Minggu, 09 Maret 2008

BAGIAN 5 - NYAI JANIS

Purnama berlalu, latihan-latihan yang diterima Dimas, Raji dan Pafi telah semakin menyempurnakan kemampuan mereka. Setiap waktu petualangan dan pengalaman yang menakutkan dijalani Dimas, Raji dan Pafi. Tetapi dari semua petualangan yang mereka alami bagi Dimas harus kembali berhadapan dengan Nyai Janis dengan semua pertanyaannya adalah yang paling melelahkan. Pagi-pagi setelah sarapan nasi goreng buatan mbok Sinten, Nyai Janis kembali memanggil Dimas ke ruangannya. Dengan langkah gontai dan berat seperti dibebani ribuan ton besi kakinya melangkah menuju ruangan Nyai Janis. Dalam kemalasannya menemui Nyai Janis sebenarnya ada rasa penasaran yang mencuat dipikirannya.

Ketidakmengertian Dimas akan keanehan Nyai Janis yang belum lama diperlihatkannya membuatnya berpikir penasaran. Selama ini Nyai Janis terlihat wajar dan tidak menunjukan keganjilan apapun dalam sikapnya. Tetapi semenjak mimpi-mimpinya makin sering mengunjunginya sejak sebulan terakhir, Dimas merasa ada perubahan yang sangat jelas dari sikap Nyai Janis. Bukan sikap menyebalkan yang membuatnya merasa aneh, tetapi sikap Nyai Janis yang makin ingin tahu mengenai mimpi-mimpinya. Selain itu sepertinya dia seperti bisa membaca pikiran orang-orang sebelum diungkapkan dalam kata-kata sekalipun. Sejak pemanggilan dirinya yang pertama kali sebulan yang lalu, sudah 9 kali Nyai Janis memanggil dirinya secara pribadi dan menanyakan mimpi-mimpi apa yang dilihatnya dan nyaris setengah memaksa dia meminta Dimas menceritakan semuanya dengan detil.

Hari ini adalah yang ke sepuluh Dimas dipanggil oleh Nyai Janis ke kantornya. Pertanyaannya tetap sama, dan jawaban yang diberikan juga tetap sama. Sejauh ini mimpi-mimpi yang dialami Dimas masih sama, walaupun ada yang lain, Dimas merasa tidak ingin menceritakannya karena hal itu akan membuatnya makin sering menemui orang yang sekarang paling malas ditemuinya. Lega rasanya lepas dari ruangan Nyai Janis. Lepas dari semua pertanyaan nyai Janis sekarang bagi Dimas mulai menjadi sebuah kenikmatan yang luar biasa yang setara dengan rasa lapar yang terpuaskan oleh makanan yang sangat lezat. Rasa bebas dari segala pertanyaan yang paling tidak nyaman untuk dijawabnya membuat Dimas menarik napas panjang begitu memasuki pintu bangsal. Kakinya bergegas ke ruang belajar dimana dua sahabatnya seperti biasa telah menunggu di ujung pojok ruangan.

Raji dan Pafi mengerti apa yang dirasakan Dimas, karena itu tidak ada satu orang pun yang memulai pertanyaan mengenai apa yang terjadi di ruangan Nyai Janis. Mereka membiarkan Dimas memulai pembicaraan dan tampaknya Dimas pun tidak tega melihat rasa penasaran kedua ahabatnya begitu memuncak di ujung kepala mereka.

“Pertanyaan yang sama, dan jawaban yang sama” Keluh Dimas.

“Kau tidak menceritakan mimpi aneh yang lain yang baru saja kau alami” Raji bertanya dengan suara agak mendesis. Dimas menggelengkan kepala.

“Tidak, aku tidak ingin menceritakannya, lagi pula tidak ada gunanya bukan. Selama ini Nyai Janis selalu berkilah mengenai tujuannya membantu mengurangi beban di kepalaku, tapi nyatanya perbuatannya malah justru membuat kepalaku tambah pusing.” Keluh Dimas terdengar nelangsa.

“Sudahlah, Dimas jangan ditanyai lagi, lebih baik kita kembali kembali ke bangsal. Sudah terlalu banyak kelelahan hari ini”. Kata Pafi yang terdengar dewasa dan justru aneh di mata teman-temannya yang lain. Biasanya dia yang paling bersemangat untuk bertanya-tanya tanpa peduli apakah orang yang ditanya bersedia menjawab atau tidak. Tapi akhirnya semua setuju untuk meninggalkan ruangan dan kembali ke tempat tidurnya.

Pagi sebelum fajar mengufuk di timur, hal aneh terjadi dengan tiba-tiba. Kabut yang begitu tebal menyelimuti seluruh kota Jogjakarta dengan cepat, tak jauh berbeda dengan yang terjadi di asrama. Dingin udara yang tidak biasanya terasa menusuk tulang, mengkerutkan kulit yang memaksa setiap orang untuk menambahkan kulit keduanya semakin tebal demi mendapatkan kehangatan. Untungnya hari itu hari minggu, sehingga semua penghuni asrama merasa bisa bermalas-malasan. Tapi tidak demikian yang dirasakan Dimas yang sedang duduk di atas tempat tidurnya. Ada perasaan aneh mengalir dalam hatinya yang membawanya bangkit dari tempat tidur dan melawan rasa kantuk dan dingin yang menusuk-nusuk. Dimas bergerak ke tempat tidur Raji yang masih melingkar seperti seekor kucing yang keletihan bermain.

“Ji….Ji… bangun…..” Dimas menggoyang-goyang bahu Raji yang susah sekali membuka matanya yang seakan sudah terjahit rapat dengan kelopaknya. Raji dengan malas dan memelas mencoba membuka matanya.

“Ada….apa…” Kata Raji terdengar agak berat.

“Aku merasakan ada yang aneh, ayo kita lihat keluar” Dimas menarik selimut yang menutup kaki Raji. Kontan Raji menggigil dan berusaha menarik kembali selimutnya.

“Ayo… kau akan kehilangan hal yang menarik kalau tidak ikut” Dimas mendesiskan suaranya agar tidak terdengar yang lain yang juga sedang meringkuk melawan dingin.

Dimas berusaha memotivasi Raji agar ikut dengannya. Raji serta merta bangkit dan mengikuti Dimas tanpa peduli lagi rasa dingin yang menusuk-nusuk tulang. Rasa ingin tahu dan tak ingin kehilangan hal yang menarik mendorongnya untuk melawan semua kantuknya. Mereka berdua kemudian berjalan ke bangsal perempuan dimana Pafi sudah berdiri di depan pintu.

“Dimas, kabut ini aneh sekali seperti tidak wajar, apakah kau juga merasakan ada yang aneh ?”

Pafi berbicara agak mendesis. Kepala menengok kesana kemari menyapu seluruh koridor kalau-kalau ada orang.

“Ya…aku kira akan terjadi sesuatu, ayo kita keluar” Dimas menganggukan kepalanya.

Dimas dan Raji bergerak ke arah pintu keluar dekat musholla diikuti Pafi dari belakang. Ketiganya berjalan menyusuri lorong nyaris tidak terlihat lagi karena tebalnya kabut yang rupanya sudah memasuki seluruh ruangan asrama. Jejak langkah mereka terhenti di pintu asrama yang menghadap kantor Nyai Janis seberang luar asrama.

Kesunyian begitu pekat menyelimuti seluruh asrama, semua penghuninya seperti tersirap pulas. Pandangan nyaris tak sanggup menjangkau lebih dari sepuluh meter. Dimas tetap berdiri di balik pintu kaca dan terus memandang ke arah pintu masuk kantor Nyai Janis. Tangannya memberi isyarat tangan kepada Raji dan Pafi agar berhenti. Seakan sedang menunggu sesuatu yang akan datang. Hatinya berdesir kemudian berdegup kencang ketika tiba-tiba keluar dari tebalnya kabut dua orang laki-laki tinggi, satu orang masih terlihat muda dan yang lainnya sudah terlihat berumur tua. Rambutnya yang putih tertutup sorban warna gading dengan jubah seperti pakaian dari wilayah timur tengah. Dimas terus mengikuti gerak-gerak tamu misterius yang kemudian berdiri di depan pintu kantor Nyai Janis. Tak ada gerakan ketukan atau suara ucapan salam, tapi seperti sudah ditunggu kedatangannya, pintu kantor Nyai Janis terbuka lebar diikuti masuknya kedua orang misterius tadi.

“Siapa orang itu ?” Raji menoleh kepada Dimas.

“Aku tidak tahu, tapi rasanya aku mengenal mereka dari apa yang mereka kenakan” Dimas menjawab Raji dengan tetap menatap tajam ke arah pintu kantor Nyai Janis.

“Kau pernah melihat mereka ?” Pafi menyelak di antara Dimas dan Raji. Raji yang terdorong ke samping karuan saja merasa tidak suka dan menunjukan wajah cemberutnya kepada Pafi.

“Ya, mereka seperti orang yang pernah kita lihat sewaktu pulang sekolah dan yang menyapa kita dipinggir sungai, sewaktu kita sedang makan ikan bakar”

“Ya aku ingat, mereka adalah orang yang sama dengan orang yang tadi masuk ke kantor Nyai Janis” tambah Pafi sambil tetap memperhatikan semua yang terjadi di depan kantor Nyai Janis.

“Lebih baik kita mendekati kantor Nyai Janis, untuk mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan” Pafi memberikan usul.

Sekelebat pikiran Dimas setuju seketika dan mengajaknya bergeraknya untuk mengetahui apa yang terjadi di dalam ruangan Nyai Janis. Tetapi keraguan menderanya, sebentar keraguan itu ditepisnya dan rasa ingin tahunya mengemuka di seluruh kepalanya yang diikuti gerakan tangan membuka pintu dan bergerak mengendap keluar asrama diikuti yang lainnya yang kelihatannya setuju dengan gerakan yang dilakukan Dimas. Beruntung kabut masih tebal sehingga ketiganya dapat bergerak dengan leluasa. Mereka bergerak ke belakang kantor Nyai Janis yang memiliki jendela menghadap kebun jagung pak Narso. Jendela yang sering dipandang Dimas setiap kali Nyai Janis memanggilnya. Dimas mengendap-endap seperti setengah merangkak kemudian berjongkok persis di bawah jendela. Diikuti yang lainnya yang bersusah payah setengah merangkak karena Pafi tampaknya kesulitan dengan rambutnya yang panjang yang terus menerus disibakannya menghindari tanah, tetapi perbuatannya justru membuat rambutnya menumpuk di wajah Raji yang kelabakan mengibaskannya sambil merengut. Hampir saja Raji mengeluarkan makian yang terhenti oleh telapak tangan Pafi yang menutup mulutnya. Tangan Pafi yang bekas menyentuh tanah, karuan saja membuat mulut Raji penuh dengan remah-remah tanah humus. Raji menepis tangan Pafi sambil melotot dan membersihkan mulutnya. Dimas yang melihat ulah ketiga sahabatnya hanya dapat mengulum senyum.

“Ah…jendelanya tidak terbuka” kata Dimas dalam hati

Bagaikan perjalanan terpanjang selama hidupnya, akhirnya Raji menarik nafas lega sambil menutup mulutnya bersender disebelah Dimas, diikuti Pafi. Dimas terlihat mengkerutkan dahinya, kekhawatirannya sedari tadi muncul karena dilihatnya jendela yang tertutup sehingga mereka mungkin tidak bisa mencuri dengar apa yang terjadi di dalam. Ketiganya saling berhimpitan dibawah jendela. Untungnya masih ada ventilasi udara di atas jendela yang bisa menjadi jalan keluar suara-suara di dalam ruangan cukup terdengar. Tapi aneh, tidak ada satu suara pun di dalam yang berbunyi, walaupun keempat remaja itu sudah berusaha seksama mendengarkan dengan menempelkan telinga mereka ke tembok, tetap saja tidak ada suara yang mereka dengar. Dalam kebingungan itu, tiba-tiba Dimas merasa ada sesuatu dalam kepalanya sedang bercakap-cakap, tersamar oleh banyaknya hal yang dipikirkan olehnya. Sadar akan sesuatu yang terjadi dikepalanya, Dimas menghentikan upayanya untuk mendengarkan dengan telinganya, dia mencoba memejamkan matanya dan berkonsentrasi dengan suara-suara yang sedang bercakap-cakap di kepalanya. Melihat keadaan itu Raji dan Pafi memandang heran dengan apa yang dilakukan Dimas, Pafi menarik alisnya mencoba mendapatkan jawaban dari Raji, tapi kemudian mereka tersadar dan segera tahu apa yang telah terjadi. Dimas telah mendengar semuanya melalui pikirannya. Seperti yang selama ini yang diceritakannya.

“Baiklah Nyai, saya rasa cukup sekian dulu, kami mohon pamit” Suara seorang lelaki yang terdengar begitu berat dan mantap.

“Baiklah tuan, selamat jalan” Dibalas suara seorang perempuan yang sudah dikenal dengan baik, Nyai Janis.

Sekejap kemudian semua suara lenyap dan tak ada apapun yang terdengar di dalam kepala Dimas. Bersamaan dengan itu Dimas membuka matanya dan melihat ke kiri dan kanan dimana Raji dan Pafi sedang menatapnya penuh tanya dan menunggu jawabannya. Tetapi Dimas malah bergerak kembali dengan setengah merangkak dan memberi isyarat mengajak kedua sahabatnya meninggalkan tempat itu sambil tetap mengendap-endap. Seperti mengerti isyarat Dimas, Raji dan Pafi mengikutinya dari belakang. Raji berusaha menjaga jarak dengan Pafi yang masih saja tetap sibuk dengan rambutnya. Sesampainya di dalam ruangan bangsal, semua sudah tampak tidak sabar ingin mendengar apa yang diketahui Dimas tadi.

“Apa yang kau dengar tadi, ayo ceritakan pada kami” Pafi bertanya lebih dahulu dengan agak mendesak.

Dimas agak menghela nafas, “Aku hanya mendengar bagian akhir ketika mereka mengucapkan kata perpisahan”

“Jadi mereka saling kenal ?” Pafi mencoba menyimpulkan.

“Ya, kelihatannya begitu” Dimas menjawab pendek.

“Apakah kau tidak sempat mendengar yang lain?” Raji mencoba mengajak Dimas mengingat-ingat yang lain.

“Tidak, pembicaraan sebelumnya terlalu kabur dengan isi pikiranku sendiri. Jadi aku tidak bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Sepertinya ruangan Nyai Janis telah ditutupi oleh sesuatu sehingga mengaburkan apapun yang ada di dalam.” Dimas menjawabnya dengan tetap berusaha mencoba mengingat kata-kata yang sempat didengarnya diantara banyak pikiran yang berseliweran di kepalanya saat itu. Lelah, Dimas menyenderkan badannya ke tembok dan duduk jongkok di lantai.

“Kau kenapa Dimas ?” Raji ikut berjongkok dan mencoba mendapatkan jawaban.

“Kau sakit, ayo lebih baik kita kembali ke kamar” Pafi segera membantu memapah Dimas dari sebelah kanan dan dibantu pula oleh Raji dari sebelah kiri.

Upaya Dimas berkonsentrasi mendengarkan suara melalui kemampuan pikirannya telah membuatnya terlalu lelah. Mereka bertiga akhirnya kembali ke kamarnya masing-masing. Kelelahan yang dialami Dimas memang berbeda dengan yang terjadi pada kedua sahabatnya. Apa yang dilakukannya untuk mendengarkan tadi menyita energinya. Mencoba kembali tidur, tetapi ragu karena sebentar lagi waktu subuh akan datang. Walaupun lelah, matanya tak bisa diajak untuk tidur, sementara Raji sudah kembali melingkar di kasurnya, akhirnya Dimas memutuskan untuk duduk dekat jendela memandang halaman depan yang berkabut dan sedikit demi sedikit lenyap.

Suara Azan subuh terdengar berkumandang dari Musholla. Udara tidak sedingin sebelumnya, kabut pun sudah lenyap. Di bangsal anak laki-laki dimana Dimas tidur, Nyai Janis masuk dan membangunkan seluruh isi bangsal.

“Kom…kom…wekken…. Het is zonnig, goede morgen Raji… hoe gaat het ?”

Nyai Janis yang biasa membangunkan berkata ramah kepada Raji. Raji nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya

“goede morgen nyai Janis, heel goed, dank u”

Raji yang masih sangat mengantuk karena semalam keluar bersama Dimas dan Pafi, terlihat begitu malas untuk segera bergegas membereskan tempat tidurnya. Di sebelahnya Dimas pun membereskan tempat tidurnya dengan mata yang kelihatan masih mengantuk.

“Kau tidak tidur lagi tadi ?”

Dimas diam sejenak tak menjawab pertanyaan Raji dan kemudian menjawabnya dengan gelengan kepala. Pikirannya masih agak kacau mengenai hal yang dilihatnya sebelum subuh tadi. Dahinya berkerut berusaha mengingat dan menyakinkan diri tentang apa yang sudah didengarnya.

“Eh…mmm aku tidak tidur lagi, karena aku pikir waktu subuh sudah dekat”

Dimas terdiam dan tanpa melanjutkan kata-katanya dia segera menyambar handuk yang ada di sampingnya meninggalkan Raji yang dalam kebingungan. Raji bergegas menyambar juga handuknya dan mengejar Dimas.

“Eiiiii…. Tapi apa ? kok belum selesai gitu sudah ditinggal” Wajah Raji agak merengut menunjukan cemberut kesal penasaran.

“Nanti saja ceritanya, hari ini kita akan jalan-jalan kemana ?” Dimas mengalihkan pembicaraan.

“Hari ini Nyai Janis akan mengajak kita semua main ke parang kusumo, katanya hari ini ada larung di sana.” Kata Raji.Dimas hanya menggangguk dan berjalan terus menuju kamar mandi.

Hari ini adalah hari yang selalu ditunggu-tunggu anak-anak yang tinggal di asrama. Mereka begitu tidak sabar mengunjungi tempat-tempat lain selain asrama dan sekolah. Nyai Janis akan membawa semua anak-anak asrama untuk berjalan-jalan. Dimas dan Raji sudah siap dengan semua bekalnya.

“Kau bawa uang berapa ?” kata Raji sambil menghitung-hitung uang di tangannya.

“Sepuluh goelden” Jawab Dimas sambil membetulkan tas punggungnya yang telah penuh dengan beberapa peralatan untuk perjalanan mereka.

“Wah…. Kau masih punya banyak, aku Cuma 80 sen, itu pun setelah ditambah 50 sen pemberian Nyai Janis. Aku tidak pandai menabung seperti kau” Raji agak nyengir kuda.

“Makanya, jangan jajan melulu, Tabungkan uangmu di celengan, bukannya diperut” Pafi mengomeli Raji yang hanya tersenyum getir mendengarnya.

“Ayo kita harus berangkat cepat, atau kalian ingin menunggu Nyai Janis teriak dulu !” Seru Pafi melotot dengan wajah galak sambil menggendong bekalnya.

Sebuah angkutan sudah siap di halaman asrama, sudah banyak anak-anak menaiki kendaraan pinjaman dari keresidenan. Nyai Janis cukup punya banyak kenal orang berpengaruh di pemerintahan. Perjalanan dimulai dengan melalui jalan-jalan di dalam kota Jogjakarta menuju arah kota Bantul di selatan. Perlu waktu satu setengah jam perjalanan untuk sampai ke pantai yang sering digunakan masyarakat jawa untuk kegiatan ritual.

Sepanjang perjalanan di atas truk, Dimas cenderung lebih diam dari biasanya. Pemandangan sawah disepanjang perjalanan mereka makin membantunya untuk menerawangkan lamunannya. Semua mimpi-mimpinya yang aneh dan tidak dia mengerti, bahasa yang tidak dia pahami.Sementara Raji begitu asyik duduk di samping seorang gadis kecil. Wajahnya mesam-mesem mengumbar senyum kepada gadis kecil itu. Melihat tingkah Raji, Pafi merengut keras. Pandangannya dialihkan kepada Dimas yang sedang melamun memandang persawahan yang sudah matang.

“Jepang kalah, Republik merdeka”

Tiba-tiba Dimas berbisik pelan, Pafi yang sedang asyik memandangi hamparan permadani keemasan sawah-sawah yang siap panen sempat mendengar bisikan Dimas.

“Kalimat apa yang barusan kau ucapkan, Dimas?”

Pafi mengalihkan tatapannya ke arah Dimas yang matanya terlihat kosong dan menerawang, seakan Pafi tidak tampak di hadapannya. Pafi mendorong bahunya ke belakang, Dimas tampak kaget dan memandang Pafi bingung.

“eh…ya… ada apa” Dimas terlihat sadar dan terpecah dari lamunannya.

“Aku bertanya padamu, kalimat apa yang baru saja kau ucapkan tadi” Pafi mengulang kembali pertanyaannya.

“eh… apa ya….” Dimas kelihatan bingung dan menggaruk-garuk kepalanya.

“Aku sendiri tidak tahu artinya, aku mendengarnya dari mimpi yang paling sering diucapkan, jadinya aku hafal” Dimas masih menggaruk-garuk kepalanya, rasanya seperti ribuan kutu rambut telah bersarang di ubun-ubunnya.

“Apakah kau ceritakan hal ini kepada nyai Janis?” Pafi kembali bertanya

“Tidak…tidak, tentu saja aku tidak menceritakannya, aku pikir dia juga tidak akan mengerti artinya” Jawab Dimas yang alasan sebenarnya karena dia tidak mau ditanya lebih jauh lagi oleh Nyai Janis.

“Kau sudah menanyakannya kepada pak Narso maksud dari kalimat itu kan?” Pafi memberikan saran.

“Sudah, aku malah sudah meminta pak Narso untuk mendengarkan, tapi beliau bilang dia tidak mengerti maksudnya. Tapi katanya dia tidak mengenal kata Jepang.” Dimas kemudian menjelaskan panjang lebar perihal diskusinya dengan pak Narso membahas kata asing itu.

Sepanjang perjalanan dinikmati dengan mengobrol dan tingkah polah Raji yang lucu yang kadang-kadang disahuti garang oleh Pafi. Tak terasa akhirnya mereka sampai di parang kusumo saat kerumunan besar sedang mengarak sesuatu ke arah pantai. Rupanya hari itu ada upacara larung persembahan untuk laut selatan. Semua anak-anak turun dari angkutan diiringi teriakan-teriakan Nyai Janis memberikan perintah kepada seluruh anak-anak. Dimas, Raji dan Pafi segera berlari menuju pantai yang masih lumayan jauh tanpa mempedulikan teriakan-teriakan Nyai Janis. Rasa khawatir ketinggalan acara larung lebih mendorong untuk ikut-ikutan berkerumun dengan penduduk yang sedang melakukan upacara itu.

“Upacara apa ini pak namanya” Pafi bertanya kepada seorang lelaki tua di sebelahnya yang sedang mengamati seluruh prosesi upacara. Dimas dan Raji menengok ke arah lelaki tua itu menunggu jawaban dari pertanyaan Pafi yang juga menyentil rasa ingin tahu mereka.

“Ini namanya upacara larung persembahan buat Nyai Roro Kidul” Lelaki tua itu menjawab singkat.

Semuanya manggut-manggut tetapi bagi Dimas setelah lelaki tua itu menyebut nama Nyai Roro Kidul, ada sesuatu yang berdesir di dadanya. Dalam pandangannya yang jauh ke arah sesajen yang sedang dilarung, terlihat pemuda-pemuda berbadan tegap dengan pakaian prajurit mataram berwarna hijau seperti mengawal para pelarung.

“Yang memakai pakaian hijau-hijau itu siapa pak?”

Dimas menunjuk ke arah kerumunan pelarung. Lelaki tua itu mencoba mengikuti arah telunjuk Dimas yang menuju ke arah kerumunan pelarung. Matanya menyipit mencoba meyakinkan pandangannya dan menyamakan dengan pertanyaan yang diajukan Dimas. Tapi kemudian dahinya mengkerut bingung, karena tak ada orang yang dimaksud Dimas. Tidak ada yang berbaju hijau-hijau. Hatinya sejak awal sudah menyangkal akan ada pelarung yang berani berpakaian hijau, karena warna tersebut sangat keramat dan tidak ada yang berani memakainya. Apalagi saat larung persembahan untuk Nyai Roro Kidul yang identik dengan warna hijau.

“Siapa yang anak mas maksud ? tidak mungkin di saat seperti ini ada yang berani berpakaian dengan warna hijau” Lelaki tua itu kembali menatap Dimas setelah yakin dengan jawabannya. Raji dan Pafi juga merasakan keheranan yang dirasakan oleh lelaki tua itu, tetapi mereka berdua segera mengerti dan maklum dengan apa yang sedang dilihat oleh Dimas. Belakangan mereka berdua mulai terbiasa melihat kemampuan Dimas dalam melihat yang gaib. Raji segera mencoba mengalihkan perhatian lelaki tua itu agar tidak bertambah keheranan.

“Ah….kamu selalu salah menyebutkan warna, itu warna biru bukan hijau. He..he… maafkan teman saya ini pak, kadang-kadang sering salah membedakan antara biru dan hijau”. Raji berusaha tertawa dan matanya dikedipkan ketika menatap Dimas, diikuti Pafi yang ikut-ikutan tertawa bingung. Dimas paham dengan apa yang dimaksud Raji. Daripada diperpanjang akan malah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru, habislah liburan mereka hanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

“Iya pak… saya salah lihat” Dimas nyengir masam yang diikuti dengan gerakan menarik tangan Raji.

“Terima kasih pak atas penjelasannya, kami permisi dulu” Pafi yang menyadari keadaan segera melenggang menyusul Dimas dan Raji. Ketiganya segera saja saling berbisik-bisik membahas apa yang barusan dilihat Dimas.

“Benar, aku melihat mereka berpakaian hijau-hijau dengan celana pendek selutut ditutupi kain, persis seperti seorang senopati lengkap dengan blangkonnya” Dimas menjelaskan kembali apa yang sampai sekarang masih dilihatnya.

“Apakah mungkin mereka prajurit dari Kerajaan Selatan” Pafi memandang kerumunan pelarung yang masih mendorong-dorong sesajen mereka ke laut.

“Mereka kelihatan berbeda, tidak seperti yang aku dan Raji lihat sewaktu di gua Ngejungan.” Dimas melihat memperhatikan terus orang-orang yang dilihatnya.

“Seperti apa mereka ?” Pafi bersemangat sekali mendapatkan detil penjelasan. Belum sempat Dimas menjawab pertanyaan Pafi, tiba-tiba beberapa lelaki berbaju hijau-hijau yang dilihat Dimas menoleh dan menatapnya. Kesemuanya bergerak ke arah Dimas dan teman-temannya meninggalkan kerumunan para pelarung. Hati Dimas langsung saja menclos. Raji dan Pafi melihat ekspresi Dimas yang tiba-tiba tegang menjadi cemas.

“Dimas kenapa, apa yang mereka lakukan ?”

Raji yang sedari tadi mencoba berpikir apa yang tadi dibicarakan Dimas menggoyang-goyang pundak Dimas. Raji dan Pafi sangat cemas, mereka tahu bahwa ada yang sedang dilihat Dimas dan membuatnya ketakutan. Lelaki-lelaki yang berpakaian hijau-hijau itu serempak berhenti hanya dua meter dari hadapan Dimas. Mereka semua menghaturkan sembah dengan menyatukan telapak tangan mereka di depan dada dan menundukkan kepala dengan bahu dibungkukan.

“Selamat datang di Parang Kusumo, Yang Mulia” Kata seorang dari mereka.

Dimas yang mendapatkan haturan sembah seperti itu menjadi bingung, ketakutan yang tadi dirasakannya berubah menjadi rasa heran.

“Apakah paman semua adalah prajurit dari Kerajaan Selatan ?” tanya Dimas yang terlihat seperti ngomong sendirian. Raji dan Pafi mengerti kalau di hadapan Dimas sekarang ada orang-orang yang dimaksud oleh Dimas.

“Benar Yang Mulia, kami sedang melakukan upacara penerimaan larung dari penduduk.” Jawab lelaki yang paling depan.
“Kami harus kembali kepada upacara. Mohon maaf kami harus mengundurkan diri.” Lelaki itu memberikan hatur sembah. Belum sempat menjawab haturan sembah tersebut Dimas melihat mata lelaki tersebut melihat ke arah belakangnya dan tersenyum lalu bergerak mundur. Tanpa berkata-kata lagi kesemua lelaki berpakaian hijau-hijau itu menjauh dari Dimas yang mencoba menoleh ke belakangnya mencari tahu siapa yang baru saja dilihat lelaki tersebut.

“Kenapa kau menoleh ke belakang, ada apa ?” Raji ikut menoleh ke belakang, mencari apa yang coba dilihat Dimas.

“Dimas…Dimas….apakah orang yang berbaju hijau itu masih ada ?” Pafi mengguncang-guncang bahu Dimas yang seperti sedang mengumpulkan semua nyawanya yang tercerai berai di ubun-ubunnya.

“Ah….eh.. tidak…tidak…. Mereka sudah pergi, entah kenapa mereka pergi. Aku tadi sempat melihat dari sudut matanya memandang ke arah belakangku. Itulah mengapa aku menoleh ke belakang, karena aku pikir pasti ada sesuatu yang dia lihat dan membuatnya pergi.” Dimas menunjuk-nujuk bagian belakang sembari menjelaskan kepada ketiga temannya.

“Tapi aku lihat dari tadi, tidak ada apapun di belakang kita” Pafi menolehkan kepalanya ke belakang

“Lelaki yang berpakai hijau-hijau tadi menyapaku. Mereka adalah prajurit Kerajaan Selatan. Mereka memanggilku Yang Mulia.” Dimas menjelaskan sambil memegang tengkuknya.

“Benarkah ! Tapi mengapa mereka memanggilmu Yang Mulia ?” Pafi menghentikan kalimatnya dengan telunjuk yang mengarah malas ke Dimas.

“Entahlah ! mungkin karena pertemuanku dengan Ratu Kerajaan Selatan waktu itu. Akupun tidak tahu”

“Tapi kenapa Raji tidak melihat mereka ? bukankah kau dan Raji bersama-sama ke tempat itu ?” tanya Pafi.

“Mungkin karena mereka tidak mau terlihat selain Dimas, seperti orang-orang yang di gerbang sekolah itu.” Raji mengatakannya dengan tengkuk merinding. Kemungkinan yang sekarang ditemui Dimas adalah mahluk halus, pikirannya mengembara membayangkan wujud seram mahluk-mahluk gaib.

“Lebih baik kita mengikuti rombongan larung itu lagi, kita bahas hal ini di asrama saja” Dimas mengalihkan perhatian kedua sahabatnya untuk segera bersenang-senang. Pembahasan mereka akan yang baru saja terjadi akan menghabiskan waktu liburan mereka yang sudah sangat sempit karena habis waktu di jalan. Pukul tiga sore memutuskan meminta semua anak-anak untuk kembali, setelah berleha-leha di warung pinggir pantai yang menyediakan jajanan dan minuman. Sebelum magrib akhirnya mereka tiba kembali di asrama.

Bulan tidak tampak malam ini, Dimas sedang asyik duduk di beranda asrama memandang halaman yang lumayan terang oleh jejeran lampu minyak yang sengaja ditempatkan di tengah halaman yang disanggah oleh sebatang bambu. Pikiran terus melayang berputar-putar menarik-narik kejadian demi kejadian yang dialaminya belakangan ini. Pertemuannya dengan orang-orang misterius dan keanehan yang ditunjukan oleh Nyai Janis membuat hatinya penasaran. Dari arah pintu Raji datang menghampiri sambil membawa dua gelas wedang jahe dan pisang rebus dari kebun pak Narso.

“Ini, aku bawakan makanan, tadi aku ke dapur merayu mbok Sinem mengeluarkan harta karunnya, dan yang aku dapat ya ini….pisang rebus”

Raji menyodorkan sepiring pisang rebus dan meletakannya di atas meja bersamaan dengan dua wedang jahenya. Raji mengambil gelasnya dan menyeruput air jahe yang sudah hangat-hangat kuku. Nikmat rasa wedang itu tergambar jelas dari ekspresi Raji yang matanya terpejam merasakan aliran air jahe hangat melalui kerongkongannya. Seketika rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhnya mendorong udara dingin yang sedari tadi berusaha mendesak masuk ke pori-porinya.

Melihat ekspresi kenikmatan Raji yang seperti setengah terbang, Dimas juga segera menyambar gelasnya dan meminum wedang jahenya. Dia mengerti kenapa Raji sampai seperti itu, karena wedang buatan Mbok Sinem memang luar biasa enak. Aroma serai, kayu manis dan sedikit cengkeh membuat wedang itu betul-betul minuman ajaib pengusir dingin. Selesai dengan wedangnya Raji menatap Dimas, tatapannya seperti kosong sedang menerawang ke arah yang lain. Tiba-tiba…

“Aku pikir, Nyai Janis….menyimpan suatu rahasia yang sangat besar” Dimas dengan mata masih menerawang ke langit berbicara kepada Raji yang sudah kembali asyik dengan pisang rebusnya yang kedua.

“mmm….mmm… fyaa… memang kelihatannya demikian” Raji menimpali dengan mulut penuh mengunyah pisang rebus.

“Dan aku yakin itu ada hubungannya dengan mimpi-mimpiku, karena dia begitu ingin tahu apa saja yang terjadi di dalam mimpi-mimpiku itu”

Suara Dimas mulai terdengar bersemangat, matanya tidak lagi kosong menerawang ke langit. Bersamaan dengan itu dari arah dalam pintu sesosok bayangan muncul dengan kain menutupi kepalanya. Raji yang melihat arah kedatangannya tercekat dan memuncratkan semua pisang rebus yang dikunyahnya dan melongo ketakutan. Dimas yang belum sempat menyadari kehadiran bayangan itu segera mendengar suara yang sudah dikenalnya.

“Aku sudah menduga, pasti kalian belum tidur dan berada di sini. Sedari tadi aku gelisah sekali tidak bisa tidur” Pafi muncul dari belakang dan membuka kain yang menutupi kepalanya.

“Raji kau kenapa ?” Dimas keheranan melihat mulut Raji yang berantakan penuh dengan kunyahan pisang rebusnya.

“Tidak, tidak apa-apa… aku hanya tersedak tadi” Jawab Raji menutupi kekagetannya tadi.

“Kau pikir aku hantu ya…. He..he.. makanya jangan selalu berpikir hantu” Kata Pafi meledek. Raji cemberut marah menatap Pafi yang masih tersenyum sinis menatapnya dari ujung matanya.

“Aku sedang berpikir mengenai kejadian-kejadian aneh yang selama ini kita alami” Dimas segera melerai kedua sahabatnya yang sudah memulai bibit pertengkaran. Belum sempat Dimas melanjutkan kata-katanya, dengan tiba-tiba kabut menebal ke seluruh halaman sampai masuk ke dalam bangunan asrama. Suhu udara turun dengan sangat drastis hingga ketiganya langsung menggigil menahan rasa dingin yang menusuk tulang. Wedang yang mereka minum tak terasa lagi pengaruhnya. Dimas, Raji dan Pafi saling pandang. Mereka teringat fenomena yang sama pernah terjadi beberapa waktu yang lalu. Tanpa banyak berkata-kata mereka tampak sudah saling mengerti untuk bergerak menuju kantor Nyai Janis.

“Ssssst… jangan berisik….jalan pelan-pelan” kata Dimas setengah berbisik kepada Raji dan Pafi.

Mereka bertiga mengendap-endap dipinggir bangsal kemudian berhenti tepat di dekat pintu bangsal yang bisa memandang langsung ke arah pintu kantor Nyai Janis. Dimas bergerak merayap menuju bawah jendela diikuti Pafi dan Raji. Ketiganya menyender di dinding persis di bawah jendela yang terbuka. Kali ini mereka bertiga dapat mendengar suara dari dalam. Dimas menutupkan jari telunjuknya di depan bibirnya sebagai isyarat untuk tidak bersuara kepada kedua temannya. Raji dan Pafi mengangguk mengerti. Mereka memandang ke arah kebun jagung Pak Narso sambil terus berkonsentrasi mendengarkan suara-suara dari dalam kantor nyai Janis.

Tiba-tiba Raji melotot dengan mulut menganga dan suara yang tertahan di leher sambil menunjuk ke arah kebun jagung pak Narso. Pafi dan Dimas mengikuti arah yang ditunjuk Raji. Keduanya berteriak histeris, dua sosok tinggi hitam dengan bulu di seluruh tubuhnya, rambut panjang acak-acakan dengan sorot mata merah menyala di hiasi 4 taring yang keluar dari sisi bibirnya. Kedua mahluk itu bergerak ke arah ketiganya. Tetapi tiba-tiba terdengar suara yang diiringi kilat merah menerjang kedua mahluk itu.

“VADHARNAHA”

Kedua mahluk itu terjengkang beberapa meter ke belakang sehingga merusak kebun jagung pak Narso. Keduanya bangkit dan bergerak kembali ke arah Dimas, Raji dan Pafi yang sudah saling berangkulan ketakutan.

“PHOBOSERRAHA”

Sebuah suara kembali terdengar dari dalam kantor Nyai Janis diikut dengan 2 larik sinar kuning terang menghantam kedua mahluk itu dan kali ini keduanya tidak terjengkang tetapi langsung terbakar. Kedua mahluk itu menjerit-jerit kesakitan dan kemudian hilang.

Dimas, Raji dan Pafi langsung melarikan diri dari tempat itu tanpa menoleh lagi ke belakang.

“Kau lihat tadi mahluk yang menyerang kita, hah…hah…hah.” Kata Pafi

“Mataku tak berhenti melihatnya, hiiyyyy…….” Kata Raji yang masih terlihat terkejut.

“Aku tidak terlalu memperhatikan dua larik sinar merah dan kuning yang menerjang mahluk itu.” Kata Dimas

“Kenapa kau tadi tidak menyerang saja mahluk itu.” Kata Raji.

“Memang kau pikir tadi kau bisa apa saat melihat mahluk itu.” Pafi menggerutu dengan mata melotot.

“Sudah, kita memang belum siap menghadapi mahluk seperti itu karena kita memang tidak dipersiapkan untuk menghadapi yang sejenis itu.” Kata Dimas menenangkan kedua sahabatnya.

“Yang sekarang harus kita pikirkan adalah bagaimana menghadapi besok, karena pasti Nyai Janis akan memanggil kita besok.” Kata-kata Dimas membuat Raji dan Pafi langsung terdiam. Dimas kemudian mengajak kedua sahabatnya untuk kembali ke bangsal tidur dan tanpa banyak kata-kata mereka semua kembali ke bangsal asrama.

Makan pagi sebelum berangkat sekolah, seperti biasa Pafi sudah berada di ruang makan duduk sendirian sebelum akhirnya Dimas dan Raji menyusul beberapa saat kemudian. Setelah mengambil sarapan pagi yang sudah disiapkan secara perasmanan oleh para pembantu asrama. Dimas dan Raji segera melangkah bergabung dengan Pafi yang sedang asyik menikmati sarapannya. Tak biasanya pagi ini mereka bertiga tidak saling bicara, dalam menikmati sarapan mereka sesekali saling melirik seperti menunggu ada yang memulai bicara lebih dulu.

“aaku…” “kemarin…..” “kenapa…” Pafi, Dimas, Raji secara bersamaan mencoba memulai pembicaraan, sesaat ketiganya diam.

“Kau dulu” kata Pafi. “Tidak kau duluan saja” Kata Raji. “Aku duluan, nanti tidak ada yang mulai” Kata Dimas. “Tidak, aku duluan” kata Pafi menyela. “Baiklah…kau duluan” kata Dimas dan Raji bersamaan.

“Aaku ….. “ Pafi agak ragu meneruskannya.“Aku bingung”

Pafi meneruskan tetapi pada kata terakhir suaranya seperti ban yang sedang kempis, mengecil dan menghilang. Dimas dan Raji mengkerutkan alisnya tak mendengar kata terakhir yang diucapkan Pafi.

“Kau kenapa…tadi” Raji meminta Pafi mengulanginya lagi. Pafi langsung cemberut dengan mulut terkatup.

“Aku bingung dengan kejadian semalam” kata Pafi agak ketus.
“Aku juga tidak mengerti, bagaimana kita sudah tidur di tempat tidur kita masing-masing” Kata Raji.

Pafi mendenguskan hidung dalam kebingungannya. Tetapi belum sempat mereka bertiga membahasnya tiba-tiba datang pak Narso menghampiri.

“Kalian ditunggu Nyai Janis setelah sarapan selesai” kata pak Narso tanpa banyak berkata lagi kembali pergi meninggalkan Dimas, Raji dan Pafi dalam keadaan saling melongo dan memandang dengan penuh tanda tanya.

“Sepertinya kita akan kena hukuman kali ini” .Kata Pafi pelan sambil menengok ke sekeliling ruangan makan yang telah memandangi mereka bertiga.

Selesai sarapan pagi Dimas, Raji dan Pafi segera beranjak menghadap ke ruangan Nyai Janis dengan membawa serta tas sekolah mereka. Sesampainya di dalam ruangan kantor, Nyai Janis telah menunggu duduk manis di belakang mejanya.

“Duduklah kalian” Nyai Janis mempersilahkan ketiganya yang sebelumnya saling memandang akhirnya duduk di depan meja.

“Well, langsung kepada pokok masalah. Semalam bukanlah tindakan yang bertanggung jawab. Andaikan tamu-tamu saya tidak bertindak cepat, kalian pasti sudah jadi santapan mahluk-mahluk itu” Nyai Janis berdiri dari kursinya dan menyilangkan tangannya di depan dada. Dimas, Raji dan Pafi hanya tertunduk diam. “Siapakah tamu-tamu nyai Janis” kata Dimas dalam hati tapi urung ditanyakan karena khawatir nyai Janis bertambah marah.

“Sebagai hukumannya, sejak hari ini kalian tidak lagi saya ijinkan keluar asrama pada hari libur kecuali pada hari sekolah, harus sudah kembali pulang dari sekolah sebelum jam 5 sore dan seluruh asrama tidak boleh keluar dari bangunan asrama jika jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Pak Narso akan menjadi pengawas kalian selesai dari sekolah. Mengerti !” Nyai Janis menatap ketiganya. Dimas, Raji dan Pafi terperanjat kaget mendengar keputusan itu, tetapi urung menyampaikan protesnya dan menarik nafas lesu dan tertunduk.

“Saya harap kalian berjanji tidak menceritakan kejadian semalam kepada siapapun. Baiklah, saya kira kalian cukup mengerti hal ini untuk keselamatan kalian juga. Nah sekarang berangkatlah ke sekolah”
Dimas, Raji dan Pafi dengan langkah lesu meninggalkan kantor Nyai Janis. Beban tas mereka hari ini rasanya seperti sekarung beras yang sangat berat.
Saat mereka keluar dari halaman asrama, terlihat pak Narso dan para pembantu asrama sedang menaburkan sesuatu ke sekeliling pagar asrama. Bubuk berwarna putih dan hitam.

“Paling tidak kita masih boleh bertemu pak Narso, jadi latihan-latihan kita bisa tetap dilakukan dengan pak Narso.” Raji masih terlihat optimis diantara ketiganya. “Hei lihat Apa yang sedang mereka taburkan ?” Raji melihat pak Narso dan pembantu lainnya sedang menebarkan bubuk ke sekeliling Asrama.

“Sepertinya garam dan merica” Kata Pafi pelan. Suaranya masih terdengar melas setelah mendengar hukuman yang mereka terima.

“Dari mana kau bisa menduga itu garam dan merica” Raji kembali bertanya, sedangkan Dimas tetap diam mengamati. Hatinya sedang malas untuk berbicara memikirkan hukuman yang bakal memangkas semua kegiatannya.

“Mbok Sinem pernah bilang kepadaku, kalau kedua bumbu dapur ini berguna untuk menjadi pagar gaib dari serangan mahluk halus, seperti yang kita lihat tadi malam. Dan sepertinya hal ini akibat yang terjadi semalam” Sambung Pafi. Ketiganya akhirnya keluar dari pagar asrama dan berangkat menuju sekolah dan sepakat untuk menyimpan semua kejadian semalam menjadi rahasia mereka bertiga. Walaupun rasa penasaran tentang tamu-tamu Nyai Janis tetap menggunung di dada mereka dan menimbulkan pertanyaan baru mengenai siapa sebenarnya Nyai Janis.

Tidak ada komentar: