Selasa, 11 Maret 2008

BAGIAN 9 - BENCANA BESAR

Di ujung barat Jawa tahun 1940. Di tengah lautan luas, gugusan asap tebal membumbung tinggi ke udara. Krakatau meletus lagi. Letusan dahsyat berlangsung beberapa hari. Tidak sebesar letusan yang terjadi di tahun 1883, tetapi cukup membuat semua orang mengais kembali ingatan kengerian yang terjadi lebih dari setengah abad yang lalu itu. Cendawan abu mengembang hingga ribuan meter ke udara. Semua orang bertanya apakah krakatau akan menghancurkan dirinya kembali. Semua orang menanti cemas. Berharap bencana yang dulu pernah terjadi tidak terulang lagi. Cemas apakah sempat mereka menyelamatkan diri pada saatnya tiba nanti. Tapi krakatau kelihatan tidak peduli dengan semua keresahan yang disebabkannya. Dirinya sendiri juga sedang begitu gelisah dengan semua hal yang terjadi di bawah kakinya. Hal yang tidak terlihat oleh siapapun yang bernama manusia. Karena terjadi di balik lapisan tipis pandangan kasat mata.

Berita meletusnya Krakatau sampai juga ke asrama. Dimas mendengarnya dari cerita pegawai keresidenan yang sedang ngobrol di warung kopi. Cerita-cerita tentang hilangnya banyak gadis di desa-desa pantai kulon menambah aroma ketakutan. Pencarian besar-besaran terus dilakukan. Bahkan Pemerintah Hindia Belanda ikut turun tangan melakukan pencarian. Nyai Janis tiba-tiba mengumumkan lagi peraturan ketat. Anak-anak harus berangkat sekolah dengan berbaris bersama. Dikawal oleh dua orang polisi. Tidak ada yang boleh keluar dari lingkungan asrama setelah pulang sekolah. Tidak boleh keluar dari asrama setelah maghrib.

“Aturan asrama ini makin lama makin ketat. Apakah masih karena kedatangan dua mahluk itu ?” Raji merasa dirinya yang paling terpenjara saat ini. Kesenangannya memancing di sungai hanya bisa dibayangkan saja sekarang. Hari libur pun semua anak tidak boleh meninggalkan asrama.

“Bukan, bukan karena itu. Tapi karena ini. Kau sudah dengar Krakatau meletus lagi.” Dimas mengambil surat kabar lama buatan pribumi yang didapatnya dari pemberian guru di sekolah. Berita itu menjadi berita di halaman muka.

“Ya tapi kan Cuma letusan kecil. Katanya itu Cuma erupsi biasa yang menunjukan aktifitasnya yang normal.” Pafi menanggapi biasa berita itu.

“Tapi di sepanjang pantai kulon diberitakan banyak penculikan gadis-gadis. Lalu pengumuman mendadak dari Nyai Janis. Apakah kau tidak melihat kebetulan yang aneh ini ?” Dimas menunjuk sebuah berita di halaman tengah yang sangat kecil dan tidak terlalu menonjol untuk dilihat.

“Lalu apa maksudmu ?” tanya Pafi.

“Maksudnya mudah-mudahan kau tidak ikut diculik.” Jawab Raji asal.

“Kau tidak usah memberi komentar kalau tidak mengerti apa yang dibicarakan!” mata Pafi mendelik memandang Raji. Raji Cuma cengar-cengir saja.

“Karena menurut berita ini mereka hilang secara misterius.” Dimas berusaha menjelaskan maksudnya agak susah payah. Pafi tetap tidak terlalu tertarik mengurainya lebih jauh.

“Ya kita belum bisa menduganya seperti itu. Karena siapa tahu saja ada penjahat yang memperdagangkan perempuan. Kita tidak tahu. Mungkin saja gadis-gadis itu sekarang sudah berada di Sumatra. Aku yakin tindakan Nyai Janis memperketat aturan karena masih tentang kemunculan dua mahluk seram itu.” Pafi tetap tidak mau menanggapi berita itu.Situasi ini telah membuat Pafi ketakutan. Dimas membaca wajahnya yang menjengit setiap dia membahas lagi masalah itu.

“Maafkan aku Pafi, aku tidak tahu kalau….”

“Tidak apa Dimas, aku memang ketakutan. Karena aku tidak tahu yang sekarang kita hadapi. Tapi itu lebih baik buatku. Rasa takut ini membuatku lebih waspada.”

“Maafkan aku juga Pafi.” Kata Raji. “Mungkin sebaiknya kita meminta nasehat pak Narso. Kita harus mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan lain yang tidak terduga.” Pafi tidak menjawab ajakan Raji. Matanya justru beralih kepada Dimas.

“Usul Raji mungkin lebih baik saat ini. Paling tidak kita tahu apa yang kita hadapi.” Dimas menyetujui usul Raji. Pafi tetap tidak berkata juga. Dalam hatinya diapun sesungguhnya setuju dengan usulan itu. Tapi dia tetap diam saja. Ada hal lain yang masih dipikirkannya.

Pulang dari sekolah semua anak asrama diwajibkan berbaris dan dikawal oleh dua orang polisi yang disewa oleh Nyai Janis. Pakaian tidak memakai seragam selayaknya petugas. Pakaian lebih mirip prajurit kraton dari pada polisi. Dimas memandangi kedua orang itu dengan seksama. Ada yang tidak biasa dari kedua orang itu. Ada sesuatu yang dikenalnya. Dimas berbisik-bisik dengan Raji. Pafi tidak mendengar apa yang dibisikan oleh Dimas.

“Raji, kau lihat polisi itu. Dia seperti tidak asing yah. Kau ingat tidak ?”

Raji mengamati kedua orang itu. Tidak ada hal yang keluar dari kepalanya. Yang terdengar sejak tadi bunyi gas berkerubutan di perutnya. Jam wekernya sudah keras bunyinya.

“Kalian ini sedang membicarakan apa sih ?” Pafi protes tidak diikutkan dalam pembicaraan itu.

“Kedua polisi itu, Dimas bilang mereka seperti tidak asing.” Raji yang berada di sebelah Pafi menjelaskan.

“Kau sendiri menduga mereka siapa ?” tanya balik Pafi.

“Mana aku tahu, aku sendiri sejak tadi sudah mencari muka mereka di dalam kepalaku. Tapi hasilnya selalu paha ayam goreng dan sambal terasi.” Raji mengusap-usap perutnya yang sudah kelaparan. Pafi tidak bisa menahan tawanya. Walaupun sering bertengkar, lelucon Raji sering menghiburnya.

“Aku pikir mereka bukan polisi, maksudku polisi dari pemerintah. Mereka adalah orang yang diminta oleh Nyai Janis mengawasi kita semua.” Kata Dimas

“Aku masih tidak mengerti.” Raji tetap tidak bisa mencerna omongan Dimas karena perutnya belum mencerna apapun siang ini.

“Mereka adalah Narapati” Raji tersentak dengan jawaban Dimas. Tapi Pafi terlihat biasa saja dengan jawaban itu.

“Aku juga berpikir begitu tadi. Kau ingat apa yang dikatakan pak Narso tentang ciri-ciri seorang Narapati. Kau ingat dua orang yang ditemui Nyai Janis malam itu. Mereka punya kemampuan gaib. Bisa mengusir dua mahluk yang menyeramkan itu.” Kata Pafi

“Mungkin Nyai Janis juga seorang Narapati ?” Bukan kebetulan dugaan yang diberikan oleh Raji. Keanehan juga sering ditunjukan oleh Nyai Janis. Terutama saat bersama dengan tamu-tamu misteriusnya.

“Ya aku rasa dia juga seorang Narapati. Dan kedua orang itu bukanlah polisi, tetapi kedua Narapati tamu Nyai Janis.” Dimas makin yakin. Tetapi Pafi masih menyimpan pertanyaan lain yang lebih penting.

“Berarti asrama kita banyak dikelilingi oleh Narapati. Untuk apa mereka berada disini ?”

Dimas maupun Raji belum sempat menanggapi pertanyaan yang dilontarkan oleh Pafi. Tiba-tiba saja langit di sebelah barat berubah menjadi hitam. Sebuah bayangan hitam yang sangat besar bergerak dengan lambat. Gerakannya berirama seperti tertiup angin. Mereka sudah nyaris dekat dengan asrama. Kedua polisi itu menyadari sebuah bayangan di belakang mereka meminta semua anak untuk segera berlari masuk ke dalam asrama. Dimas, Raji dan Pafi ikut berlari bersama dengan anak-anak lainnya. Beberapa saat kemudian setelah mereka masuk di halaman asrama, jutaan belalang mendarat dihalaman. Beberapa anak yang belum sempat masuk ke dalam gedung asrama belingsatan menepis belalang-belalang yang mendarat di kepala mereka. Sebuah angin cukup kencang menepis belalang-belalang itu dan memberikan kesempatan anak-anak masuk. Semuanya bergegas masuk dan kemudian menutup pintu asrama. Kedua polisi itu pun sudah berada di dalam gedung. Beberapa saat kemudian belalang-belalang itu sudah menggerogoti daun-daun tanaman di seluruh halaman. Dimas berlari ke belakang halaman asrama. Dia teringat kebun pak Narso. Raji dan Pafi pun teringat hal yang sama. Dari kejauhan tanaman kebun pak Narso pelan-pelan mulai gundul. Jumlah belalang yang begitu banyak cepat sekali menghabiskan daun-daun tanaman. Anak-anak yang lain berlari ketakutan. Belalang-belalang itu menempel di seluruh gedung. Menutup jendela hingga tidak ada cahaya pun bisa masuk.

“Pertanda apa ini ?” tanya Dimas.

“Ini pertanda buruk, bencana sedang menyerang. Kita harus ke tempat pak Narso sekarang.” Pafi berlari menuju koridor pintu selatan. Teriakan Nyai Janis yang meminta semua anak untuk masuk ke bangsal masing-masing tidak digubrisnya. Dimas dan Raji hanya saling pandang. Mau tidak mau mereka harus mengikuti Pafi. Keduanya mengejar Pafi. Begitu keluar pintu, Pafi sudah melepaskan badainya membuka jalan ke rumah pak Narso. Dimas dan Raji mengikutinya dari belakang. Rumah pak Narso terlihat sudah penuh rata dengan belalang di seluruh dinding dan atapnya. Pafi berteriak memanggil pak Narso walaupun masih cukup jauh dari rumahnya. Pintu rumah pak Narso yang penuh dengan belalang terbuka dan pak Narso telah berdiri di balik pintu. Pafi bergegas masuk. Dimas dan Raji melompat menyusul.

“Maaf pak, kami datang dalam keadaan seperti ini.” Kata Dimas.

“Seharusnya anak semua tetap berada di asrama. Situasi sedang tidak baik.”

“Apa yang sedang terjadi pak ?” Pertanyaan Pafi seolah sebuah kalimat yang tidak dimengerti oleh pak Narso. Pak Narso tidak menjawab. Dia hanya diam saja. Raji kembali mengulang pertanyaan itu. “Pak Narso, apa yang sebenarnya sedang terjadi?”

Tetapi sebelum pak Narso sempat menjawab, sebuah teriakan dari luar dan gedoran pintu mengagetkan semuanya.

“Pak Narso, pak Narso ketiwasan pak. Anak-anak, tolong pak” Mbok Sinten kelihatan lelah sekali. Rambutnya kusut, dua ekor belalang masih menempel di sanggulnya yang lepas acak-acakan.

“Ada apa Mbok Sinten ?” pak Narso tampak terkejut tapi tetap tenang. Dimas sudah kelihatan khawatir dengan apa yang terjadi. Wajah Mbok Sinten mengatakan ada yang telah terjadi di asrama. Raji dan Pafi menunggu penjelasan Mbok Sinten dengan cemas. Perempuan itu mengambil nafas dalam. Tampak wajah ketakutannya masih jelas.

“Anak-anak kesurupan pak.” Pak Narso langsung bergegas meninggalkan Rumah. Mbok Sinem ikut berlari menyusul. Dimas, Raji dan Pafi makin cemas dengan situasi yang terjadi. Ratusan belalang mati terinjak saat mereka berlari secepatnya menuju asrama. Di dalam asrama sendiri beberapa anak perempuan sudah terlihat menangis ketakutan. Beberapa yang lain duduk lemas di bantu yang lebih kuat. Anak laki-laki juga mengalami nasib yang serupa. Di dalam ruang makan yang telah digeser semua mejanya ke pinggir belasan anak lelaki dan perempuan tergeletak meronta-ronta. Teriakan-teriakan tidak jelas memenuhi ruangan. Kaki dan tangan mereka di pegang sekuat tenaga oleh Pembantu-pembantu asrama bersama Nyai Janis dan dua orang polisi dibantu beberapa anak lelaki dan perempuan yang sudah besar. Pak Narso langsung membantu membantu.

“Ah pak Narso, tolong bantu mereka itu. Mereka akan mengusir semua yang merasuk ke dalam anak-anak ini.” Nyai Janis menyuruh pak Narso membantu dua orang polisi yang disewa Nyai Janis untuk menjaga anak-anak. Kedua polisi itu sesaat menatap tajam kepada pak Narso. Pak Narso menatap balik keduanya. Sesaat mereka terdiam. Tidak ada yang tahu kalau mereka sedang berbicara melalui pikiran mereka.

“Kesurupan apa mereka ?” pak Narso bertanya.

“Sepertinya mereka kesurupan lelembut dari belakang asrama ini. Mereka merasa terganggu dengan kejadian diluar dan mereka menyerbu masuk ke dalam asrama. Mereka tidak bermaksud jahat, hanya minta tempat perlindungan.”

“Kalau begitu apa yang harus kita lakukan ?”

“Tolong siapkan ruang bawah tanah, buka pintunya. Buat dua garis dengan garam dan merica antara ruangan ini hingga pintu ruangan bawah tanah itu. Ini akan memberikan jalan kepada mereka untuk tinggal ditempat yang baru.”

Pak Narso segera mengambil garam dan merica. Dimas, Raji dan Pafi membantu menumbuk merica hingga halus. Setelah itu kedua bumbu dapur itu diaduk jadi satu. Pak Narso berjalan ke pintu belakang dapur hingga keluar di halaman tengah. Sebuah pintu di luar bangunan dibuka. Pintu itu adalah jalan menuju ruang bawah tanah yang biasa digunakan untuk menyimpan bahan-bahan makanan keperluan asrama dan barang-barang yang tidak terpakai lainnya. Pak Narso dibantu Dimas menaburkan dua garis garam dan merica itu hingga masuk ke dalam ruang makan.

“Garangjiwo, sekarang perintahkan mereka semua untuk keluar dari tubuh anak-anak ini. Aku akan menarik mereka.”

“Lakunogo, aku sudah siap.” Garangjiwo mengucapkan mantra dengan halus dan lambat sekali. Suaranya seolah seperti sebuah tiupan angin. Lakunogo yang melihat Garangjiwo sudah mengucapkan mantra perintahnya segera melakukan gerakan kedua tangannya. Sebuah selubung gaib yang tidak kelihatan kecuali oleh Nyai Janis, Dimas, Raji, Pafi dan Pak Narso. Perlahan satu persatu anak-anak yang semua berteriak-teriak berubah menangis. Tangisan itu menjadi tanda lelembut yang berada ditubuhnya sudah keluar. Garangjiwo terus mengucapkan mantranya hingga semua anak yang kesurupan menangis. Garangjiwo dan Lakunogo dua polisi yang disewa oleh Nyai Janis jatuh ke lantai bersimbah keringat.

“Nyai, tebarkan campuran garam dan merica ke sekeliling asrama.” Kata Garangjiwo kepada Nyai Janis. Nyai Janis menyuruh pembantu-pembantu asrama untuk segera melakukan yang diminta Garangjiwo. Garangjiwo dan Lakunogo menatap Dimas lama sekali. Dimas tidak sadar kalau dirinya sedang diawasi oleh kedua polisi itu. Dimas, Raji dan Pafi sibuk membantu anak-anak yang telah sembuh dari kesurupan kembali ke kamar mereka. Hari itu adalah yang pertama terjadi. Serangan jutaan belalang dan kesurupan masal cukup membuat repot. Nyai Janis mengeluarkan lagi aturan baru. Sampai masa yang tidak ditentukan mereka diliburkan dari sekolah. Guru-guru didatangkan ke asrama. Beberapa ruangan diubah menjadi tempat belajar. Tidak ada satupun yang diperkenankan keluar dari pekarangan asrama.

Esok harinya belalang-belalang sudah berpindah tempat. Semua tanaman di halaman asrama gundul tidak berdaun. Kebun sayur pak Narso pun tidak ada yang tersisa. Anak-anak asrama membantu pak Narso memanen pohon-pohon sayur yang tersisa. Hanya buah cabai saja yang selamat. Tetapi daunnya habis dimakan belalang. Bongkol-bongkol jagung muda dipanen lebih awal. Dimas berusaha mencari waktu untuk berbicara dengan pak Narso. Tetapi kesibukan dan ramainya anak-anak menyulitkan Dimas.

Berita-berita dari banyak desa dilaporkan terjadi serangan hama wereng besar-besaran di persawahan penduduk. Petani banyak yang gagal panen akibat serangan itu. Petani sayur-mayur mengalami kerugian akibat habisnya tanaman mereka diserang oleh jutaan belalang. Para petani tidak sempat menyelamatkan panen mereka. Serangan begitu mendadak dan cepat sekali. Musim paceklik sudah tidak bisa dihindari lagi akan tiba. Akan banyak kelaparan melanda negeri ini.

Tidak ada komentar: