mencari tahu sendiri artinya. Setelah kau mendapatkan artinya, simpanlah baik-baik. Jangan sampai terpisah dari ragamu.”

“Baiklah gusti ratu.” Perempuan itu berbalik meninggalkan Dimas kembali ke kursinya. “sampaikan salamku pada Raji dan Pafi.” Perempuan itu tersenyum lagi. Prosesi penobatan Raja masih terus berlangsung dengan khidmat. Dimas kembali ke dalam kerumunan orang-orang dan menerobos hingga ke belakang alun-alun. Di sana Raji dan Pafi sedang duduk asyik di bawah pohon menikmati pecel.

“Raji, Pafi!” Dimas berlari menghampiri mereka.

“Kau melihat hingga ke dalam ?” tanya Pafi

“Iya, aku melihat Sri Sultan. Juga Ratu Kerajaan Selatan.” Jawaban Dimas segera saja menarik perhatian keduanya.

“Kau bertemu dengan Ratu Kerajaan Selatan ?” Pafi setengah tidak percaya dengan ucapan Dimas.

“Jadi benar keraton Jogja ada hubungan dengan Kerajaan Selatan ?” Raji membuang bungkus pecelnya. Dimas hanya mengangguk dan tersenyum.

“Apa yang dia katakan?” Raji begitu ingin tahu.
“Dia hanya menyapaku dan menitipkan salam pada kalian.” Dimas menjawab singkat. Apa yang telah dibicarakannya dengan Ratu Kerajaan Selatan dibuangnya jauh-jauh dari pikirannya seakan ingin melupakannya agar tidak bisa bercerita kepada kedua sahabatnya. Pafi tidak percaya dengan apa yang dikatakan Dimas. Pikirnya tidak mungkin Dimas dipanggil secara khusus kalau tidak ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan. Tapi Pafi juga tahu sahabatnya yang satu ini selalu punya alasan yang sangat baik untuk tidak memberitahu apa yang didengarnya.

Tidak ada komentar: