Minggu, 23 Maret 2008

BUKU KEHIDUPAN

Setelah kembali dari dunia Narapati 15.000 tahun lalu Dimas dibayangi oleh mimpi-mimpi yang membuatnya kembali bertanya siapa dirinya sebenarnya. Pencariannya kali ini mendapatkan jawaban yang mengejutkan. Dirinya ternyata seorang Narapati. Masih tersisa pertanyaan besar setelah kepulangan mereka. Dimana dunia tengah tempat sekarang Narapati tinggal. Bersama Raji dan Pafi, Dimas berusaha mencari dimana dunia tengah berada.

Dimas tidak sadar kalau pencariannya telah mengundang bahaya. Bahaya yang tidak hanya untuk dirinya, tapi untuk seluruh Narapati. Bangsa Amukhsara menyerang asrama. Mencari Buku Kehidupan yang selama ini disembunyikan Narapati dengan rapat.

Dimas harus bertempur mati-matian melawan Amukhsara. Tetapi Dimas tidak sendirian, banyak Narapati lain yang sudah siap membantunya. Dimas tersadar, kalau selama ini dia hidup dikelilingi oleh Narapati. Bangsa yang tahu dari mana dirinya berasal. Terlebih lagi dimana orang tuanya.

BAGIAN 14 - PEMBAWA BUKU KEHIDUPAN

Pak Narso telah dimakamkan di dekat rumahnya. Dimas masih saja memandangi tanah merah yang penuh dengan taburan bunga. Raji dan Pafi setia mendampinginya.

“Aku ingin sendirian dulu” Dimas meminta waktunya. Raji dan Pafi mengerti. Keduanya meninggalkan Dimas sendirian di depan makam pak Narso. Hati Dimas masih terasa sakit sekali. Air matanya mengalir pelan. Tangannya segera mengusapnya.

“Saya akan selalu ingat nasehat-nasehat kakek.” Dimas menjejakan kaki kanannya tiga kali. Batu-batu hitam muncul dari dalam tanah menutupi makam pak Narso kemudian saling merekat menjadi sebuah makam batu. Dimas meninggalkan makam itu.

Di dalam asrama Raji dan Pafi sedang duduk bertiga bersama Prabu Narayala di ruang belajar. Pembicaraan mereka bertiga berhenti saat Dimas menghampiri mereka bertiga. Dimas mengambil duduk di depan Prabu Narayala.

“Maafkan saya, telah meninggalkan Bapak Narayala” Mendengar kalimat Dimas Raja Narapati itu menghela nafasnya. Tangannya mengusap pipi kanan Dimas.

“Kau bereaksi seperti manusia lainnya. Aku menganggap kau memang memerlukan waktumu sendirian. Sekarang yang terpenting adalah kau harus melanjutkan hidupmu sendiri. Kematian kakekmu bukanlah hal yang sia-sia. Dia telah meninggalkan begitu banyak kebaikan. Dan kau adalah bukti paling kuat dari warisannya.” Dimas hanya menunduk. Ada perasaan malu teringat dirinya yang begitu emosional. Tapi umurnya baru empatbelas tahun. Reaksi apa yang diharapkan dari anak seumur itu selain emosi yang meluap.

“Sekarang ada sesuatu yang ingin aku bicarakan kepadamu, Dimas. bagaimana dengan perasaanmu hari ini” Prabu Narayala mencari situasi yang tepat untuk berbicara dengan Dimas. Sepertinya Prabu Narayala tahu kalau hatinya begitu terguncang dan sedih dengan semua kenyataan baru yang begitu beruntun ditemuinya.

“Saya baik-baik saja Bapak Narayala!” Dimas mengusap air matanya yang masih basah di pipinya. Pafi dan Raji memandang Prabu Narayala. Matanya mencari isyarat apakah mereka diminta meninggalkan ruangan. Ternyata Prabu Narayala malah meminta mereka tetap duduk.

“Baguslah kalau begitu. Aku ingin bertanya kepadamu, Apakah kau ingat dimana Buku Kehidupan disembunyikan ?” Prabu Narayala Dimas diam. Kepalanya refleks menggeleng. Prabu Narayala tersenyum. Dia sudah tahu Dimas akan menjawab tidak tahu.

“Baiklah, terima kasih untuk kejujuranmu. Aku ingin menyampaikan sesuatu yang harus kau tahu.” Prabu Narayala memandang Dimas lekat. Dimas telah siap menerima berita apapun setelah berita pahit tentang kedua orang tuanya kemarin.

“Buku Kehidupan yang selama ini disembunyikan adalah kau nak. Kau lah buku kehidupan itu. Buku kehidupan yang selama ini dicari oleh Amukhsara.” Dimas tersentak kaget. Matanya menatap Prabu Narayala. Dia berusaha mencari kebohongan dalam matanya. Tetapi tidak ditemukan apa yang dicarinya. Prabu Narayala berkata jujur. Cincin kebenaran di tangannya bersinar merah, artinya benar.

“Aku menyampaikan hal ini karena aku tidak mau kau merasa bahwa apa yang terjadi hari ini telah benar-benar berakhir. Hari ini hanyalah sebuah permulaan untuk akhir yang sangat besar. Karena itu aku memintamu bersama Raji dan Pafu ikut pindah ke dunia tengah. Dunia manusia sudah tidak aman lagi untuk kalian bertiga.” Prabu Narayala berhenti memegang pundak Dimas dengan kedua tangannya.

“Buku Kehidupan dulunya tersimpan di dalam tubuh ayahmu Tapa Aji. Sebelum pertempurannya dengan Raja Sanaisbin dia berhasil memindahkannya ke dalam tubuhmu dengan sebuah upacara rumit. Ketika kau datang bersama Narasimha Sighram ke Cakravartin, tubuhmu dalam keadaan bersinar sangat terang. Kehadiranmu di Cakravartin sudah diketahui oleh Amukhsara. Mereka mengejarmu sejak saat itu. Aku berpikir tidak aman bagimu berada di Cakravartin. Karena itu setelah mendapatkan pertimbangan kau diputuskan untuk disembunyikan di dunia manusia. Nyai Janis seperti yang kalian kenal adalah bangsa Minoan. Bangsanya juga pindah ke dunia tengah setelah gunung Santorini menghancurkan negerinya. Nyai Janis di negerinya adalah seorang pengelola panti asuhan bagi anak-anak yatim piatu. Aku memintanya untuk pindah ke Jogjakarta dan menjagamu. Kemudian kami mencarikan kau teman untukmu berada di dunia manusia agar kau menjalaninya tidak kesepian. Kemudian dia membawa Raji dan Pafi yang sebaya denganmu dari panti asuhannya di Minoan untuk menemanimu disini. Sejak saat itulah kalian bertiga bersahabat. Dan perkiraanku tidak salah. Kalian menjadi sahabat dekat. Bukan hanya karena persamaan kalian yang yatim piatu, karena hati kalian sudah menjadi satu saat kalian dipertemukan pertama kali saat usia kalian masih dua tahun. Raji dan Pafi langsung memelukmu saat itu, seperti sebuah pelukan pertemuan antara tiga saudara.”

Dimas berusaha membendung air matanya sekuat tenaga. Prabu Narayala berhenti sejenak memberikan waktu untuknya meluapkan perasaan.

“Sejak saat itu Amukhsara kehilangan jejakmu. Untuk sementara kau aman bersama Raji dan Pafi di asrama. Nyai Janis berusaha sekuat tenaga memenuhi semua kebutuhan kalian bertiga dan memastikan kalian bertiga terus bersama. Semuanya aman sampai umur kalian beranjak tigabelas tahun. Tahun awal pendewasaan seorang Narapati yang ditandai dengan perubahan-perubahan mendasar pada tujuh cakranya. Proses ini membuka tujuh cakra kalian secara liar dan tidak terkendali. Perubahan itu juga yang membawa kalian kepada pak Narso yang juga seorang Narapati dan membantu kalian bertiga mengendalikannya. Narapati sudah tahu pak Narso tinggal tidak jauh dari asrama sejak asrama ini dibangun. Perubahan pendewasaan Narapati biasanya mengundang perhatian. Banyak mahluk gaib biasanya tertarik dengan lonjakan energy yang kalian timbulkan, termasuk Amukhsara. Tetapi bukan itu yang mengundang Amukhsara menuju tempat ini. Perjalanan kalian ke negeri Narapati 15.000 tahun lalu yang telah mengundang Amukhsara. Lonjakan energy akibat pembukaan gerbang waktu mengguncang dunia tengah seperti sebuah gempa yang sangat hebat. Amukhsara kemudian melacak sumber guncangan dan menemukan asrama ini. Kedatangan dua gendrawa waktu itu tidak lagi bisa dihindari. Gendrawa adalah sekutu Amukhsara. Mereka kemudian melaporkan keberadaanmu di asrama ini. Kemudian seluruh asrama dalam ancaman Amukhsara. Aku bangga sekali kau putuskan tidak mau meninggalkan asrama demi keselamatanmu sendiri. Persahabatan kalian telah membangun pribadi yang kesatria dalam diri kalian. Tapi untuk kali ini ikutlah ke Medanggan Raya. Semakin lama kau berada di tempat ini, semakin banyak bahaya yang datang. Yang bukan hanya mengancammu tetapi juga teman-temanmu yang lain. Mereka bangsa manusia, tidak memiliki kemampuan melindungi diri seperti bangsa Narapati.”

“Apakah saya bisa mengajak nenek saya ?”

“Lebih baik sekarang kau tanyakan dulu kepadanya.” Dimas mengangguk. Kemudian Dimas berjalan menuju ruangan makan dimana mbok Sinem sedang duduk ldi atas kursi. Tidak ada kata-kata lain yang terucap. Dimas langsung memeluknya. Mbok Sinem menciumi Dimas dengan penuh kasih. Seakan kangennya tumpah ruah di antara mereka.

“Saya akan dipindahkan ke dunia tengah. Nenek ikut dengan saya.” Mbok Sinem hanya mengusap kepala Dimas.

“Dunia tengah adalah tempatmu nak. Kau punya tanggung jawab yang sangat besar disana. Tetapi nenek tidak bisa ikut denganmu ke dunia tengah. Kakekmu sejak dulu mempunyai cita-cita ingin hidup menjadi manusia biasa. Karena itu kami lari dari dunia tengah. Nenek mengikutinya karena nenek sangat mencintainya. Cintanya pada dunia manusia begitu besar. Karens itu nenek akan melanjutkan cita-citanya itu. Anak-anak asrama ini sangat membutuhkan nenek disini.” Hati Dimas miris mendengar jawaban Mbok Sinem. Pertemuannya yang baru saja harus diakhiri dengan perpisahan lagi. Dimas hanya menangis di pangkuan Mbok Sinem. Mbok Sinem mengerti betul perasaan Dimas.

“Sering-seringlah jenguk nenek disini. Jagung rebus dan wedang jahe paling lezat akan selalu dibuatkan untuk kalian bertiga.” Dimas memeluk Mbok Sinem sekali lagi. Mbok Sinem bangun dari kursinya kemudian berjalan ke ruang tengah. Prabu Narayala sudah berdiri menunggu disana. Raji dan Pafi langsung memeluknya saat keluar dari pintu ruangan makan. Kemudian mereka bersama-sama berjalan menuju ruang belajar yang sudah dirapikan oleh prajurit-prajurit Narapati. Di dalam ruang belajar Nyai Janis sudah menunggu. Dimas berlari memeluk perempuan bule itu. Nyai Janis memeluk Dimas erat. Pelukan yang sejak dulu ingin dilakukannya. Raji dan Pafi berlari menyusul memeluk Nyai Janis.

“Maafkan kami yang selalu menyusahkan Nyai Janis.” Dimas melepaskan pelukannya.

“Well, kamu anak pintar Dimas. Kamu tidak pernah menyusahkan saya. Kamu juga Raji, Pafi. Tetaplah bersahabat. Karena itu yang menjadi kekuatan kalian bertiga.” Raji dan Pafi mengangguk.

“Sampaikan salam kami pada teman-teman” Dimas meraih tangan Prabu Narayala yang sudah menjulur kepadanya. Raji dan Pafi berjalan menuju pintu gerbang yang telah dibuka lebar. Di depan pintu yang sudah terbuka telah menunggu seekor Narasimha dan dua ekor Garuda kencana bersama Arghapati. Mata Pafi dan Raji menatap tidak percaya menyaksikan seluruhnya dengan mata sendiri apa yang diceritakan Dimas mengenai Dunia Narapati dan mahluk-mahluk gaibnya. Pintu gerbang tertutup. Perjalanan selanjutnya adalah dunia tengah. Dunia yang belum pernah dikenalnya.

“Raji, ikutlah Arghapati bersama Garuda kencananya, Pafi ikutlah naik Garuda bersama Kerthapati, dan kau anakku ikutlah bersamaku” Prabu Narayala menempatkan masing-masing menjadi dua orang dalam setiap kendaraan hewannya.

Raji dengan bersemangat menaiki Garuda kencana bersama Arghapati yang menyambutnya dengan senyum. Pafi yang agak ragu-ragu duduk di atas punggung Garuda yang memekik rendah ketika dirinya duduk di atas punggungnya. Kerthapati tersenyum melihat Pafi yang tersentak mendengar pekikan sang Garuda.

“Dia bilang senang bertemu kembali denganmu nona” Kerthapati menjelaskan arti pekikan sang Garuda. Pafi tersenyum kecut tidak mengerti maksud dari Kerthapati.

Setelah semuanya naik, Garuda kencana yang ditunggangi Raji dan Pafi segera mengepakan sayapnya mengangkasa, sedangkan para Narasimha berlari menuruni tangga kuil yang sangat panjang kemudian bergerak ke utara ke arah lereng gunung bromo dimana kemegahan Medanggana Raya berdiri tegak. Petualangan baru saja dimulai, kini Dimas, Pafi dan Raji harus menghadapi dunia baru yang sama sekali belum mereka kenal. Dunia yang memberikan mereka tempat dan kedudukan yang tinggi tetapi juga berbahaya.





Bersambung…….
Buku 3 Bintang Satuasra
Buku 4 Angkorwat
Buku 5 Sang Narayana
Buku 6 Pertempuran Dua Kuil
Buku 7 Kakawin Pralaya

BAGIAN 13 - PERTEMPURAN DI ASRAMA

Asrama menjadi senyap sekali. Seakan semua suara tertelan. Di dalam asrama tidak ada yang tahu asrama telah dikelilingi oleh Amukhsara. Seluruh anak asrama dan para pembantu kecuali Dimas, Raji dan Pafi telah diungsikan ke dalam ruang keinginan. Kamar rumah Gandrung cukup memberikan tempat yang aman untuk sementara. Dimas, Raji dan Pafi kelihatan gelisah berada di dalam ruangan rumah Gandrung. Ruangan yang semua cukup luas ternyata menjadi begitu sempit dengan begitu banyak anak-anak asrama berada di dalamnya.

“Kita harus keluar dari tempat ini!” Dimas berbisik pada Raji dan Pafi. Matanya menyapu ruangan memastikan tidak ada yang memperhatikan pembicaraan mereka.

“Bagaimana caranya ? Terlalu banyak anak-anak yang melihat kita kalau kita keluar. Akibatnya bisa buruk. Mereka akan mengikuti tindakan kita.” Tangan Pafi memegang naskah yang dulu disimpannya diruangan itu.

“Cerobong sampah!” sahut Raji.

“Kita belum pernah mencobanya. Kita tidak tahu akan keluar dimana” Pafi ragu-ragu. Tidak kalau kau baca yang ini. Dimas menarik tangan Pafi. Dimas membacakan tulisan aksara Sinar Avedi itu. “Semua jalan keluar adalah pintu yang sama”. “Kau percaya sekarang ?” Pafi mengangguk setuju. Mereka bertiga segera menuju dapur. Anak-anak yang lain tidak terlalu memperhatikan mereka bertiga. Dengan perlahan Dimas masuk ke dalam lubang pembuang sampah. Disusul Raji dan Pafi. Saat keluar mereka sudah berada di ruang keinginan.

“Kita akan kemana dulu ?” tanya Pafi.

“Bangsal putra di lantai dua saja.” Usul Raji. Dimas mengangguk setuju. Kemudian mereka membuka sebuah pintu dan menyebutkan bangsal putra di lantai dua. Di balik pintu bangsal putra telah di hadapan mereka. Dari jendela Dimas bisa melihat bayangan hitam yang masih mengelilingi asrama. Dua larik sinar merah meluncur deras dan membuat dentuman keras di udara kosong. Sejauh ini pagar gaib yang dibuat melingkari asrama masih mampu menahan mereka. Tetapi itu tidak akan berlangsung lama. Amukhsara terus-menerus menggedor perlindungan. Semakin lama terasa sihir-sihir perlindungan Narapati makin lemah. Beberapa Narapati penjaga telah bersiaga penuh. Kegelapan malam memperjelas terang lampu-lampu asrama yang menyala di dalam. Tiba-tiba dua larik sinar merah meluncur. Kemudian meledak di udara kosong. Bangunan asrama bergetar hebat. Debu-debu rekahan dinding bertaburan di udara. Dimas merasakan getaran di seluruh ruangan seolah gempa sedang terjadi. Mereka berlari keluar ruangan kemudian menuruni tangga ke lantai bawah.

“Apa yang kalian lakukan ? Kalian seharusnya berada di ruang perlindungan” Kriyandita menangkap kedatangan Dimas, Raji dan Pafi.

“Kami harus membantu kalian. Kami memiliki kemampuan yang sama dengan bibi semua. Kami bisa menjaga diri kami sendiri.” Sahut Pafi.

“Iya, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk berlatih. Di depan sana adalah musuh nyata yang kita hadapi.” Kata Sukmaratih.

“Betul senyata ancaman yang akan kami hadapi sepanjang hidup kami. Lebih baik menghadapi mereka sekarang.” Kata-kata Dimas menutup debat mereka. Seolah kalimat Dimas tidak dapat lagi dibantah. Sukmaratih dan Kriyandita tidak berkata apa-apa lagi. Dimas segera mengambil posisi disebelah Nyai Janis berada di sebelahnya di dalam ruangan depan. Pak Narso juga berada di sana. Matanya menatap bangga pada ketiga anak asuhnya.Sukmaratih dan Kriyandita berjaga di depan dekat pintu utama.

“Apakah mereka akan berhasil menembus perlindungan gaib ?” Pafi tampak lebih khawatir dari pada yang lain.

“Belum, perlindungan gaib yang dibuat Prabu Narayala sangat kuat. Mereka akan butuh waktu yang lama untuk menembusnya.” Nyai Janis berusaha memberikan keyakinan pada Pafi. Tapi wajah pak Narso menunjukan ketidakyakinannya. Dimas, Raji dan Pafi melihatnya dengan jelas.

“Mengapa bantuan belum datang juga ? Apakah prajurit jaga gerbang itu berhasil memberitahu Cakravartin?” Kriyandita melihat belum juga ada bantuan datang.

“Entahlah kita berdoa saja.”

“Kalian sudah terkepung. Kalian tidak akan bisa menahanku untuk masuk.” Suara dari luar asrama menggema hingga ke dalam. Sebuah dentuman terdengar lagi. Seluruh gedung terasa berguncang hebat.

“Sepertinya pintu gaib telah rusak akibat serangan gendrawa kemarin.” Kata Sukmaratih. Dari luar pintu Garangjiwo dan Lakunogo mundur dan berjaga di depan pintu.

“Pelindung gaib akan tembus! Bersiaplah!” Garangjiwo berteriak memperingati semua yang berada di dalam. Semuanya bersiaga melepaskan serangan. Dua larik sinar merah kembali meluncur dengan cepat. Dalam hitungan detik dentuman mengguncang kembali bangunan asrama. Pelindung gaib benar-benar sudah hancur. Bayang-bayang hitam melompati pagar bergerak dengan cepat. Garangjiwo melepaskan serangannya. Dua sinar biru meluncur deras menghantam dua bayangan hitam. Seketika keduanya terjengkang dan terkapar di atas tanah terbakar hangus. Bayangan hitam yang lain kelihatan tidak peduli dua temannya mati terkapar. Mereka terus maju membalas menyerang. Empat larik sinar merah melesat mengarah pada Garangjiwo dan Lakunogo. Keduanya merunduk menghindari serangan yang langsung menghantam pintu di belakang mereka. Dua daun pintu jati lepas dari engselnya terdorong beberapa meter dari tempatnya. Garangjiwo dan Lakunogo melakukan serangan balik. Beberapa bayangan hitam ambruk. Jantung Dimas berdegup kencang. Pintu terbuka lebar. Sekarang mereka benar-benar tidak terlindung lagi. Namun tiba-tiba terdengar suara geram marah begitu keras. Tidak jelas datangnya dari mana. Tapi terasa dekat sekali suara itu seolah berasal dari dalam asrama. Garangjiwo dan Lakunogo melihat hal yang tidak diduga mereka. Pagar-pagar asrama bergerak seperti dua tangan menghalau bayangan-bayangan hitam yang berusaha masuk ke dalamnya.

“Rumah Pelindung! Ternyata asrama ini adalah Rumah Pelindung. Asrama ini benar-benar menyimpan banyak kejutan. Terlalu banyak sihir-sihir Sinar Avedi disini.” Garangjiwo tetap melakukan serangan-serangannya kearah bayangan-bayangan hitam itu.

“Rumah ini benar-benar marah setelah pintunya dihancurkan.” Kata Lakunogo. Sanaisbin tidak menduga kalau asrama itu adalah rumah pelindung yang diciptakan dengan sihir-sihir Sinar Avedi. Rumah itu bergerak melawan menghalangi pasukan bergerak masuk. Tidak satupun kesempatan diberikan oleh Rumah Pelindung membuat pasukan Amukhsara tercerai-berai. Sanaisbin memutuskan masuk sendiri. Tubuhnya melayang masuk diantara gerakan pagar tangan Rumah Pelindung yang berusaha menghalaunya.

“Narso, serahkan tali pusar Jayapati!” Dimas terkejut bukan main. Suara Sanaisbin terdengar saat melayang masuk ke dalam. Suara itu begitu mengerikan dan terdengar sangat berat.

“Aku tidak akan menyerahkannya.” Pak Narso berteriak keras menolak permintaan itu.

“Kalau begitu, aku akan mengambil paksa darimu. Nasibmu akan sama dengan anakmu Jayapati dan istrinya.” Suara itu bergema kembali. Dalam sekejap dua larik sinar merah menghantam Garangjiwo dan Lakunogo. Kedua menahan dengan perisai gaib. Tenaga serangan terlalu kuat untuk mereka. Garangjiwo dan Lakunogo terlempar menabrak dinding di dalam ruangan. Keduanya meringkuk menahan sakit akibat benturan. Nyai Janis dan Pafi membantunya. Sebuah bayangan dengan jubah menutup hingga kepala melayang masuk ke dalam. Baju yang compang-camping dan tidak menapak ke lantai menyiratkan kalau itu bukan manusia. Sukmaratih dan Kriyandita maju melakukan serangan. Dua sinar biru dan putih meluncur deras menyerang bayangan itu. Tapi dengan mudah serangan itu dipatahkan. Kedua tangannya membelah ke kanan dan ke kiri. Tubuh Sukmaratih dan Kriyandita terlempar jauh ke dalam koridor. Keempat prajurit khusus dilumpuhkan dengan mudah.

“Hadapilah aku Sanaisbin” Pak Narso menghadang.

“Serahkan benda itu Narso, kau akan aku ampuni” Sanaisbin melayang berhenti di depan pak Narso.

“Kau tidak akan pernah mendapatkannya.” Pak Narso meluncurkan serangan. Dua buah sinar hijau melesat cepat kearah Sanaisbin. Sanaisbin melepaskan dua laris sinar merah menyongsong serangan pak Narso. Kedua sinar itu berbenturan di udara. Seluruh ruangan asrama kembali berguncang hebat. Pak Narso terjengkang. Pak Narso bangkit lagi. Tangannya sudah siap melepaskan serangan. Dua larik sinar kuning melesat dari tangan Sanaisbin. Pak Narso melepaskan serangannya. Dua larik sinar putih meluncur menyongsong serangan Sanaisbin. Benturan hebat kembali terjadi. Tapi kali ini keduanya sinar itu bersimpul di tengah. Saling dorong terjadi antara pak Narso dengan Sanaisbin. Tetapi kekuatan tubuh tua pak Narso bukan tandingan Raja Amukhsara itu. Sinar putih dari tangan pak Narso terdorong habis menghantam tubuhnya sendiri. Tubuh pak Narso terlempar menghantam dinding dengan keras. Darah keluar dari mulut, hidung dan telinganya. Dimas dan Raji menangkap tubuhnya sebelum jatuh terkulai ke lantai. Pak Narso hanya tersenyum melihat Dimas.

“Se..la..matkan dirimu nak” Pak Narso menutup matanya untuk yang terakhir kali. Dimas menangis sejadinya. Raji memeluk tubuh tanpa nyawa itu dengan erat. Air matanya mengalir tanpa henti.

“Pak Narso!” Pafi berlari menghambur ketubuh pak Narso yang sudah tidak bernyawa. Tiba-tiba Dimas bangkit.

“Kau harus membayar kematiannya!.” Dimas berjalan menghadang Sanaisbin.

“Jangan Dimas! Dia bukan tandinganmu!” Nyai Janis berusaha mencegah.

“Dimas, Kau anak Jayapati! Hahaha, mencari biji malah pohonnya sekalian datang kepadaku.” Dimas tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Sanaisbin.

“Kau telah membunuh ayahku Tapa Aji dan ibuku Kasih. Sekarang kau membunuh lagi orang-orang yang aku sayangi. Kau harus membayarnya.”

“Keberanian yang sama yang aku lihat sebelum ibumu terkapar.” Sanaisbin melayang mendekat. Wajahnya tetap tersembunyi di balik kerudungnya.

Dimas menerjang dengan serangan dua larik sinar kuning. Sanaisbin hanya menghindar. Kemudian Sanaisbin membalas serangan. Dua larik sinar merah lepas dari kedua tangannya. Dimas menyongsong serangan dengan dua larik sinar kuning dari kedua tangannya pula. Benturan itu membuat Dimas terjengkang ke belakang, tetapi masih sanggup berdiri. Sanaisbin terdorong mundur hingga ke depan pintu.

Tiba-tiba kilasan bayangan muncul di depan mata Dimas dengan cepat. Kemudian bayangan itu bergulung menjadi kabut dan menyerap masuk ke dalam kepala Dimas. Sejenak Dimas merasakan linglung. Sebuah ingatan masuk ke dalam kepalanya. Dimas melihat ibunya, Kasih berdiri tegak mengawasi seluruh sudut halaman rumahnya. Beberapa bayangan muncul dari kegelapan malam yang hanya diterangi oleh dua lampu obor bambu. Semua bergerak mendekati rumah, tetapi ketika sudah berjarak sepuluh langkah dari tempat berdirinya Kasih semua bayangan itu terpental ke belakang diikuti lecutan sinar merah dari menghantam mereka. Beberapa selamat dengan menghindari lecutan itu tetapi yang lain hangus terbelah dua.

“Aku telah pasang pagar halilintar di sekeliling rumahku, tidak akan ada mahluk dari dunia tengah maupun dunia gaib yang mampu menembusnya. Pergilah kalian semua sebelum binasa”

Kasih berkacak pinggang mengusir semua tamunya yang tak diundang itu. Tiba-tiba dari tempat yang agak gelap melesat dua larik sinar merah ke arah Kasih, sebelum menyentuhnya dua sinar itu bertumbukan dengan sesuatu yang kasat mata dan menimbulkan dentuman keras. Bumi bergetar hebat Kasih terpelanting menghantam pintu rumah. Dadanya terasa sakit dan sesak, kemudian bangkit dan menata kembali posisi berdirinya. Sesaat kemudian melesat lagi dua larik sinar merah ke arahnya, kali ini Kasih tahu bahwa pagar halilintarnya akan segera hancur, dia menyiapkan segenap tenaganya dan menghempaskan telapak tangannya ke depan. Bersamaan dengan itu dua larik sinar biru keluar dari telapak tangannya menyongsong dua sinar merah yang melesat ke arahnya. Dentuman kecil sempat terdengar tanda pagar halilintar akhirnya bisa ditembus, kemudian saat kedua sinar itu bertemu dentuman yang lebih besar menggelegar diikuti dengan terpentalnya ke belakang Kasih menghantam pintu rumah yang langsung jebol dan menghantam bilik ruang tamu. Kasih hanya mengeluarkan suara pelan sebelum akhirnya rebah dengan darah yang membasahi seluruh dadanya keluar dari mulutnya. Matanya masih melihat dengan tatapan yang penuh kesakitan.

Tapa Aji menghampiri istrinya dan memangku kepalanya di pahanya. Dia tersenyum melihat Kasih yang tersenyum juga kepadanya.

“Aku telah berhasil jeng, sekarang semua tergantung usaha Sighram”

Tapa Aji membisikannya ke telinga Kasih. Mendengar suara suaminya Kasih hanya tersenyum dan mengangguk dan menutup matanya.

“Baiklah, aku akan melakukannya”

Tapa Aji melepaskan istrinya dan disenderkan ke dinding. Tapa Aji bangkit dan menyongsong musuh yang sudah berdiri di halaman yang langsung mengurungnya.

“Narapati serahkan Buku Kehidupan”

sebuah suara yang sangat menakutkan menggema dari belakang para pengurung Tapa Aji yang segera menyurut ke belakang dua langkah. Sesosok bayangan hitam dengan jubah yang sudah compang camping bergerak melayang menghampiri Tapa Aji.

“Sanaisbin” Tapa Aji dalam hati bergetar menyebutkan nama itu.

“Serahkan Buku Kehidupan itu” Sanaisbin menyorongkan tangannya yang berkuku panjang dengan daging yang sudah sobek.

“Kalau kau menginginkannya, kau harus mengambilnya sendiri ke dalam tubuhku. Itu pun kalau kau sanggup” Tapa Aji menantang Sanaisbin.

“Baiklah, kita lihat ada apa di dalam tubuhmu”
“PHONHIDHATH RAHA….”

Sanaisbin menggerakan tangannya ke udara kemudian dua sinar hijau keluar dari tangannya bergerak ke arah Tapa Aji berusaha membelit seluruh tubuh Tapa Aji. Tapa Aji tidak tinggal diam,

“EKHARA SOBIENH…..”

tangannya dengan telapak terbuka bergerak memutar-mutar di depan kepalanya yang mengeluarkan sinar putih berputar-putar menyerap semua sinar hijau Sanaisbin. Tapi tanpa diduga Sanaisbin berkelebat ke arah Tapa Aji dan kedua tubuh mereka bertumbukan. Dalam tumbukan itu sebuah bayangan hitam keluar dari tubuh Sanaisbin dan menyerap masuk ke dalam tubuh Tapa Aji. Tubuh Sanaisbin yang telah ditinggalkan rohnya ambuk ke tanah, sementara di dalam tubuh Tapa Aji terjadi pertempuran dua jiwa. Tubuh Tapa Aji menggeliat dan bergulung-gulung di atas tanah beberapa saat sebelum akhirnya berhenti. Tubuh Tapa Aji bangkit dan tertawa terbahak-bahak.

“HA…HA…HA…aku akhirnya menguasai BUKU KEHIDUPAN, HA…HA…HA… dan sekarang dunia”

Tubuh Tapa Aji yang telah dikuasai Sanaisbin terus tertawa tanpa henti. Semua pengepung tadi langsung duduk berlutut menyembah. Belum usai rasa puas yang dimenangkan oleh Sanaisbin, tiba-tiba terdengar suara lemah dari dalam rumah yang tak lain suara Kasih yang mendayu lembut seperti sebuah tembang.

“Ketika kempompong tak lagi menjadi kupu-kupu, Sang Angkara hanya dapat dibunuh oleh anaknya sendiri”

Kasih tak lagi melanjutkan kata-katanya, kedua matanya terpejam menyusul suaminya pergi.

“Kau sekarang milikku! Aku Sanaisbin! Raja dari segala raja dunia tengah. Aku menguasai buku kehidupan. Takdir dunia tengah ada ditanganku”

Sanaisbin melayang menghampiri Dimas yang terkulai duduk dengan mata yang nyaris terbalik. Ingatan yang masuk ke dalam kepala membuatnya kehilangan konsentrasi. Sanaisbin tepat berada di depannya. Raji dan Pafi menyadari bahaya melakukan serangan menghalau Sanaisbin. Serangan mereka dengan mudah di halau Sanaisbin. Sanaisbin dengan mudah mendorong Raji dan Pafi ke belakang. Dimas masih duduk lemas.

“Dimas, bangkit. Dia ada di depanmu!” Raji berteriak.

Sanaisbin telah siap melancarkan serangannya. Sesaat Sanaisbin melihat benda yang dicarinya tergantung di leher Dimas. Tiba-tiba Sanaisbin seperti kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Tubuhnya seperti terpecah menjadi dua bagian. Dia mundur menjauhi Dimas. Kemudian mencoba mendekatinya lagi. Hal yang sama terjadi padanya. Tubuhnya seolah akan terpecah dua. Tidak ada yang mengerti apa yang terjadi pada Sanaisbin. Dimas masih terkulai lemas dengan mata yang memutih. Sanaisbin kemudian menyiapkan sebuah serangan dari jauh. Dia sadar dirinya tidak bisa menyentuh Dimas sama sekali. Sebelum serangan Sanaisbin meluncur, sebuah bayangan berkelebat menyambar tubuh Dimas kemudian meletakannya di bawah tangga.

“Kau sudah tahu sejak dulu aku lah lawanmu yang seimbang, Naraphala” Prabu Narayala sudah berada di dalam ruangan.

“Bapak Narayala!” Raji dan Pafi berteriak gembira.

“Maafkan aku anak-anak. Lama sekali memperbaiki pintu gaib itu. Sekarang pasukan Narapati sudah masuk ke tempat ini.” Prabu Narayala tersenyum. Dimas yang masih terkulai dipapah Raji ke dinding.

“Narayala, kau tidak bisa menghalangiku lagi.” Sanaisbin geram sekali.

“Oh ya, aku masih bisa menghalangimu Naraphala” Sanaisbin melepaskan serangannya. Dua larik sinar hijau meluncur kearah Prabu Narayala. Dengan cekatan Prabu Narayala melepaskan serangannya. Dua larik sinar keemasan lepas dari kedua tangannya bertemu di udara kosong. Kedua sinar itu saling bersimpul kemudian saling mendorong. Puluhan pasukan Narapati keluar dari ruang belajar keluar menuju halaman.

“Pasukan Narapati akan datang dengan jumlah yang lebih besar lagi Naraphala” Sanaisbin melihat gerakan pasukan Narapati yang makin banyak jumlahnya mulai menyerang pasukannya. Sanaisbin melepaskan serangannya.

“Aku tidak akan mengalah Narayala, aku akan datang lagi” Sanaisbin melayang keluar asrama kemudian menghilang bersama seluruh pasukannya di kegelapan malam.

“Aku akan tunggu, selalu setiap saat aku menunggumu datang” Suara Prabu Narayala mengecil saat mengucapkan kalimat terakhirnya. Wajahnya berubah sendu. Kemudian matanya beralih kepada Dimas.

“Kau tidak apa-apa nak ?” Dimas masih setengah sadar dengan mata yang mulai terbalik. Prabu Narayala meletakan kedua telapaknya di kening Dimas. Asap putih keluar dari kedua telinga Dimas. Sesaat kemudian Dimas pulih kembali. Dua prajurit Narapati membantu Garangjiwo dan Lakunogo. Sukmaratih dan Kriyandita berjalan tertatih dari ujung koridor. Ruangan asrama begitu berantakan.Setelah sadar Dimas berlari menghampiri pak Narso. Wajahnya nanar memandang lelaki tua yang sudah tak bernyawa itu. Kesedihan memayungi seluruh asrama. Dimas terus memeluk tubuh pak Narso. Raji dan Pafi menunduk sedih di sampingnya. Sesaat Dimas memandang pada Prabu Narayala. Bibirnya gemetar. Prabu Narayala hanya terdiam.

“Bapak Narayala, apakah Jayapati dan Tapa Aji adalah orang yang sama ?” suara Dimas bergetar. Semua yang melihat menahan nafas mendengar apa yang ditanyakan Dimas. Pafi sudah berlinang air mata melihatnya. Prabu Narayala sejenak diam.

“Betul nak, Jayapati adalah orang yang sama dengan Tapa Aji. Dia putra pak Narso, kakekmu.” Dimas balas memeluk lelaki tua itu. Jawaban Prabu Narayala menjadi isyarat berkekuatan halilintar yang menyentak Dimas dengan amat keras. Nafasnya terengah menahan sesak yang mendobrak dadanya. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari kenyataan setelah tidak memiliki keluarga kemudian harus kehilangan lagi keluarga yang baru saja ditemukan. Tidak ada satu pun dalam ruangan itu yang merasa akan sanggup menanggung beban kesedihan yang dialami Dimas. Nyai Janis hanya tertunduk mengusap air matanya.

“Mengapa kakek tidak pernah bilang pada saya. Mengapa kakek merahasiakan semua ini dari saya ?”

“Aku yakin, kakekmu melakukannya demi keselamatanmu. Dia sangat sayang padamu sehingga dia harus menahan semua kerinduannya demi keselamatanmu.” Kata-kata Prabu Narayala membangkitkan kenangan Dimas saat bersama dengan pak Narso. Dimas memegang kalung hitam di lehernya. Dia teringat saat pak Narso memberikan kalung itu kepadanya. Kalung yang disebutnya telah berjodoh denganya.

Beberapa prajurit Narapati mendekati tubuh pak Narso. Dimas seperti sudah tidak bertenaga lagi. Kakinya tidak sanggup menopang tubuhnya sendiri. Raji dan Pafi membantunya berdiri. Tubuh pak Narso diangkat beberapa prajurit Narapati. Dari caranya terlihat penghormatan yang diberikan kepada Pak Narso. Cara menghormati seorang pahlawan Narapati.

Rabu, 19 Maret 2008

BAGIAN 12 - GERBANG MAHAMERU

Kabut masih menyelimuti Mahameru yang tenang dan mistis. Penduduk desa di kaki gunung tertinggi di Jawa itu tidak mengetahui telah terjadi pertarungan hebat di puncaknya. Yang tampak dan terlihat hanyalah gumpalan kabut dan awal tebal menyelimuti Mahameru selama berhari-hari. Tidak ada yang berani pergi naik ke lereng. Tidak ada kayu bakar yang bisa diambil. Tidak ada hewan yang bisa diburu. Mahameru terlalu berbahaya saat ini.

Di balik dinding tipis kasat mata, sebuah gerbang candi berdiri di puncak Mahameru. Ribuan anak tangga terpahat menurun hingga ke bawah hingga ke sebuah pelataran yang cukup luas. Jalan batu dengan pagar setinggi pinggang melingkari gunung hingga bertemu lagi di ujung pelataran. Kemudian anak tangga turun lagi hingga ke dasar lembah. Tujuh orang berjaga di pelataran mengelilingi sebuah patung sapi nandiswara. Dua ekor garuda raksasa bertengger di dua buah pilar yang berdiri di kiri dan kanan pelataran. Penjagaan terlihat sangat waspada. Tidak ada satu pun prajurit penjaga bersantai-santai. Rupanya apa yang sedang terjadi di asrama telah membawa dampak yang luas hingga ke dunia tengah. Sembilan gerbang lintas batas di jaga dengan ketat. Jumlah prajurit jaga yang biasanya hanya tujuh kini diperkuat menjadi duapuluh satu orang. Para prajurit jaga di pelataran kini sedang menunggu kawan-kawan mereka yang akan membantu.

“Kalian ada yang tahu kenapa tiba-tiba ada penambahan pasukan jaga ?” tanya seorang prajurit bertubuh paling pendek diantara yang lain kepada teman-temannya.

“Aku tidak tahu, kita Cuma diperintahkan untuk menyisir lereng dan memastikan tidak ada penyusup yang masuk.” Prajurit bertubuh gendut menjelaskan.

“Hal seperti ini belum pernah terjadi sejak terakhir duabelas tahun yang lalu. Beritanya Amukhsara sekarang sedang berusaha masuk dunia manusia. Karena itu semua Sembilan gerbang diperketat penjagaannya.”

“Kalau begitu kita sekarang dalam keadaan perang ?”

“Belum, kita hanya dalam keadaan waspada yang ditingkatkan karena ada gerakan Amuksara yang sangat dekat.”

“Waduh, aku belum ketemu istriku sudah satu purnama lagi. Masak aku harus perpanjang lagi disini. Bisa pusing aku.”

Dari bawah pelataran beberapa prajurit yang dijanjikan telah datang. Mereka menanjak menapaki anak tangga dengan cepat. Prajurit jaga yang menunggu mereka begitu senang akhirnya bantuan akan datang. Mereka bisa berjaga lebih santai sekarang. Tetapi bau yang aneh memancar ke seluruh pelataran.

“Tahan! Mereka bukan prajurit bantuan. Mereka para gendrawa yang menyamar.”

Setelah penyamaran terbongkar, para prajurit yang disangka bala bantuan berubah menjadi para gendrawa yang sangat besar dengan mata merah menyala. Dua taring yang keluar dari sisi bibirnya begitu kelihatan haus darah. Dua garuda yang bertengger mengepakan sayapnya. Dua prajurit menunggani punggungnya membawa kedua garuda itu melayang meluncur ke bawah menyerang sekelompok gendrawa yang terus menanjak cepat. Serangan-serangan cakar-cakar garuda menyobek beberapa gendrawa. Dua gendrawa tersungkur dan jatuh berguling di atas tangga. Tubuhnya yang besar menghantam beberapa gendrawa lain di bawahnya. Yang lain berada di atas terus menanjak ke atas.

Usaha ketujuh prajurit itu tidak seimbang dengan jumlah ratusan gendrawa yang mengepung mereka. Dalam waktu singkat mereka sudah terdesak hebat. Beberapa gendrawa telah berhasil naik ke pelataran dan mulai mengarah gerbang lintas ke dunia manusia. Dua orang prajurit berjaga di depan gerbang menghalangi mereka. Serangan-serangan prajurit itu tidak terlalu banyak berarti. Mereka mulai kelelahan menghalau para gendrawa itu. Di saat kritis dari arah utara segerombol burung garuda datang dengan cepat. Dalam waktu singkat burung-burung itu menyerang para gendrawa. Beberapa prajurit melompat dari pungung garuda ke atas pelataran membantu prajurit di sana. Seorang gendrawa telah berhasil membuka gerbang. Prajurit-prajurit Narapati yang baru saja tiba menghambur menyerang gendrawa-gendrawa yang masih berdiri di depan gerbang.

Dari balik gerbang persis di ruang belajar asrama pintu gaib terbuka. Sukmaratih mendengar bunyi keras di dalam ruangan belajar. Kriyandita dan Sukmaratih segera berlari ke ruang belajar. Ruangan belajar telah hancur berantakan. Buku dan rak betebaran tidak karuan. Seorang prajurit Narapati sedang bertempur melawan dua gendrawa yang telah berhasil masuk ke dalam ruang belajar.

“Cepat tutup kembali gerbang. Jangan biarkan yang lain masuk!”

Prajurit Narapati di balik gerbang berhasil menutup kembali gerbang. Sukmaratih dengan sebuah serangan menghantamkan serangannya kearah pintu yang telah tertutup. Lukisan dinding di atasnya hancur berantakan. Sebagian dinding juga jebol hingga tembus ke ruangan di baliknya.

Dimas, Raji, Pafi, Nyai Janis dan Pak Narso masuk ke dalam. Mereka sangat terkejut melihat dua mayat gendrawa tergeletak di tengah ruangan yang sudah hancur berantakan. Tidak lama kemudian Garangjiwo dan Lakunogo datang.

“Apa yang terjadi ?” tanya Garangjiwo.

“Para gendrawa berhasil menembus masuk gerbang.” Sukamartih menunjuk dua mayat gendrawa di sampingnya. Seoranga prajurit jaga gerbang yang sempat bertempur dengan dua gendrawa itu mendekat.

“Saya prajurit jaga di gerbang Mahameru.” Prajurit itu memberikan salam.

“Ceritakan apa yang terjadi prajurit!” Lakunogo memberi perintah.

“Ratusan gendrawa tiba-tiba saja datang menyerang. Kami pikir mereka adalah prajurit tambahan yang telah dikirim Medanggana Raya untuk memperkuat penjagaan. Karena mereka menyamar seperti prajurit Narapati. Tetapi kami curiga karena bau kentang busuk yang mereka tebarkan. Akhirnya kami menghadang mereka. Tetapi jumlah mereka terlalu banyak. Beberapa gendrawa berhasil melumpuhkan dua teman saya. Untuk saat itu saya sempat melihat ada pasukan garuda datang membantu.”

“Kita harus memberi kabar pada Cakravartin” kata Garangjiwo

“Tidak mungkin, aku telah menghancurkan gerbang itu dari sini. Kita tidak bisa membukanya lagi. Kecuali diperbaiki dari sana.” Kata Sukmaratih lesu. Semua terkejut, mereka kini sendirian. Cakravartin tidak bisa membantu mereka karena gerbang lintas telah rusak dan tidak bisa dibuka.

“Kalau begitu kita harus mengirim orang pergi ke gerbang terdekat. Pintu Merapi adalah yang paling mungkin.” Kriyandita memberikan usul.

“Aku saja yang pergi!” Lakunogo mengajukan diri.

“Jangan! Kau sangat dibutuhkan disini. Pertahanan kita akan terlalu lemah kalau kau yang pergi. Lebih baik prajurit jaga gerbang ini yang pergi.” Jari tangan Garangjiwo menunjuk prajurit jaga gerbang Mahameru.

“Saya akan jalankan!” jawab Prajurit jaga gerbang itu dengan tegas.

“Berhati-hatilah, karena di lereng Merapi juga banyak pemukiman gendrawa.” Sukmaratih member pesan kepada prajurit jaga gerbang itu. Prajurit itu mengangguk. Beberapa saat kemudian prajurit itu berangkat meninggalkan asrama. Sedikit darah yang mengalir dari luka di pahanya membuat semua yang ada diruangan belajar itu khawatir. Apakah prajurit itu sanggup mencapai gerbang Merapi.

“Sekarang kita harus mengungsikan anak-anak ke tempat yang aman. Nyai apakah disini ada ruang bawah tanah untuk perlindungan.”

“Tidak Kriyandita! Satu-satunya gudang bawah tanah hanyalah tempat penyimpanan stok makanan. Itu pun kondisinya sangat tidak sehat.” Nyai Janis mengangkat bahunya. Wajahnya terlihat sedih. Keselamatan anak-anak asuhnya dalam ancaman. Dimas, Raji dan Pafi berunding diluar sepengetahuan mereka. Kemudian Dimas mengambil bicara.

“Kami ada tempat perlindungan yang aman.” Semua mata menatap Dimas dengan penuh tanda tanya.

“Maksudmu tempat seperti apa Dimas ?” tanya Nyai Janis.

“Tempat perlindungan yang dibuat oleh Gandrung. Tempat itu kami menyebutnya ruang keinginan.” Penjelasan Dimas mengejutkan semua orang. Bagaimana Dimas bisa mengenal Gandrung. Orang yang membangun asrama ini jauh belasan tahun lalu. Juga ruang keinginan yang hanya ada di legenda Sinar Avedi.

“Ceritanya panjang. Kami mengenal Gandrung sewaktu secara tidak sengaja kami menemukan gerbang menuju dunia Narapati 15.000 tahun lalu. Gerbang yang sama yang baru saja dihancurkan oleh bibi Sukmaratih. Di kota Sundabuana kami bertemu dengan Gandrung. Gandrung banyak menunjukan kepada kami ruang-ruang rahasia yang pernah dibangun bangsa Sinar Avedi di bawah kota Sundabuana. Kemudian secara tidak sengaja pula kami menemukan ruangan keinginan yang dibuat oleh Gandrung di asrama ini. Kami menemukan dengan menggunakan cincin kebenaran ini.” Dimas menunjukan cincinnya. Semuanya makin terkejut tidak percaya dengan penjelasan Dimas.

“Mari saya tunjukan dimana ruangan itu berada.” Dimas, Raji dan Pafi berjalan menuju pintu ruang keinginan. Garangjiwo, Lakunogo, Sukmaratih, Kriyandita dan Nyai Janis mengikuti mereka. Nyaris tidak percaya tiga anak kecil di depan mereka sudah melalui begitu banyak petualangan. Di samping pintu gudang bawah tanah Dimas, Raji dan Pafi berhenti. Kemudian menyorongkan cincin mereka ke dinding di sebelah pintu itu. Sebuah pintu gaib terlihat. Setelah kepalan mereka di tempelkan di dinding. Pintu itu terbuka. Mereka kemudian masuk menuruni tangga. Apa yang berada di bawah nyaris tidak dapat dipercaya. Ruang keinginan benar-benar ada. Dimas menunjukan ruang rumah Gandrung yang akan dijadikan tempat berlindung.

“Baiklah kita pindahkan anak-anak malam ini. Bahan makanan akan dipasok setiap hari.” Garangjiwo memberikan keputusan.

“Tidak perlu dipasok. Dengan pintu keinginan kita bisa masuk ke ruangan gudang penyimpan bahan makanan.” Pafi mengucapkan tujuannya. Lalu membuka pintu disebelah pintu ruang rumah Gandrung. Di balik pintu sebuah ruangan gelap dengan banyak tumpukan bahan makanan. Semua baru percaya kalau ruang keinginan benar-benar menunjukan tempat yang mereka inginkan.

“Tapi anak-anak harus tetap berada di dalam ruangan rumah Gandrung ini. Mereka tidak boleh berada keluar. Karena bisa berbahaya kalau mereka membuka pintu-pintu ini.” Nyai Janis mengungkapkan kekhawatirannya.

“Kalian juga harus ikut berada di ruangan ini.” Lakunogo meminta Dimas, Raji dan Pafi. Saat mereka akan protes Lakunogo menggelengkan kepalanya. Ketiganya tidak bisa membantah lagi. Mereka akhirnya harus ikut tinggal bersama anak-anak asrama lain di dalam ruangan itu. Satu per satu semua anak-anak dipindahkan ke dalam ruang rumah Gandrung. Mereka bertanya-tanya kenapa harus pindah. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak banyak yang terjawab. Untuk sementara semua anak-anak asrama aman.

Selasa, 11 Maret 2008

BAGIAN 11 - TALI PUSAR JAYAPATI

Udara lebih sejuk setelah pertemuan semalam terjadi. Ada berkas-berkas indah menari di kepala Dimas. Dia menemukan kembali kedamaian pelukan ayahnya. Lembut belaian kasih ibunya. Walaupun hanya sepenggal, paling tidak ada setetes kasih yang pernah dirasakan dan bisa diingatnya. Dimas lebih suka menyendiri belakangan ini. Raji dan Pafi mengerti kebutuhannya. Mereka berdua membiarkan Dimas mengambil waktunya sendiri. Halaman gersang sisa serangan belalang malah tampak lebih indah dengan ingatan pahit ini. Air matanya mengalir tanpa bisa dibendung. Tangannya buru-buru menghapusnya. Bangsal masih sepi, anak-anak masih menghabiskan waktu mereka di ruang belajar. Matanya melihat seorang penjaga berada di halaman asrama. Jendela tempatnya berdiri biasa memandang, kini menjadi penjara yang begitu membosankan. Tapi hatinya ditegarkan demi teman-temannya. Mereka belum tahu kalau kemalangan yang sekarang mereka alami adalah karena dirinya. Pertama kalinya Dimas merasa telah membebani begitu banyak orang. Menempatkan mereka pada posisi yang berbahaya. Andai saja hanya dirinya yang harus berhadapan dengan para Amuksara, mungkin sesak di dadanya tidak akan seberat ini. Rasa bersalah juga menghinggapinya telah membawa Raji dan Pafi ke dalam konflik ini. Keselamatan kedua sahabatnya yang begitu berharga kini harus berada di ujung tanduk. Walaupun dia tahu Raji dan Pafi sangat tidak mempermasalahkan hal itu. Dimas hanya menatap prajurit yang berjalan-jalan berputar-putar di depan asrama. Tidak tampak apapun yang mencurigakan yang membuatnya bersikap lebih waspada. Sesaat kemudian dia teringat kata-katanya sendiri. Dia akan berada di asrama bersama teman-temannya menghadapi semuanya. Dimas memutuskan untuk bergabung dengan teman-temannya yang lain di ruang belajar. Kakinya melangkah pasti keluar dari ruangan bangsal.

Beberapa prajurit khusus Narapati telah ditempatkan di dalam asrama. Setiap malam mereka bergantian menjaga dan berkeliling asrama. Anak-anak asrama yang lain hanya tahu kalau mereka adalah polisi yang punya kemampuan dukun. Suasana sebenarnya tidak terlalu mencekam. Berkat kemampuan para prajurit khusus Narapati yang membawa cair suasana. Canda tawa dan gurauan bergema di dalam ruangan-ruangan. Ruang makan yang biasanya penuh dengan meja dan kursi kini berubah menjadi panggung hiburan. Anak-anak duduk di lantai memperhatikan sebuah pertunjukan wayang orang yang diperagakan beberapa anak, termasuk Raji di dalamnya. Suara riuh bergemuruh di dalam ruangan. Nyai Janis, pak Narso dan para pembantu ikut menyaksikan. Sukmaratih dan Kriyandita berjaga di sudut ruangan. Dimas langsung bergabung dengan anak-anak lain. Belum pernah Nyai Janis mengijinkan acara seperti ini sebelumnya. Ini adalah kali pertama asrama begitu hangat dan bersahabat. Padahal mereka semua sedang ditengah sebuah kecemasan. Mungkin itu sudah menjadi sifat alamiah manusia. Mereka akan saling menghibur memberikan semangat saat keadaan terburuk menimpa. Mungkin ini yang disebut sifat alami untuk kelangsungan hidup. Yang dipikirkan hanya bagaimana meningkatkan kualitas mental yang lain agar bisa meneruskan hidup dan berjuang untuk kelangsungan hidup jenis mereka. Mungkin ini pula yang menghindarkan manusia dari kepunahan walaupun sama-sama melewati masa yang sama dengan Mamoth ataupun Singa bertaring panjang yang telah punah ribuan tahun lalu.

Pertunjukan selesai. Anak-anak diminta untuk kembali ke bangsal mereka masing-masing. Dimas menghampiri Raji yang baru menyelesaikan perannya. Tak lama kemudian Pafi ikut bergabung.

“Kau hebat Raji! Kau memang berbakat sekali di pertunjukan seperti itu. Selamat ya!” Mendapatkan pujian dari Pafi seperti mendapat kunjungan sultan keraton. Hal yang jarang terjadi. Hidung Raji langsung membesar.

“Eh hehehe terima kasih! Tapi tanpa yang lain aku tidak bisa seperti itu. Mereka yang membantuku kelihatan bagus.” Kata Raji merendah. Komentar yang jarang pula didengar Pafi. Biasanya Raji selalu pamer.

“Tapi benar Pafi bilang. Kau memang hebat sekali tadi. Anak-anak tadi lebih banyak memujimu.” Dimas ikut memuji.

“Ayo kita kembali ke kamar tidur!” kata Raji.

“Kalian tega sekali! Sudah berapa lama coba kita tidak berkumpul seperti ini. Masak harus cepat-cepat kembali. Aku bisa bengong sendirian di kamar.” Pafi menolak kembali lebih awal ke kamar. Dimas paham benar maksud Pafi. Tak tega melihat wajah Pafi yang begitu memelas.

“Baiklah. Kita ke ruang belajar saja.” Raji memberikan usul. Wajah Pafi berubah sumringah. Dimas pun setuju. Sudah dua hari mereka tidak berkumpul karena Dimas memilih untuk sendirian. Mereka pun pergi menuju ruang belajar.

Melepaskan kangen mengobrol bertiga memberikan energy baru bagi Dimas. Rasa terima kasihnya begitu besar mendapat dua sahabat yang selalu setia dengannya. Banyak cerita yang muncul dalam dua hari ini. Terutama bagaimana Raji melakukan latihan-latihan singkat bersama yang lain membuat pertunjukan tadi.

“Bagaimana kau bisa ikut pertunjukan tadi ?” Dimas penasaran. Raji memang tidak banyak cerita tentang hal itu. Dan dia yakin karena Raji ingin memberikan ruang sendiri untuknya.

“Yah, aku awalnya tidak ikut. Secara tidak sengaja aku melihat latihan pertama mereka. Sambil lewat menirukan dialog mereka. Maksudku bercanda. Tapi bibi Sukmaratih malah memanggilku. Katanya caraku mengucapkan dialog itu begitu lucu. Aku kagum pada bibi Sukmaratih, selain seorang prajurit khusus ternyata pandai menjadi sutradara juga.”

Raji menceritakan semua kelucuan yang terjadi selama latihannya. Dimas dan Pafi tertawa terbahak-bahak tiada henti. Bukan hanya karena ceritanya yang lucu tetapi juga cara Raji membawakan cerita yang begitu menyenangkan dan lucu. Cerita Raji menjadi pengobat yang ampuh bagi duka Dimas. Yang membuatnya makin menghargai persahabatan mereka.

Sudah dua hari Prabu Narayala kembali ke Cakravartin. Sebelum pergi dia memasang pagar-pagar pelindung melingkari seluruh asrama. Tetapi Dimas tidak bisa tidur semalaman. Ingatannya terus melayang. Hatinya terus ingin bertemu dengan pak Narso. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tetapi semuanya seperti tersumbat di dalam dada. Walaupun matanya dipaksa dipejamkan Dimas tetap tidak bisa tidur. Akhirnya kakinya tidak bisa lagi diperintah untuk tetap berada di atas kasur. Dimas melangkah keluar bangsal dengan hati-hati. Kali ini Raji tidak dibangunkan. Di luar bangsal Dimas mendengar percakapan. Dua suara perempuan jelas sekali terdengar. Kriyandita dan Sukmaratih masih berjaga di dalam. Dimas menghampiri keduanya. Tidak ada jalan lain kalau ingin menemui pak Narso yang tinggal di belakang dapur sekarang. Pak Narso dan Mbok Sinem menempati kamar Mbok Sinten yang terpaksa harus sekamar dengan mbok Sirem. Telinga Sukmaratih yang tajam segera mengetahui kedatangan seseorang dari lantai atas.

“Siapa itu!” Sukmaratih menanyakan identitas orang yang tak lain adalah Dimas.

“Saya, Dimas.” Dimas menuruni tangga menghampiri keduanya.

“Kenapa malam-malam masih keluar kamar ?” Kriyandita bertanya lebih lembut.

“Aku tidak bisa tidur, aku mau menemui pak Narso. Bibi semua tahu dimana pak Narso ?” Belum Kriyandita dan Sukmaratih menjawab, tiba-tiba suara pak Narso sudah berada di belakang mereka.

“Saya disini nak Dimas. Ada apa nak Dimas mencari saya ?” Pak Narso muncul dari balik pintu ruang makan. Dimas senang sekali bertemu dengan pak Narso.

“Kalian tidak boleh keluar dari asrama ini.” Sukmaratih melarang dengan keras.

“Siapa yang bilang mau keluar. Kami akan duduk di ruang makan saja.” Dimas dan pak Narso masuk ke dalam ruang makan. Meja-meja dan kursi telah dikembalikan seperti semula setelah siang tadi digunakan untuk pertunjukan seni.

“Nak Dimas tidak bisa tidur ?”

“Iya pak, saya tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Isi kepala saya selalu saja berputar-putar. Entah apa yang saya pikirkan saya sendiri tidak mengerti.”

“Itu karena hati nak Dimas yang resah. Nak Dimas harus menenangkan dulu isi hati nak Dimas baru pikiran bisa tenang.”

“Iya pak, sudah saya coba tetapi tidak juga bisa.”

“Kalau begitu cobalah kenakan ini. Mungkin ini bisa membantu”

“Apa ini pak ?”

“Ini adalah tali pusar anak saya. Saya sering mengenakannya sewaktu dia rewel waktu kecil. Setelah dia mengenakannya dia lebih tenang.” Dimas meraih kalung hitam dari tangan pak Narso. Kalung yang begitu mirip dengan yang sekarang dikenakannya. Terbuat dari kain hitam. Dimas melingkarkan kalung itu di lehernya. Rasa hangat menjalar saat kalung itu menyentuh kulit dadanya. Rasa nyaman menjalar ke seluruh tubuhnya. Kalung hitam itu tiba-tiba bergerak menjadi satu dengan kalung hitam milik Dimas hingga akhirnya benar-benar menyatu. Dimas tidak mencegah lagi. Pak Narso hanya tersenyum melihat kejadian itu.

“Mungkin kalung itu berjodoh dengan nak Dimas.”

“Tidak pak, kalung ini milik pak Narso. Ini kenang-kenang dari anak Bapak. Saya tidak boleh memilikinya. Bagaimana cara membuatnya terpecah lagi jadi dua ?”

“Saya juga tidak tahu nak, Tapi saya yakin kalung itu memang berjodoh dengan nak Dimas. Mungkin isi kalung itu tahu siapa tuannya yang sebenarnya sekarang.”

Dimas tidak bisa berkata apa-apa lagi. Perasaannya begitu nyaman sekarang. Seolah semuanya telah lengkap.

“Mengapa tali pusar ini memiliki kekuatan seperti itu pak Narso ?”

“Tali pusar itu adalah bagian dari tubuh anak saya Jayapati yang dipotong setelah tubuhnya dirasuki oleh kekuatan Buku Kehidupan. Jadi tali pusar itu memiliki sebagian kecil kekuatan Buku Kehidupan.”

Dimas teringat hal yang dikatakan Prabu Narayala kalau dirinya adalah pemegang rahasia terakhir dimana Buku Kehidupan disembunyikan. Mungkinkah kalung ini akan membantunya mengeluarkan rahasia itu dari dalam tubuhnya ? Mungkin memang dirinya berjodoh dengan kalung itu karena dia yang menyimpan rahasia tempat persembunyiannya. Dimas masih mereka-reka dalam hatinya.
Pak Narso kelihatan begitu bahagia telah menyerahkan kalung itu kepada Dimas. Seolah beban yang lama ditanggung telah terangkat dari pundaknya.

BAGIAN 10 - SANG PEWARIS

Hari-hari berjalan seperti biasa. Belajar di asrama, bermain di halaman tengah, makan, tidur. Berputar-putar hanya di asrama membuat Dimas, Raji dan Pafi merasakan kebosanan. Sekarang ditambah gudang bawah tanah yang penuh dengan lelembut, tidak ada yang berani mendekat. Kasihan Mbok Sinten dan Mbok Sirem yang biasanya dengan bebas mengambil bahan makanan. Pak Narso yang selalu diminta untuk mengambilnya. Nyai Janis benar-benar menempatkan asrama dalam status siaga tertinggi. Bila ada pelanggaran, hukumannya berada di ruang bawah tanah bersama para lelembut. Terang saja tidak ada satupun yang berani melanggar. Kebun pak Narso masih terlihat terlantar sekali. Pak Narso harus membajak ulang tanahnya dan menyemai bibit baru. Situasi yang sama di banyak ladang petani di tempat lain. Mereka harus menyemai ulang tanaman mereka yang hancur akibat serangan Belalang.

Di ruang belajar asrama, Dimas, Raji dan Pafi sedang mengerjakan PR mereka yang mulai bertambah banyak menjelang ujian akhir. Raji mulai pusing dengan semua tugas yang sedang dikerjakannya.

“Waduh… pusing aku mengerjakan semua PR gila ini, sejak pulang sekolah tadi nggak selesai-selesai. Apalagi ini sejarah Londo ini, heran aku, kok bangsa ini mau aja dijadikan Negara boneka Belanda. Kalo Pak Tardjo nggak minta-minta, mungkin kita sudah jadi Negara yang berdiri sendiri” Raji terus menggerutu tentang PR sejarah nasional Negara Hindia Belanda yang sedang dikerjakannya. Sedangkan Dimas tampaknya tetap asyik dengan tangannya yang terus menuliskan PR nya.

“Kau tidak bisa diam apa…..berisik, memangnya kalau kita memiliki negara yang berdaulat sendiri akan ada perubahan yang lebih baik?” Pafi mendelik menimpali gerutuan Raji sambil memandangnya menantang menunggu jawaban apa yang akan diberikan Raji kepadanya. Raji tak menyahut dan terlihat tidak peduli.

“Malas aku kerjakan PR bangsa londo ini, mendingan aku kerjakan sastra Jawa saja, karya bangsaku sendiri” Raji menutup halaman buku sejarah belanda yang sedang digunakannya untuk membuat PR. Tangannya kemudian membuka buku lain tentang sastra jawa.

“Sudah kerjakan PR sastra Jawa, Dimas?” Raji melongokan kepalanya ke arah buku catatan yang sedang ditulis Dimas.

“Belum, aku masih kerjakan sekarang” Jawab Dimas singkat.

“Kau benar-benar seperti tokek ya….gak bisa diam, aku kembali saja ke kamar, mendingan kerjakan di kamar” Pafi mendelik dengan wajah galak menatap Raji yang masih cengar-cengir.

Dimas hanya tersenyum kecil diujung bibirnya dan kemudian berkonsentrasi kembali kepada pekerjaannya. Dia tahu kalau sudah begitu Raji bukanlah orang yang bisa dinasehati. Dia akan makin tidak peduli dengan omongan orang lain. Wajah malas mulai merambat di seluruh permukaan wajah Raji, tangannya mulai ogah-ogahan menulis dan ketika semuanya mencapai puncak ubun-ubun. Tapi Pafi urung mengerjakannya di kamar teringat begitu banyaknya anak perempuan lain yang pasti lebih berisik dari Raji.

Jam sudah menunjukan pukul 12 malam, Dimas, Pafi dan Raji tak tampak akan segera mengakhiri belajarnya. Walaupun guratan kelelahan sudah tampak di wajah mereka, mereka tetap menulis seakan sedang dalam dunianya sendiri. Saking asyiknya menulis, ketiganya tidak lagi berbicara satu sama lain. Mereka tak sadar kalau tiba-tiba saja di seberang meja tempatnya menulis muncul 2 sosok manusia dewasa entah dari mana datangnya. Ketika keasyikannya terganggu oleh bayangan yang menutupi kertas bukunya sontak Dimas dan Pafi bangkit dari duduknya dan berjengit kaget, sementara Raji langsung terjengkang dari kursinya. Matanya melotot dengan dada yang berdegup begitu kencang, tangan gemetaran menahan rasa takut yang mulai menjalar ke ubun-ubunnya.

Hantu, adalah kata yang pertama keluar dari pikirannya, kakinya bergerak mundur dengan gemetar mendorong kursi yang berada di belakangnya. Bunyi derak kursi yang tergeser membuat suasana yang dirasakan Dimas makin mencekam. Dalam ketakutan yang sangat, dua wajah yang muncul di depannya menarik ingatan akan kejadian aneh yang dialaminya beberapa hari yang lalu. Setelah kejadian kesurupan masal dua hari kemarin, tidak ada lagi dalam pikiran mereka selain mahluk halus. Seketika degup jantungnya makin keras saja, suaranya tercekat, Pafi tangannya sempat mengayun pelan dan sebuah kursi yang berada di sebelahnya melayang mengarah deras ke arah dua orang misterius itu. Salah seorang misterius yang berwajah sudah agak tua tersenyum sambil mengibaskan tangannya. Kursi yang melayang ke arahnya seketika berhenti dan turun dengan lembut di sampingnya. Dimas tanpa sadar bergerak tidak karuan yang seketika itu pula diikuti dengan melayangnya benda-benda yang berada di dalam ruangan belajar itu meluncur deras ke arah dua orang misterius tersebut. Namun seketika itu juga benda-benda itu seperti tertahan di udara dan berhenti mendadak kemudian turun perlahan di atas lantai. Tidak ada satupun yang jatuh menyebabkan bunyi keras di lantai.

“Janganlah kalian takut Narapati, kami datang bukan bermaksud menyakiti” seorang yang lebih muda menerjemahkannya.

Orang tua yang berjubah putih dengan sorban di kepalanya menjulurkan tangannya untuk menenangkan Dimas, Pafi dan Raji yang sudah bangkit berdiri. Dimas merasa seperti ada yang menggenggamnya begitu kuat yang memaksanya duduk di kursi yang berada di belakangnya. Sekuat tenaga dia melawan, tetapi tidak ada daya yang mampu melepaskannya.

“Akh…akh…. apa yang kalian lakukan kepada kami ?” Dimas berteriak

“Sekarang mari kita duduk, ada yang akan aku beritahukan kepadamu, aku Prabu Narayala dan ini Kerthapati” Orang tersebut memperkenalkan dirinya dan temannya yang langsung menghaturkan sembah dengan dua telapak tangan disatukan. Dimas seperti tidak percaya mendengar nama itu. Nama yang diingatnya untuk seorang lelaki muda yang tenang dan sangat penuh pertimbangan. Bukan wajah dengan garis yang nyata dari kulit muda yang sudah mengendur dengan cambang dan janggut putih yang panjang. Dimas menatap lebih jelas ke wajah orang itu. Tapi mana mungkin. Hatinya menolaknya. Tidak mungkin Prabu Narayala masih hidup. Dia hidup 15.000 tahun lalu. Orang itu menangkap keraguan di wajah Dimas.

“Aku memang Prabu Narayala, dan aku masih hidup. Sejak pertemuan kita terakhir di balairung keraton Narapati 15.000 tahun yang lalu bersama Sinar Avedi Agung Au Co dan Ratu Kerajaan Selatan.”

Tidak ada yang tahu pertemuan itu kecuali yang hadir di sana. Tangan Dimas langsung memberikan salam sembah begitu mengenali sosok dibalik wajah itu.

“Maafkan saya Gusti Prabu, saya tidak mengenali wajah Gusti Prabu.” Raji dan Pafi ikut memberikan salam. Narapati, kembali hadir di depan mereka. Antara percaya dan tidak, bahkan Pafi harus mencubit tangannya sendiri untuk memastikan kalau dia tidak sedang bermimpi. Seperti hantu yang datang dari masa lalu, kedatangan Prabu Narayala benar-benar tidak terduga. Dimas tidak berharap kalau dia akhirnya bertemu dengan pemimpin tertinggi Kerajaan Narapati itu. Ruangan belajar tiba-tiba berubah menjadi sangat gelap. Tidak ada satupun yang terlihat. Hanya terdengar suara Prabu Narayala saja dalam kegelapan.

“Aku datang karena telah tiba waktunya bagimu untuk tahu apa yang sedang terjadi dan hubungan semua ini denganmu nak. Maafkan aku telah meminjam apa yang paling berharga darimu. Sekarang aku akan kembalikan kepadamu” Sesaat kemudian kembali terang. Hanya Dimas dan Prabu Narayala saja berada di tempat itu, bukan lagi berada di dalam ruang belajar. Melainkan di sebuah jalan desa yang dipagari pohon bambu apus. Sampah-sampah daun bambu berserakan tertiup angin di atas jalan. Rumah-rumah gedek dengan pagar dari bambu berjejer di ujung pertigaan jalan. Langit cerah tidak ada tanda-tanda akan turun hujan, walaupun awan putih tebal sudah menggantung di angkasa. Seorang lelaki memanggul pikulan berisi penuh rumput di kedua ujungnya berjalan kearah mereka. Hewan-hewan ternak berkeliaran dengan bebas.

“Kita berada dimana ?” Dimas merasa tiba-tiba seperti terlempar ke sebuah dunia yang lain. Ada hal yang dikenalnya, tetapi semuanya samar diingat.

“Kita berada di ingatanmu duabelas tahun yang lalu. Ingatan yang aku ambil sementara dari kepalamu nak. Untuk tujuan keselamatanmu.” Kata Prabu Narayala. Lelaki itu kelihatan berubah, wajahnya terlihat lebih muram. Ada perasaan berat dalam hatinya harus menunjukan anak usia tigabelas tahun kenyataan pahit tentang masa lalunya. Masa lalu yang harus diingatnya dengan cara yang sangat menyakitkan. Mereka kemudian berjalan menuju sebuah rumah yang agak jauh dari pemukiman lain.

Sebuah rumah yang sederhana dipinggir kali kecil. Seorang lelaki sedang duduk di dipan di beranda rumahnya sambil memangku seorang anak laki-laki berumur dua tahun. Sebuah kalung kain hitam terikat di lehernya, sama persis dengan yang sekarang dikenakan oleh Dimas. Mulutnya asyik menikmati singkong rebus sambil memandang seorang perempuan cantik berperawakan langsing sedang menjemur pakaian-pakaian yang baru saja dicucinya. Sesekali perempuan itu menengok ke arah anak lelaki itu dan tersenyum kemudian melambai-lambaikan tangannya.

“Dimas…Dimas…. Ibu di sini…” perempuan itu memanggil-manggil dan melambai-lambaikan tangannya kepada anak lelaki yang berada di pangkuan lelaki dewasa di beranda itu.

Dimas terhenyak mendengar perempuan itu memanggil nama anaknya. Kakinya seperti hendak melangkah menghampiri perempuan itu. Matanya mulai berkaca melihat pemandangan yang dilihatnya. Dia melihat sosok kecil dirinya yang sedang dipangku oleh orang yang tidak lain adalah ayahnya.

“tuh..tuh… ibu…Dimas.. lihat… itu ibu sedang menjemur pakaian” Lelaki dewasa itu menunjuk-nujuk perempuan yang sedang menjemur pakaian itu mencoba mengarahkan pandangan mata si anak kepada ibunya. Selesai menjemur semua cuciannya kemudian perempuan itu bergerak menghampiri suaminya.

“Kakang mau makan sekarang ? aku akan siapkan ya” Perempuan itu menyapa suaminya. Lelaki itu mengangguk. Kedua tangannya sibuk memindahkan Dimas dari pangkuannya.

“Dimas disini sebentar dengan ayah ya…. Ibu mau menyiapkan makanan dulu” Perempuan itu menyentuh lembut pipi anaknya kemudian masuk ke rumah. Belum lama perempuan itu masuk ke dalam rumah, tiba-tiba seorang lelaki datang tergopoh-gopoh.

“Kakang Tapa Aji, tolong…tolong ketiwasan kakang…” Lelaki muda itu terengah-engah

“Tenang..tenang Garung… tarik nafasmu dulu…. Lalu ceritakan apa yang terjadi” Tapa Aji berusaha menenangkan. Garung menarik nafasnya, suaranya masih terengah-engah. Setelah nafasanya mulai normal kemudian dia menceritakan apa yang terjadi.

“Kalau begitu, ayo kita ke sana” Tapa Aji segera bangkit menggendong Dimas dan memanggil istrinya.

“Jeng…jeng Kasih kemari dulu sebentar” Tapa Aji memanggil dengan lembut. Istrinya mendengar panggilan suaminya segera muncul di depan pintu rumah.

“Ada apa kakang” Istrinya tampak bingung kemudian melihat Garung sedang terengah-engah penuh keringat.

“Ada ketiwasan di dekat rumah Garung, aku harus ke sana. Jaga Dimas dulu, lakukan seperti yang biasa aku beritahukan” Tapa Aji dengan singkat menjelaskan dan menyerahkan Dimas ke dalam gendongan istrinya yang mengangguk mengerti.

Tapa Aji dan Garung segera berangkat meninggalkan Kasih berdua dengan Dimas. Sesampainya di tempat yang dimaksud Garung, orang-orang sudah berkerumun. Jalan menuju tempat kejadian menjadi agak sulit karena semua orang ingin melihat. Garung segera berteriak-teriak menyebut-nyebut nama Tapa Aji yang membuat kerumuan itu terbelah memberi jalan. Di tempat kejadian terlihat sesosok mayat lelaki yang tergeletak di pinggir rumpun pohon bambu dengan mata melotot terbelalak dan mulut seperti menganga sedang berteriak ketakutan. Matanya seperti menyiratkan ketakutan yang amat sangat.

“Siapa dia ? sepertinya bukan orang dari desa ini” Kata Tapa Aji sambil memeriksa mayat tersebut dan mencari bekas-bekas yang mungkin bisa dijadikan petunjuk.

“Bukan, setahu saya dia berasal dari desa tetangga di barat sana” Garung memberikan penjelasan.

“Dia sudah meninggal sejak semalam” Tapa Aji berbicara sendiri. Dalam pikirannya kemudian menghubungkan dengan angin kencang yang semalam berhembus tiba-tiba yang dirasakannya dengan bulu kuduk yang merinding.

“Segera angkat mayat ini, segera hubungi desa tempat orang ini berasal dan uruskan penguburannya dengan layak. Saya minta saudara-saudara mulai malam ini tidak keluar malam melebihi lewat tengah malam. Sekarang semuanya silahkan pulang ke rumah masing-masing”.

Tapa Aji segera meninggalkan tempat dengan diikuti seluruh warga yang ikut bubar. Tapa Aji segera kembali ke rumahnya dan bergegas menemui istrinya.

“Ada apa disana kakang Tapa Aji” Kasih terlihat gelisah duduk di ruang tamu.

“Tampaknya persembunyian kita telah diketahui oleh Amukhsara, kita harus segera melakukan upacara pamungkas untuk mencegah yang lebih penting jatuh ke tangan mereka. Segera siapkan semuanya jeng, akan segera memberi kabar ke Cakravartin”

Tapa Aji meminta istrinya untuk menyiapkan keperluan upacara yang diminta. Kasih segera bergerak gesit menyiapkan semuanya, Dimas ditinggalkannya duduk di dekat suaminya. Tak lama kemudian sebuah dipan yang lengkap dengan semua perlengkapan upacara telah siap.

“Kita akan melakukan upacaranya menjelang tengah malam, kita harus membuat pagar gaib berlapis untuk melindungi proses ini”

Kasih mengangguk mengerti, air matanya mengalir deras tanpa suara. Tapa Aji memeluk istrinya dengan erat. Kasih wanita yang tegar. Dia tahu apa yang harus dihadapinya. Walaupun ketika saatnya tiba, rasa sedinya tak dapat ditahannya, tetapi pikirannya tetap jernih.

Dimas memandangi kedua orang tuanya dengan hati yang harus. Dia begitu disayang oleh mereka. Dimas ingat kehangatan itu. Hatinya basah oleh cinta kedua orang tuanya.
Menjelang tengah malam Tapa Aji duduk bersila di hadapan semua perlengkapan upacaranya. Sebuah batu hitam berbentuk piramida berada di hadapan antara dirinya dan Dimas yang dia dudukan di hadapnnya. Sementara Kasih berdiri tegak di halaman rumah dengan pakaian lengkap seorang prajurit Narapati menunggu sesuatu yang akan datang malam ini.

“Sighram, muncul lah”

Tapa Aji mengucapkan mantra yang diikuti dengan kemunculan seekor harimau putih seukuran kuda besar di sebelah Tapa Aji. Harimau itu menggeram lembut ke arah Tapa Aji dan Dimas. Tapa Aji mengikatkan keranjang di atas punggung harimau itu. Kemudian meletakan Dimas yang bersinar keemasan di dalamnya. Tapa Aji kemudian berbicara dengan Sighram. Sang harimau hanya mengaum kecil tanda patuh. Kemudian pergi menghilang bersama Dimas kecil di atas punggungnya.

Seperti sebuah siraman air ditengah gurun yang panas, semua hal yang selama ini hilang kembali terang dan jelas. Dimas mengingat kembali seluruh ingatannya. Ingatan yang dikenangnya begitu perih menyakitkan. Semuanya menjadi gelap. Dan mereka kembali berada di dalam ruangan belajar. Dimas memandang bergantian kepada Raji dan Pafi. Bertanya dalam hati apakah nasib kedua orang tua mereka sama dengan yang dialami kedua orang tuanya. Tetapi Raji dan Pafi terlihat tidak mengerti apapun yang telah terjadi. Bagi mereka seolah Dimas tidak bergerakan kemanapun.

“Kau datang kepadaku diantar oleh seekor Narasimha. Harimau Putih kendaraan ayahmu. Lalu aku mengirim pasukan Narapati ke tempat ayah dan ibumu berada. Tetapi tidak ditemukan apapun disana. Kedua orang tuamu tidak ditemukan disana. Hanya satu yang aku tahu, sejak saat itu kau berada dalam bahaya. Karena Raja bangsa Amukhsara, Sanaisbin terus mencarimu. Karena kau menyimpan sesuatu yang diinginkan oleh Sanaisbin.”

“Apa yang diinginkan oleh Raja Sanaisbin dari saya ?” Dimas masih belum mengerti keterkaitannya.

“Rahasia dimana Buku Kehidupan disembunyikan. Rahasia yang hanya kau sendiri mengetahuinya. Rahasia itu diturunkan ayahmu Tapa Aji. Sekarang rahasia itu tersimpan di suatu tempat di dalam tubuhmu. Hanya kau sendiri yang bisa mengeluarkannya” Kata-kata Prabu Narayala menyengat Dimas. Dirinya menjadi pemegang rahasia dimana Buku Kehidupan berada. Buku yang begitu sangat diinginkan oleh Raja bangsa Amukhsara dan membuatnya menjadi yang paling dicari oleh mereka. Dimas Narapati paling dicari oleh bangsa Amukhsara. Sebuah kenyataan yang menakutkan. Prabu Narayala sangat tahu akibat dari kenyataan itu. Bisa saja Dimas akan ketakutan dan tidak bisa menjalani hidupnya dengan baik.

“Karena itu kau selalu dikelilingi oleh prajurit-prajurit Narapati terbaik yang melindungimu setiap saat.” Hal itu membuat Dimas cukup bisa menepis ketakutannya. Tetapi bukan itu yang menjadi pikirannya. Bagaimana dengan Raji dan Pafi. Prabu Narayala bangkit dan memegang tangan Dimas.


Ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiran Dimas tentang cerita yang disampaikan Prabu Narayala. Tetapi pertanyaan itu hilang begitu saja di ujung lidahnya. Dan akhirnya hilang saat Pafi lebih dulu bertanya.

“Bolehkah saya bertanya sesuatu bapak Narayala ?” Pafi meminta ijin.

“Tanyakanlah Pafi.” Prabu Narayala memberikan ijin. “Kami tidak mengerti tentang Amukhsara. Apakah Bapak Narayala bisa menjelaskan kepada kami tentang Amukhsara ?” Prabu Narayala tersenyum mendengar pertanyaan Pafi.

“Amukhsara adalah bangsa yang terbentuk dari pecahan Narapati yang telah menjadi sesat. Keberadaan mereka merupakan akibat dari syarat yang diminta oleh dunia tengah itu sendiri. Dunia tengah tidak akan bisa berdiri tanpa adanya kesimbangan dua pilar. Hitam dan putih, siang dan malam, baik dan jahat, benar dan salah. Amukhsara memiliki kemampuan yang sama dengan Narapati. Mereka bisa menggunakan kekuatan-kekuatan alam untuk kepentingan mereka. Tetapi kekuatan itu hanya terbatas pada Amukhsara yang berasal dari Narapati. Jumlahnya tidak banyak hanya kurang dari seratus ribu orang. Mereka adalah Narapati pertama yang harus menjadi korban perubahan itu. Seperti yang saya sudah bilang Amukhsara dipimpin oleh seorang Raja bernama Sanaisbin. Keberadaan mereka di dunia tengah sama pentingnya dengan keberadaan Narapati. Karena mereka menjadi jahat bukan karena kemauan mereka, tetapi karena mereka mengorbankan diri mereka untuk menjadi demikian. Di dalam dunia tengah tercipta dua buah buku yaitu Buku Kehidupan dan buku kematian. Kedua buku mencatat semua kejadian yang terjadi di dunia tengah. Pada mulanya kedua buku tersebut tersimpan di kuil Cakravartin di kota Sunda Buana. Kemudian tenggelam ke dasar laut bersama dengan kota Sunda Buana. Tetapi Amukhsara berniat menguasainya. Mereka menginginkan Buku Kehidupan. Karena Buku Kehidupan mencatat semua yang akan terjadi di masa depan. Bila Buku Kehidupan dibiarkan maka masa depan akan berjalan sesuai hukum alam. Tetapi hukum alam bisa diubah jika ada seseorang menuliskan masa depan yang diinginkan ke dalam Buku Kehidupan. Karena itu sangat berbahaya kalau Buku Kehidupan dikuasai oleh Amukhsara. Narapati berusaha mempertahankan Buku Kehidupan tidak jatuh ke tangan Amukhsara. Buku Kehidupan dipindahkan oleh Narapati dari kota Sunda Buana. Setiap seribu tahun buku itu dipindahkan ke tempat yang baru. Kemudian di tanam ke dalam perut gunung Krakatau. Setelah sebelumnya disimpan di dalam perut gunung Merapi. Pada saat Krakatau meletus tahun 1883 buku tersebut keluar sebelum waktunya. Kemudian terjadilah perang hebat antara Narapati dan Amukhsara di lembah Krakatau. Sejak saat itu buku itu memiliki kemauan sendiri untuk berada di mana. Amukhsara terus berusaha mengejar keberadaan Buku Kehidupan. Kehadiran Amukhsara ke dunia manusia selalu ditandai oleh sebuah bencana ataupun musibah yang besar beberapa hari sebelumnya. Serangan belalang ini merupakan tanda kehadiran mereka di tempat ini pada beberapa hari mendatang. Ini adalah tanda yang diberikan oleh alam untuk kita bersiap diri. Mereka adalah mahluk hidup. Segala yang hidup bisa mati. Menghadapi Amukhsara sama seperti menghadapi manusia biasa. Hanya saja mereka memiliki kemampuan yang sama dengan Narapati.”

Penjelasan Prabu Narayala sudah lebih dari cukup menurut Pafi. Pikirannya sekarang begitu terang. Kabut gelap mengenai Amukhsara mulai terbuka. Keyakinannya timbul. Ternyata Amukhsara bukanlah mahluk halus dan masih memiliki tubuh kasar yang bisa mati.

“Mari nak, kita akan jalan-jalan sebentar, banyak yang harus kau lihat, sudah saatnya kau tahu mengenai duniamu yang sebenarnya”

Prabu Narayala membalikan badannya berjalan ke lukisan dinding gunung bromo dan gunung semeru. Pintu gaib muncul menggantikan lukisan itu. Kerthapati membuka pintu. Sebuah cahaya temaram menyeruak dari balik pintu.

“Pintu gaib itu” Pafi berbisik pelan. Dimas dan Raji melihat pintu yang selama ini mereka selidiki.

Prabu Narayala membimbing Dimas, Pafi dan Raji masuk ke dalam pintu itu. Tanpa banyak tanya ketiganya mengikuti masuk pintu. Di balik pintu mereka menemui sebuah ruangan berdinding batu hitam yang dihiasi obor-obor di kiri kanannya.

“Mari kita keluar”.

Prabu Narayala memegang pundak Dimas dan membimbingnya menuju sebuah sebuah relung seperti gerbang yang tertutup.

“Buka…………..”

Prabu Narayala mengibaskan tangannya ke arah tembok berelung di depan mereka, tembok di depan mereka tergeser dan sinar bulan yang indah di langit yang bening masuk memenuhi ruangan. Mereka bergerak menuju pintu, tidak percaya dengan apa yang baru saja di lihatnya di luar Dimas, Pafi dan Raji berdecak kagum. Mereka berada di puncak sebuah bangunan batu berbentuk segi empat setinggi bukit dengan ribuan anak tangga menurun ke bawahnya. Terdapat empat pilar persegi yang tersusun dari potongan-potongan batu hitam dengan relief-relief menjulang tinggi di setiap sudut di dasar bangunan. Begitu megah dan menakjubkan.

“Kita berada dimana sekarang ?”.

Dimas masih ternganga keheranan, sementara Raji bergerak ke sana kemari ke pinggir balkon. Prabu Narayala tersenyum melihat ekspresi wajah Raji yang takjub. Takjubnya mereka bukan karena kehebatan pemandangan yang mereka lihat. Dunia Narapati 15.000 tahun lalu jauh lebih hebat. Yang menjadi kekaguman adalah dunia yang berjalan dengan waktu yang sejajar dengan dunia manusia dan benar-benar nyata. Mereka hanya pernah mendengar dongeng-dongeng dan cerita-cerita mahluk-mahluk gaib. Dunia di balik dunia.

“Kita sekarang berada di dunia Narapati, di atas puncak kuil agung Caturbhasa Mandala di gunung Mahameru, dan kita sedang menghadap gunung bromo di depan sana”. Prabu Narayala menujukan jarinya ke depan.

“Dunia Tengah? Apakah dunia Tengah berbeda dengan dunia manusia?”

Dimas mengawali pertanyaannya dari ribuan pertanyaan yang nantinya akan ditanyakan kepada Prabu Narayala yang sudah siap pula dengan ribuan jawaban.

“Dunia tengah berbeda dengan dunia manusia juga berbeda dengan dunia gaib. Dunia manusia menempati matra ruang pertama, Dunia tengah di matra ruang kedua dan Dunia gaib di matra ruang ketiga. Dan masih ada lima matra ruang lain dengan kehidupannya sendiri-sendiri.”

“Bajra, Nagapasa, Sangkha, Danda, Khadga, Dwaja, Cakra, dan Trisula.” Dimas teringat delapan ruang waktu yang pernah disebutkan oleh Ratu Kerajaan Selatan. Prabu Narayala tersenyum melihat Dimas mengerti maksudnya. Raji dan Pafi terbengong-bengong mendengar penuturan dari Prabu Narayala yang selalu tersenyum setiap kali menyelesaikan setiap kalimat dalam ceritanya.

“Tapi, nama-nama gunungnya sama” Kali ini Pafi bertanya dengan suara yang mulai bergairah. Ketakutan yang tadi mereka rasakan serta merta hilang digantikan rasa takjub dunia lain yang mereka lihat.

“Memang Dunia Narapati memiliki wilayah yang sama dengan nama yang sama, yang membedakan hanyalah ruang. Dalam dunia Narapati, Laut Jawa tetaplah sebuah daratan luas dengan lembah-lembah sungainya. Swarnadwipa, Jawadwipa dan Barunadwipa adalah satu daratan yang satu. Bangsa Narapati pindah ke dunia baru tepat sebelum banjir besar datang, dimana ketiga pulau besar yang sekarang di dunia manusia bernama Sumatra, Jawa dan Kalimantan masih satu daratan. Berkat kalian, banyak rakyat Narapati yang selamat dan bisa menyebrang ke dunia tengah. Dunia Narapati memiliki sejarahnya sendiri, walaupun antara dunia Manusia dan Narapati ada kesamaan wilayah, tapi setiap sejarah yang dituliskannya memiliki jalan yang berbeda”.

“Mengapa dunia tengah dengan alam Gaib tidak sama saya masih tidak mengerti ?” Raji yang sejak tadi sudah begitu bersemangat mengajukan pertanyaan. Prabu Narayala membelai kepala Raji dengan lembut.

“Tidak anakku, dunia tengah tidak sama dengan alam gaib. Dunia tengah memiliki ruangnya sendiri. Seperti kalau kau berada di dalam rumah. Tiap ruangan memiliki pintu keluar dan jendela untuk melihat. Dunia manusia, dunia tengah dan dunia gaib memiliki ruang yang saling berhimpit satu sama lain. Dan ada pintu diantara ketiga ruangan itu untuk melintas. Sebelum adanya sebuah perjanjian, melintas ruang matra yang lain sangatlah bebas. Kami sempat mengajarkan beberapa kepandaian kepada manusia yang mengalami kemunduran pada jaman itu. Sisa manusia yang selamat pada bencana 15.000 tahun lalu kehilangan ilmu pengetahuan mereka. Sehingga mereka kembali hidup di jaman batu. Kami mengajarkan mereka untuk membentuk kebudayaan dan masyarakat. Sampai terjadi undang-undang baru yang melarang semua bangsa Narapati mengajarkan apapun kepada manusia dan para Narapati dilarang melintas ke dunia manusia jika tidak diundang oleh manusia, kecuali atas perintah kerajaan, setiap gerbang menuju dunia manusia akan dijaga oleh Nandiswara. Jika hendak melintasi gerbang harus menunjukan ijin kerajaan, karena jika tidak maka para Nandiswara akan bertindak.”

Ketiganya mulai tampak mengerti sekaligus bingung, Prabu Narayala tampak mengerti dengan kebingungan mereka dan dia kembali menjelaskan. Lalu Prabu Narayala mengeluarkan siulan yang khas dari mulutnya, entah bagimana dia membuat siulannya begitu kencang menggema, Dimas terkagum-kagum dengan apa yang dilakukannya.

“Bagaimana Bapak Narayala bisa mengeluarkan suara yang begitu keras dan menggema ?” kata Dimas. Prabu Narayala tersenyum lalu dia menunjuk ke bawah.

“Kau nanti juga akan bisa melakukannya, lihat dibawah itu”.

Prabu Narayala menunjuk seekor harimau putih seukuran kuda jantan dengan pelana dipundaknya. Dimas terbelalak kaget dan merapatkan tubuhnya ke Prabu Narayala. Dari angkasa turun sepasang Garuda Kencana dan dua seorang penunggangnya.

“Dimas, ini adalah dengan harimau putih Narasimha namanya Ki Maungbajra, dan yang ini adalah Arghapati dan Wirapati beserta Garuda kencananya, namanya Pavakah dan Vihangah”.

Kelimanya menunduk dan memberikan salam, Dimas tidak mengerti kalau sujud tunduk hormat itu untuk dirinya.

“Bangkitlah semuanya !”. Prabu Narayala meminta ketiganya bangkit.

“Baiklah ! sebaiknya kita tinggalkan tempat ini, Dimas naiklah ke punggung Ki Maungbajra bersamaku! Raji kau naiklah bersama Arghapati, Pafi naiklah bersama Wirapati. Arghapati kau awasi jalan yang akan aku lalui dari udara, pastikan tidak ada yang mencurigakan, Kerthapati bawalah pesanku ini untuk penguasa pantai selatan jangan kembali sampai kau diperintahkan pergi”

Prabu Narayala menaiki punggung Narasimha dan kemudian menarik Dimas duduk di depannya. Arghapati dan Raji segera terbang bersama Pavakah, Wirapati dan Pafi juga terbang bersama Vihangah, sementara Kerthapati langsung saja menghilang seperti ditelan bumi.

Duduk di atas Ki Maungbajra harimau putih yang sangat besar adalah hal yang sangat mendebarkan sekaligus menyenangkan bagi Dimas. Dimas mencoba menyentuh bulu lembut di pundak Ki Maungbajra, seakan Ki Maungbajra mengerti elusan lembut yang dilakukan Dimas, Ki Maungbajra mengaum menggema ke seluruh penjuru hutan Mahameru. Ki Maungbajra terus berlari ke arah barat, jauh di depan sepasang Garuda Kencananya terus mengangkasa mengawasi setiap kemungkinan mencurigakan.

Di kejauhan telah tampak bangunan-bangunan batu menjulang tinggi mengelilingi sebuah piramida berbentuk segi empat. Piramida bangunan paling tinggi di antara bangunan batu lainnya. Benteng setinggi 100 meter mengelilingi kota megah itu.

“Lihat di depan sana, itu kotapraja Narapati “Medanggana Raya”.

Pilar-pilar obor dari bangunan batu mengelilingi setiap sudut kota. Medanggana Raya memang sebuah kota yang sangat besar, terlihat dari tingginya bangunan-bangunan dan luas benteng yang mengelilinginya. Relief-relief dan relung-relung berukir di setiap gerbang rumah-rumah dengan atap berbentuk limas segi empat dan kerucut-kerucut mengelilinginya. Di tengah kota terdapat Nadhisara, sebuah saluran air buatan yang besar yang membagi-bagi kota menjadi sektor-sektor. Jembatan-jembatan lengkung menghubungan setiap sisi nadisara. Patung-patung Garuda kencana berseling dengan Narasimha bertengger di setiap pilar-pilar penjaga jembatan. Pohon-pohon tumbuh teratur di setiap halaman rumah-rumah penduduk menambah keindahan pagi yang mulai menjalar di ufuk timur.

Ki Maungbajra berhenti di depan gerbang batu dengan relung besar dan terukir relief-relief huruf-huruf kuno. Prabu Narayala mengibaskan tangannya sambil mengeluarkan suara yang agak berat dan lambat

“Buka…..”

Gerbang batu itu bergeser ke kiri dan ke kanan membuka perlahan. Ki Maungbajra bergerak memasuki pintu gerbang yang terbuka, sementara Pafi dan Raji sudah menunggu bersama Arghapati dan Wirapati beserta Garuda kencananya di balik gerbang. Mereka segera bergerak menuju kuil piramida di pusat kota. Prabu Narayala turun dari punggung Ki Maungbajra dan mengangkat Dimas turun dari punggung Ki Maungbajra.

“Ki Maungbajra, kau boleh kembali ke tempat peristirahatanmu”.

Ki Maungbajra menggeram kecil kemudian berbalik meninggalkan tempat. Arghapati dan Wirapati mengelus-elus kepala kedua Garuda Kencana mereka. Kedua Garuda Kencana itu juga segera mengangkasa meninggalkan mereka.

Pagi sudah benar-benar sempurna menunjukan wajahnya walaupun matahari masih setengah hati membagi kehangatannya pada rumput-rumput yang sejak malam menggigil kedinginan. Sambutan pagi itu begitu meriah, daun-daun dengan sesaji embun dinginnya menyembul di ujung-ujungnya yang runcing, burung-burung dengan kicaunya begitu bergairah mengepakan sayap untuk pemanasan setelah semalaman meringkuk di hangatnya sarang yang bergantung di dahan yang yang daunnya sudah luruh karena meranggas. Disapu angin lembut yang membawa hangatnya mentari dedaunan kering meranggas di musim yang mulai kemarau. Kemegahan kota Medanggana Raya makin terlihat jelas, batang-batang pohon jati yang meranggas di seluruh kota membuat suasana kota begitu telihat penuh akan sejarah kejayaan.

Mereka kini berada di sebuah ruangan yang merupakan bagian dari kuil utama di tengah kota. Kuil tersebut merupakan pusat segala kegiatan intelektual masyarakat Narapati di Medanggana Raya. Gerbang berbentuk segi enam setinggi duapuluh meter berbentuk pilar yang berelung ukiran di kaki kuil menembus masuk ke dasar bangunan. Memasuki ruangan pertama persegi enam yang sangat besar dengan tinggi melebihi 2 kali pohon kelapa dengan enam pilar besar menyangga langit-langitnya. Pada tiga dinding di depan, kiri dan kanan terdapat tiga ruang berarsitektur sarang lebah. Untuk mencapainya harus melalui tangga naik yang sangat lebar yang langsung dapat terlihat saat melalui gerbang utama. Sepertinya tangga itu adalah tangga utama yang menuju ruang-ruang lain pada bagian inti dan belakang kuil. Dua tangga lain berada di bagian dinding kiri dan kanan mengarah pada ruangan-ruangan pada bagian sisi kiri dan kanan kuil.

Ruangan itu terlihat sepi, hanya kursi-kursi batu yang teratur rapi mengelilingi setiap pilar. Melihat lantai dan kursi yang begitu bersih mengkilat, jelas Dimas bisa menduga bahwa sebenarnya ruangan ini sangatlah ramai pada siang hari.

“Kuil ini disebut yang artinya pembuat kemakmuran. Dahulu kuil ini kami gunakan untuk kegiatan persembahan bagi Isvarah, Dia sang pencipta. Kemudian kami mengubahnya menjadi pusat kebudayaan dan belajar”.

“Banyak sekali istilah-istilah yang digunakan dalam bahasa sansekerta dan jawa kuno, apakah Narapati tidak mempunyai bahasa sendiri ?” tanya Dimas

“Ya…memang, kebudayaan Narapati adalah kebudayaan pertama. Beberapa bahasa kemudian berkembang menjadi sansekerta yang berkembang pesat di India. Bahasa Sunda, Jawa dan bahasa lainnya di nusantara. Narapati sempat bersentuhan dengan kebudayaan Hindu saat pemerintahan prabu Ajisaka di Jawa. Pada saat itu manusia Jawa baru memulai peradaban yang dibawa dari India, dibuatlah Undang-undang Ajisaka yang mengatur lalu lintas bangsa Narapati ke dunia manusia. Karena hal itulah akhirnya terjadi pertukaran budaya. Sampai akhirnya Undang-undang Ajisaka diganti dengan Undang-undang baru, seperti yang aku sebutkan tadi, melarang semua bangsa Narapati mengajarkan apapun kepada manusia dan para Narapati dilarang melintas ke dunia manusia jika tidak mendapatkan ijin dari kerajaan. Untuk mencegah penyebrangan yang tidak sah kemudian ditempatkan penjaga khusus di 9 pintu gerbang yang disebut para Nandiswara.”

Prabu Narayala tersenyum, sebelum pertanyaan kembali keluar dari mulut Dimas, Prabu Narayala kembali melanjutkan.

“Tentu saja kami melintas ke dunia manusia dengan ijin terlebih dahulu. Siapapun yang pernah melintas ke dunia manusia akan dapat terlihat jelas bekas-bekas di tubuhnya. Siapapun yang melintas tanpa ijin akan mendapatkan hukuman yang sangat berat” Dimas teringat pak Narso dan Mbok Sinem.

Jari telunjuk Prabu Narayala mengacung ke atas memberikan penekanan yang kuat pada kalimat terakhirnya. Tak terasa langkah mereka terus berjalan menapaki anak tangga menuju ruang pada lapisan kedua. Sesampainya pada depan ruangan, terhampar lorong persegi enam dengan kekosongan mutlak oleh kegelapan. Seakan tak dapat ditebak sampai mana ujungnya. Jari-jari Prabu Narayala menjentik membunyikan bunyi “klik” sambil mengucapkan kata “Aktu”. Dalam hitungan yang singkat seluruh lorong terang benderang oleh nyala obor di kiri dan kanan lorong. Jelas sekali sekarang semuanya terlihat. Di kiri dan kanan lorong terdapat pintu-pintu masuk persegi enam. Di setiap 2 pintu masuk diselingi oleh lorong persegi enam yang menghubungkan dengan lorong-lorong di bagian yang lain. Pada bagian ujung lorong terlihat sebuah ruangan yang sangat terang dan luas. Dimas, Pafi, Raji dan Prabu Narayala terus berjalan menuju ruangan paling ujung. Sesampainya di sana, ketiganya lagi-lagi berdecak kagum, kemegahan ruangannya yang dihiasi pancaran cahaya kuning dari obor-obor di sekelilingnya membuat ruangan ini tampak sangat indah. Enam Pilar menyangga sampai ke langit-langit ruangan. Di bagian tengah terdapat pilar bening seperti kaca yang menjulang setinggi pilar yang lain menembus langit-langit berdiameter 2 meter. Prabu Narayala membimbing Dimas mendekati pilar kaca itu. Tangannya bergerak menyentuh pilar dan mengucapkan mantra.

“Tangga udara buka….”

Sepertiga bagian dinding kaca pilar yang berbentuk lingaran itu terbuka. Prabu Narayala membimbing Dimas, Pafi dan Raji masuk ke dalam pilar dan berdiri di atas sebuah lapisan batu berbentuk lingkaran yang lebih kecil dari lingkaran pilar. Alas batu yang mengkilat hitam penuh dengan ukiran tampak jelas sudah sangat sering di pakai. Prabu Narayala mengembangkan tangannya dengan telapak berada di atas, lalu dia menggumamkan mantra sambil mengangkat sedikit tangannya.

“Naik…”

Lingkaran batu bergerak naik ke atas sampai akhirnya menghilang dibalik langit-langit ruangan. Entah berapa tinggi telah dicapai, yang pasti merasakan sensasi yang tidak nyaman di perutnya ketika dirinya terangkat dengan cepat ke atas. Tak lama kemudian mereka berhenti dan tiba di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar. Pintu pilar kaca segera terbuka setelah Prabu Narayala mengibaskan tanggannya. Kemudian mereka berjalan menuju relung yang tertutup. Seperti yang sebelumnya dilihat, Prabu Narayala mengibaskan tangannya dan mengucapkan mantra yang diikuti dengan terbukanya dinding relung. Mereka berdua bergerak menuju pintu yang telah terbuka. Di depan tampak seperti sebuah balkon dengan dinding batu setinggi pinggang orang dewasa.

Matahari begitu hangat menyambut kedatangan mereka yang sekarang berada di puncak kuil Cakravartin. Kuil yang berada berada sebelah-sebelahan dengan kawah gunung Bromo. Medanggana Raya adalah kota yang berada di dalam kaldera Bromo purba. Bentangan bangunan kota dengan lansekap berundak-undak mengikuti bentuk lereng mengelilingi kawah dan Cakravartin. Setiap teras diisi oleh bangunan-bangunan rumah penduduk yang terbuat dari batu dengan atap-atap ukiran mengerucut. Pemandangan megah kota Medanggana Raya yang dikelilingi benteng setinggi seratus meter melingkar mengelilingi kota sampai ke tebing gunung Bromo. Dari tempat itu mereka dapat melihat puncak Mahameru yang menjulang tinggi. Dua kuil yang saling berhadap-hadapan Caturbhasa Mandala di lereng utara Mahameru dan Cakravartin di dalam kawah Bromo purba. Diantara keduanya membentang hamparan pertanian.

Prabu Narayala berkata pelan dan menggiring Dimas dan kedua sahabatnya kembali ke dalam ruangan. Dimas mengikuti gerakan Prabu Narayala memasuki ruangan dan dia tidak melihat beberapa orang sudah duduk menunggu di dalam ruangan itu. Prabu Narayala mempersilahkan Dimas, Raji dan Pafi duduk di antara mereka yang semuanya serentak berdiri dan menghaturkan sembah dengan telapak tangan saling menyatu di depan dada. Sembah yang sempat dia lihat dilakukan oleh Arghapati, Wirapati dan Kerthapati kepadanya.

“Duduklah semuanya”

Prabu Narayala meminta semuanya kembali duduk di tempatnya. Dimas menatap satu persatu orang-orang yang hadir, ada enam orang termasuk dirinya. Seorang lelaki muda berpakaian hijau-hijau yang diingatnya sewaktu berada di alun-alun utara keraton saat penobatan Sultan Hamengkubuwono IX. Juga seorang perempuan sangat cantik tampak duduk bersebelahan dengannya pakaian sangat indah berwarna biru laut. Dua laki-laki yang lain telah dikenal Dimas sebelumnya di kuil Caturbhasa Mandala, Wirapati dan Arghapati.

“Aku perkenalkan, ini adalah utusan Kerajaan Laut Selatan dan Sinar Avedi Hoa-Binh” Prabu Narayala mulai mengenalkan lelaki berpakaian hijau-hijau yang sudah pernah dilihat Dimas sebelumnya.

“Selamat datang Gusti! Saya NIEPETHIN SONAR, saya biasa dipanggil NIEPETHIN. Kita sempat bertemu dua kali.” Lelaki itu memperkenalkan diri dengan tangan kanan menyilang di dada sebelah kiri sambil membungkuk rendah. Kemudian disusul perempuan cantik di sebelahnya.

“Selamat datang Gusti! Saya Cuu Long, Sinar Avedi Agung Au Co menitipkan salam.” Setelah melakukan gerakan hormat yang sama dengan Niepethin, Cuu Long kembali duduk.

“Kami semua adalah PAHOM NARENDRA – BATHARA SAPTHA PRABHU atau disebut Tujuh Pelindung. Yang bertugas melindungimu.” Prabu Narayala menatap Dimas yang masih kurang mengerti maksudnya.

“Tujuh ? lalu yang dua lagi siapa ?” kata Dimas dalam hati.

“Dua yang lain adalah Pafi dan Raji, kedua sahabatmu Dimas”

Prabu Narayala menjawab pertanyaan Dimas. Setelah melihat semua kemegahan kota Medanggana Raya. Tidak ada hal lain yang lebih mengejutkan kalau Raji dan Pafi termasuk di dalam kelompok yang bertugas melindunginya.

“Pahom Narendra bertugas melindungi rahasia dimana buku kehidupan disembunyikan. Rahasia yang sekarang berada di dalam tubuhmu.”

“Tapi saya tidak ingat sama sekali dimana rahasia itu” Dimas agak frustasi dengan kenyataan itu.

“Saat ini memang kau belum tahu, karena masih ada satu kunci yang harus ditemukan agar kau bisa mengetahuinya. Dan kunci itu hanya kau sendiri yang bisa menemukannya.” Kata-kata Prabu Narayala makin membuat Dimas bingung.

“Baiklah, saatnya kita kembali. Niepethin sampaikan salamku pada Ratu Kerajaan Selatan. Cuu Long sampaikan salamku pada Sinar Avedi Agung Au Co.” Semua yang berada di ruangan memberikan salam.

Prabu Narayala mengucapkan mantra sambil mengusap kepala Dimas, Pafi dan Raji bergantian. Seketika ketiganya merasakan kedamaian yang luar biasa menghapus semua rasa sesak di dadanya. Beban yang terasa memuncak terasa ringan terangkat keluar dari kepalanya. Matanya melihat sekeliling ruangan yang terasa makin sempit, lama kelamaan wajah-wajah para Pahom Narendra lenyap dan akhirnya gelap gulita. Saat terang muncul mereka sudah kembali berada di ruangan belajar.

“Selain itu kalian juga perlu tahu, selama kalian tinggal di asrama ini aku menempatkan penjaga yang selalu membantu dan melindungi kalian bertiga.”

Dimas sudah bisa menebak siapa penjaga yang dimaksud Prabu Narayala. Hal ini pernah dibahas bersama Raji dan Pafi. Tetapi pengungkapan ini tetap menjadi sangat penting buat mereka.Prabu Narayala melambaikan tangan kirinya kearah pintu ruang belajar. Dari luar ruangan masuk Nyai Janis, Garangjiwo dan Lakunogo. Kehadiran mereka bertiga walaupun sudah diduga sebelumnya tetap memberikan sedikit kejutan bagi Dimas, Raji dan Pafi. Kejutan bahwa akhirnya mereka semua saling membuka diri siapa sesungguhnya mereka. Raji masih agak sukar percaya Nyai Janis adalah juga seorang Narapati.

“Selamat datang Prabu Narayala!” Nyai Janis menyapa Prabu Narayala. Garangjiwo dan Lakunogo hanya memberikan hatur sembahnya. Nyai Janis kemudian menyapa Dimas, Raji dan Pafi bergantian. Suasana agak menjadi kikuk bagi Dimas.

“Kalian bertiga tentunya sudah mengenal Nyai Janis dengan baik. Nyai Janis adalah Narapati yang ditempatkan di asrama ini untuk menjaga kalian bertiga selama tinggal di asrama ini. Di dalam asrama ini hanya tinggal empat orang Narapati. Nyai Janis, Raji, Pafi dan kau sendiri nak. Dan tentunya ada dua orang lagi yang tentunya kalian bertiga sudah tahu kenal dengan sangat baik dan selalu membimbing kalian selama ini.” Dimas terkejut Prabu Narayala menyebutkan keberadaan dua orang Narapati yang lain. Dimas sudah mengerti yang dimaksud adalah Pak Narso dan Mbok Sinem. Tetapi mengapa kerajaan Narapati tidak menangkap keduanya kalau sudah mengetahui keberadaan mereka. Bukankah pak Narso bilang kalau mereka adalah buronan kerajaan Narapati. Nyai Janis mendekat berdiri di sebelah Dimas. Garangjiwo dan Lakunogo mengikutinya di belakang. Raji masih terus berusaha menyesuaikan hatinya. Menerima kenyataan kalau Nyai Janis adalah juga seorang Narapati. Sesuatu yang begitu tidak rela dia berikan. Dua orang perempuan muncul dari balik pintu. Keduanya segera menghaturkan salam sembah kepada Prabu Narayala. Prabu Narayala memperkenalkan keduanya kepada yang hadir.

“Ini Kriyandita dan Sukmaratih. Mereka akan ikut membantu mengamankan di dalam asrama.” Raji tersenyum semangat menyodorkan tangannya. Kriyandita dan Sukmaratih tersenyum geli melihat tingkah Raji. Sesaat lalu dia begitu ketakutan hingga jatuh ke lantai. Tetapi sekarang semangatnya berpijar mengalahkan matahari siang.

“Tempat ini sekarang sudah terlalu berbahaya untuk kalian bertiga. Dalam waktu dekat Amukhsara akan menemukan keberadaan kalian disini. Kalian harus dipindahkan segera. Untuk sementara tempat teraman adalah Medanggana Raya.”

“Tidak, saya akan tetap berada disini. Saya tidak mau meninggalkan teman-teman saya di asrama dalam keadaan bahaya. Mereka teman yang selama sebelas tahun tinggal dan tumbuh besar bersama saya. Saya tidak akan menghianati mereka. Saya akan tetap disini bersama mereka.” Penolakan Dimas cukup mengagetkan. Pafi dan Raji memiliki pendapat yang sama mereka berdua memilih tinggal bersama di asrama. Prabu Narayala melihat bahaya yang sangat besar kalau membiarkan Dimas tetap berada di asrama. Bahaya yang tidak Cuma mengancam dirinya, tetapi juga seluruh Narapati dan dunia tengah. Tetapi Prabu Narayala melihat kesetiaan dan sikap ksatria yang ditunjukan Dimas. Suatu sikap yang akan amat diperlukannya nanti saat memimpin dunia tengah.

BAGIAN 9 - BENCANA BESAR

Di ujung barat Jawa tahun 1940. Di tengah lautan luas, gugusan asap tebal membumbung tinggi ke udara. Krakatau meletus lagi. Letusan dahsyat berlangsung beberapa hari. Tidak sebesar letusan yang terjadi di tahun 1883, tetapi cukup membuat semua orang mengais kembali ingatan kengerian yang terjadi lebih dari setengah abad yang lalu itu. Cendawan abu mengembang hingga ribuan meter ke udara. Semua orang bertanya apakah krakatau akan menghancurkan dirinya kembali. Semua orang menanti cemas. Berharap bencana yang dulu pernah terjadi tidak terulang lagi. Cemas apakah sempat mereka menyelamatkan diri pada saatnya tiba nanti. Tapi krakatau kelihatan tidak peduli dengan semua keresahan yang disebabkannya. Dirinya sendiri juga sedang begitu gelisah dengan semua hal yang terjadi di bawah kakinya. Hal yang tidak terlihat oleh siapapun yang bernama manusia. Karena terjadi di balik lapisan tipis pandangan kasat mata.

Berita meletusnya Krakatau sampai juga ke asrama. Dimas mendengarnya dari cerita pegawai keresidenan yang sedang ngobrol di warung kopi. Cerita-cerita tentang hilangnya banyak gadis di desa-desa pantai kulon menambah aroma ketakutan. Pencarian besar-besaran terus dilakukan. Bahkan Pemerintah Hindia Belanda ikut turun tangan melakukan pencarian. Nyai Janis tiba-tiba mengumumkan lagi peraturan ketat. Anak-anak harus berangkat sekolah dengan berbaris bersama. Dikawal oleh dua orang polisi. Tidak ada yang boleh keluar dari lingkungan asrama setelah pulang sekolah. Tidak boleh keluar dari asrama setelah maghrib.

“Aturan asrama ini makin lama makin ketat. Apakah masih karena kedatangan dua mahluk itu ?” Raji merasa dirinya yang paling terpenjara saat ini. Kesenangannya memancing di sungai hanya bisa dibayangkan saja sekarang. Hari libur pun semua anak tidak boleh meninggalkan asrama.

“Bukan, bukan karena itu. Tapi karena ini. Kau sudah dengar Krakatau meletus lagi.” Dimas mengambil surat kabar lama buatan pribumi yang didapatnya dari pemberian guru di sekolah. Berita itu menjadi berita di halaman muka.

“Ya tapi kan Cuma letusan kecil. Katanya itu Cuma erupsi biasa yang menunjukan aktifitasnya yang normal.” Pafi menanggapi biasa berita itu.

“Tapi di sepanjang pantai kulon diberitakan banyak penculikan gadis-gadis. Lalu pengumuman mendadak dari Nyai Janis. Apakah kau tidak melihat kebetulan yang aneh ini ?” Dimas menunjuk sebuah berita di halaman tengah yang sangat kecil dan tidak terlalu menonjol untuk dilihat.

“Lalu apa maksudmu ?” tanya Pafi.

“Maksudnya mudah-mudahan kau tidak ikut diculik.” Jawab Raji asal.

“Kau tidak usah memberi komentar kalau tidak mengerti apa yang dibicarakan!” mata Pafi mendelik memandang Raji. Raji Cuma cengar-cengir saja.

“Karena menurut berita ini mereka hilang secara misterius.” Dimas berusaha menjelaskan maksudnya agak susah payah. Pafi tetap tidak terlalu tertarik mengurainya lebih jauh.

“Ya kita belum bisa menduganya seperti itu. Karena siapa tahu saja ada penjahat yang memperdagangkan perempuan. Kita tidak tahu. Mungkin saja gadis-gadis itu sekarang sudah berada di Sumatra. Aku yakin tindakan Nyai Janis memperketat aturan karena masih tentang kemunculan dua mahluk seram itu.” Pafi tetap tidak mau menanggapi berita itu.Situasi ini telah membuat Pafi ketakutan. Dimas membaca wajahnya yang menjengit setiap dia membahas lagi masalah itu.

“Maafkan aku Pafi, aku tidak tahu kalau….”

“Tidak apa Dimas, aku memang ketakutan. Karena aku tidak tahu yang sekarang kita hadapi. Tapi itu lebih baik buatku. Rasa takut ini membuatku lebih waspada.”

“Maafkan aku juga Pafi.” Kata Raji. “Mungkin sebaiknya kita meminta nasehat pak Narso. Kita harus mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan lain yang tidak terduga.” Pafi tidak menjawab ajakan Raji. Matanya justru beralih kepada Dimas.

“Usul Raji mungkin lebih baik saat ini. Paling tidak kita tahu apa yang kita hadapi.” Dimas menyetujui usul Raji. Pafi tetap tidak berkata juga. Dalam hatinya diapun sesungguhnya setuju dengan usulan itu. Tapi dia tetap diam saja. Ada hal lain yang masih dipikirkannya.

Pulang dari sekolah semua anak asrama diwajibkan berbaris dan dikawal oleh dua orang polisi yang disewa oleh Nyai Janis. Pakaian tidak memakai seragam selayaknya petugas. Pakaian lebih mirip prajurit kraton dari pada polisi. Dimas memandangi kedua orang itu dengan seksama. Ada yang tidak biasa dari kedua orang itu. Ada sesuatu yang dikenalnya. Dimas berbisik-bisik dengan Raji. Pafi tidak mendengar apa yang dibisikan oleh Dimas.

“Raji, kau lihat polisi itu. Dia seperti tidak asing yah. Kau ingat tidak ?”

Raji mengamati kedua orang itu. Tidak ada hal yang keluar dari kepalanya. Yang terdengar sejak tadi bunyi gas berkerubutan di perutnya. Jam wekernya sudah keras bunyinya.

“Kalian ini sedang membicarakan apa sih ?” Pafi protes tidak diikutkan dalam pembicaraan itu.

“Kedua polisi itu, Dimas bilang mereka seperti tidak asing.” Raji yang berada di sebelah Pafi menjelaskan.

“Kau sendiri menduga mereka siapa ?” tanya balik Pafi.

“Mana aku tahu, aku sendiri sejak tadi sudah mencari muka mereka di dalam kepalaku. Tapi hasilnya selalu paha ayam goreng dan sambal terasi.” Raji mengusap-usap perutnya yang sudah kelaparan. Pafi tidak bisa menahan tawanya. Walaupun sering bertengkar, lelucon Raji sering menghiburnya.

“Aku pikir mereka bukan polisi, maksudku polisi dari pemerintah. Mereka adalah orang yang diminta oleh Nyai Janis mengawasi kita semua.” Kata Dimas

“Aku masih tidak mengerti.” Raji tetap tidak bisa mencerna omongan Dimas karena perutnya belum mencerna apapun siang ini.

“Mereka adalah Narapati” Raji tersentak dengan jawaban Dimas. Tapi Pafi terlihat biasa saja dengan jawaban itu.

“Aku juga berpikir begitu tadi. Kau ingat apa yang dikatakan pak Narso tentang ciri-ciri seorang Narapati. Kau ingat dua orang yang ditemui Nyai Janis malam itu. Mereka punya kemampuan gaib. Bisa mengusir dua mahluk yang menyeramkan itu.” Kata Pafi

“Mungkin Nyai Janis juga seorang Narapati ?” Bukan kebetulan dugaan yang diberikan oleh Raji. Keanehan juga sering ditunjukan oleh Nyai Janis. Terutama saat bersama dengan tamu-tamu misteriusnya.

“Ya aku rasa dia juga seorang Narapati. Dan kedua orang itu bukanlah polisi, tetapi kedua Narapati tamu Nyai Janis.” Dimas makin yakin. Tetapi Pafi masih menyimpan pertanyaan lain yang lebih penting.

“Berarti asrama kita banyak dikelilingi oleh Narapati. Untuk apa mereka berada disini ?”

Dimas maupun Raji belum sempat menanggapi pertanyaan yang dilontarkan oleh Pafi. Tiba-tiba saja langit di sebelah barat berubah menjadi hitam. Sebuah bayangan hitam yang sangat besar bergerak dengan lambat. Gerakannya berirama seperti tertiup angin. Mereka sudah nyaris dekat dengan asrama. Kedua polisi itu menyadari sebuah bayangan di belakang mereka meminta semua anak untuk segera berlari masuk ke dalam asrama. Dimas, Raji dan Pafi ikut berlari bersama dengan anak-anak lainnya. Beberapa saat kemudian setelah mereka masuk di halaman asrama, jutaan belalang mendarat dihalaman. Beberapa anak yang belum sempat masuk ke dalam gedung asrama belingsatan menepis belalang-belalang yang mendarat di kepala mereka. Sebuah angin cukup kencang menepis belalang-belalang itu dan memberikan kesempatan anak-anak masuk. Semuanya bergegas masuk dan kemudian menutup pintu asrama. Kedua polisi itu pun sudah berada di dalam gedung. Beberapa saat kemudian belalang-belalang itu sudah menggerogoti daun-daun tanaman di seluruh halaman. Dimas berlari ke belakang halaman asrama. Dia teringat kebun pak Narso. Raji dan Pafi pun teringat hal yang sama. Dari kejauhan tanaman kebun pak Narso pelan-pelan mulai gundul. Jumlah belalang yang begitu banyak cepat sekali menghabiskan daun-daun tanaman. Anak-anak yang lain berlari ketakutan. Belalang-belalang itu menempel di seluruh gedung. Menutup jendela hingga tidak ada cahaya pun bisa masuk.

“Pertanda apa ini ?” tanya Dimas.

“Ini pertanda buruk, bencana sedang menyerang. Kita harus ke tempat pak Narso sekarang.” Pafi berlari menuju koridor pintu selatan. Teriakan Nyai Janis yang meminta semua anak untuk masuk ke bangsal masing-masing tidak digubrisnya. Dimas dan Raji hanya saling pandang. Mau tidak mau mereka harus mengikuti Pafi. Keduanya mengejar Pafi. Begitu keluar pintu, Pafi sudah melepaskan badainya membuka jalan ke rumah pak Narso. Dimas dan Raji mengikutinya dari belakang. Rumah pak Narso terlihat sudah penuh rata dengan belalang di seluruh dinding dan atapnya. Pafi berteriak memanggil pak Narso walaupun masih cukup jauh dari rumahnya. Pintu rumah pak Narso yang penuh dengan belalang terbuka dan pak Narso telah berdiri di balik pintu. Pafi bergegas masuk. Dimas dan Raji melompat menyusul.

“Maaf pak, kami datang dalam keadaan seperti ini.” Kata Dimas.

“Seharusnya anak semua tetap berada di asrama. Situasi sedang tidak baik.”

“Apa yang sedang terjadi pak ?” Pertanyaan Pafi seolah sebuah kalimat yang tidak dimengerti oleh pak Narso. Pak Narso tidak menjawab. Dia hanya diam saja. Raji kembali mengulang pertanyaan itu. “Pak Narso, apa yang sebenarnya sedang terjadi?”

Tetapi sebelum pak Narso sempat menjawab, sebuah teriakan dari luar dan gedoran pintu mengagetkan semuanya.

“Pak Narso, pak Narso ketiwasan pak. Anak-anak, tolong pak” Mbok Sinten kelihatan lelah sekali. Rambutnya kusut, dua ekor belalang masih menempel di sanggulnya yang lepas acak-acakan.

“Ada apa Mbok Sinten ?” pak Narso tampak terkejut tapi tetap tenang. Dimas sudah kelihatan khawatir dengan apa yang terjadi. Wajah Mbok Sinten mengatakan ada yang telah terjadi di asrama. Raji dan Pafi menunggu penjelasan Mbok Sinten dengan cemas. Perempuan itu mengambil nafas dalam. Tampak wajah ketakutannya masih jelas.

“Anak-anak kesurupan pak.” Pak Narso langsung bergegas meninggalkan Rumah. Mbok Sinem ikut berlari menyusul. Dimas, Raji dan Pafi makin cemas dengan situasi yang terjadi. Ratusan belalang mati terinjak saat mereka berlari secepatnya menuju asrama. Di dalam asrama sendiri beberapa anak perempuan sudah terlihat menangis ketakutan. Beberapa yang lain duduk lemas di bantu yang lebih kuat. Anak laki-laki juga mengalami nasib yang serupa. Di dalam ruang makan yang telah digeser semua mejanya ke pinggir belasan anak lelaki dan perempuan tergeletak meronta-ronta. Teriakan-teriakan tidak jelas memenuhi ruangan. Kaki dan tangan mereka di pegang sekuat tenaga oleh Pembantu-pembantu asrama bersama Nyai Janis dan dua orang polisi dibantu beberapa anak lelaki dan perempuan yang sudah besar. Pak Narso langsung membantu membantu.

“Ah pak Narso, tolong bantu mereka itu. Mereka akan mengusir semua yang merasuk ke dalam anak-anak ini.” Nyai Janis menyuruh pak Narso membantu dua orang polisi yang disewa Nyai Janis untuk menjaga anak-anak. Kedua polisi itu sesaat menatap tajam kepada pak Narso. Pak Narso menatap balik keduanya. Sesaat mereka terdiam. Tidak ada yang tahu kalau mereka sedang berbicara melalui pikiran mereka.

“Kesurupan apa mereka ?” pak Narso bertanya.

“Sepertinya mereka kesurupan lelembut dari belakang asrama ini. Mereka merasa terganggu dengan kejadian diluar dan mereka menyerbu masuk ke dalam asrama. Mereka tidak bermaksud jahat, hanya minta tempat perlindungan.”

“Kalau begitu apa yang harus kita lakukan ?”

“Tolong siapkan ruang bawah tanah, buka pintunya. Buat dua garis dengan garam dan merica antara ruangan ini hingga pintu ruangan bawah tanah itu. Ini akan memberikan jalan kepada mereka untuk tinggal ditempat yang baru.”

Pak Narso segera mengambil garam dan merica. Dimas, Raji dan Pafi membantu menumbuk merica hingga halus. Setelah itu kedua bumbu dapur itu diaduk jadi satu. Pak Narso berjalan ke pintu belakang dapur hingga keluar di halaman tengah. Sebuah pintu di luar bangunan dibuka. Pintu itu adalah jalan menuju ruang bawah tanah yang biasa digunakan untuk menyimpan bahan-bahan makanan keperluan asrama dan barang-barang yang tidak terpakai lainnya. Pak Narso dibantu Dimas menaburkan dua garis garam dan merica itu hingga masuk ke dalam ruang makan.

“Garangjiwo, sekarang perintahkan mereka semua untuk keluar dari tubuh anak-anak ini. Aku akan menarik mereka.”

“Lakunogo, aku sudah siap.” Garangjiwo mengucapkan mantra dengan halus dan lambat sekali. Suaranya seolah seperti sebuah tiupan angin. Lakunogo yang melihat Garangjiwo sudah mengucapkan mantra perintahnya segera melakukan gerakan kedua tangannya. Sebuah selubung gaib yang tidak kelihatan kecuali oleh Nyai Janis, Dimas, Raji, Pafi dan Pak Narso. Perlahan satu persatu anak-anak yang semua berteriak-teriak berubah menangis. Tangisan itu menjadi tanda lelembut yang berada ditubuhnya sudah keluar. Garangjiwo terus mengucapkan mantranya hingga semua anak yang kesurupan menangis. Garangjiwo dan Lakunogo dua polisi yang disewa oleh Nyai Janis jatuh ke lantai bersimbah keringat.

“Nyai, tebarkan campuran garam dan merica ke sekeliling asrama.” Kata Garangjiwo kepada Nyai Janis. Nyai Janis menyuruh pembantu-pembantu asrama untuk segera melakukan yang diminta Garangjiwo. Garangjiwo dan Lakunogo menatap Dimas lama sekali. Dimas tidak sadar kalau dirinya sedang diawasi oleh kedua polisi itu. Dimas, Raji dan Pafi sibuk membantu anak-anak yang telah sembuh dari kesurupan kembali ke kamar mereka. Hari itu adalah yang pertama terjadi. Serangan jutaan belalang dan kesurupan masal cukup membuat repot. Nyai Janis mengeluarkan lagi aturan baru. Sampai masa yang tidak ditentukan mereka diliburkan dari sekolah. Guru-guru didatangkan ke asrama. Beberapa ruangan diubah menjadi tempat belajar. Tidak ada satupun yang diperkenankan keluar dari pekarangan asrama.

Esok harinya belalang-belalang sudah berpindah tempat. Semua tanaman di halaman asrama gundul tidak berdaun. Kebun sayur pak Narso pun tidak ada yang tersisa. Anak-anak asrama membantu pak Narso memanen pohon-pohon sayur yang tersisa. Hanya buah cabai saja yang selamat. Tetapi daunnya habis dimakan belalang. Bongkol-bongkol jagung muda dipanen lebih awal. Dimas berusaha mencari waktu untuk berbicara dengan pak Narso. Tetapi kesibukan dan ramainya anak-anak menyulitkan Dimas.

Berita-berita dari banyak desa dilaporkan terjadi serangan hama wereng besar-besaran di persawahan penduduk. Petani banyak yang gagal panen akibat serangan itu. Petani sayur-mayur mengalami kerugian akibat habisnya tanaman mereka diserang oleh jutaan belalang. Para petani tidak sempat menyelamatkan panen mereka. Serangan begitu mendadak dan cepat sekali. Musim paceklik sudah tidak bisa dihindari lagi akan tiba. Akan banyak kelaparan melanda negeri ini.