Minggu, 23 Maret 2008

BAGIAN 14 - PEMBAWA BUKU KEHIDUPAN

Pak Narso telah dimakamkan di dekat rumahnya. Dimas masih saja memandangi tanah merah yang penuh dengan taburan bunga. Raji dan Pafi setia mendampinginya.

“Aku ingin sendirian dulu” Dimas meminta waktunya. Raji dan Pafi mengerti. Keduanya meninggalkan Dimas sendirian di depan makam pak Narso. Hati Dimas masih terasa sakit sekali. Air matanya mengalir pelan. Tangannya segera mengusapnya.

“Saya akan selalu ingat nasehat-nasehat kakek.” Dimas menjejakan kaki kanannya tiga kali. Batu-batu hitam muncul dari dalam tanah menutupi makam pak Narso kemudian saling merekat menjadi sebuah makam batu. Dimas meninggalkan makam itu.

Di dalam asrama Raji dan Pafi sedang duduk bertiga bersama Prabu Narayala di ruang belajar. Pembicaraan mereka bertiga berhenti saat Dimas menghampiri mereka bertiga. Dimas mengambil duduk di depan Prabu Narayala.

“Maafkan saya, telah meninggalkan Bapak Narayala” Mendengar kalimat Dimas Raja Narapati itu menghela nafasnya. Tangannya mengusap pipi kanan Dimas.

“Kau bereaksi seperti manusia lainnya. Aku menganggap kau memang memerlukan waktumu sendirian. Sekarang yang terpenting adalah kau harus melanjutkan hidupmu sendiri. Kematian kakekmu bukanlah hal yang sia-sia. Dia telah meninggalkan begitu banyak kebaikan. Dan kau adalah bukti paling kuat dari warisannya.” Dimas hanya menunduk. Ada perasaan malu teringat dirinya yang begitu emosional. Tapi umurnya baru empatbelas tahun. Reaksi apa yang diharapkan dari anak seumur itu selain emosi yang meluap.

“Sekarang ada sesuatu yang ingin aku bicarakan kepadamu, Dimas. bagaimana dengan perasaanmu hari ini” Prabu Narayala mencari situasi yang tepat untuk berbicara dengan Dimas. Sepertinya Prabu Narayala tahu kalau hatinya begitu terguncang dan sedih dengan semua kenyataan baru yang begitu beruntun ditemuinya.

“Saya baik-baik saja Bapak Narayala!” Dimas mengusap air matanya yang masih basah di pipinya. Pafi dan Raji memandang Prabu Narayala. Matanya mencari isyarat apakah mereka diminta meninggalkan ruangan. Ternyata Prabu Narayala malah meminta mereka tetap duduk.

“Baguslah kalau begitu. Aku ingin bertanya kepadamu, Apakah kau ingat dimana Buku Kehidupan disembunyikan ?” Prabu Narayala Dimas diam. Kepalanya refleks menggeleng. Prabu Narayala tersenyum. Dia sudah tahu Dimas akan menjawab tidak tahu.

“Baiklah, terima kasih untuk kejujuranmu. Aku ingin menyampaikan sesuatu yang harus kau tahu.” Prabu Narayala memandang Dimas lekat. Dimas telah siap menerima berita apapun setelah berita pahit tentang kedua orang tuanya kemarin.

“Buku Kehidupan yang selama ini disembunyikan adalah kau nak. Kau lah buku kehidupan itu. Buku kehidupan yang selama ini dicari oleh Amukhsara.” Dimas tersentak kaget. Matanya menatap Prabu Narayala. Dia berusaha mencari kebohongan dalam matanya. Tetapi tidak ditemukan apa yang dicarinya. Prabu Narayala berkata jujur. Cincin kebenaran di tangannya bersinar merah, artinya benar.

“Aku menyampaikan hal ini karena aku tidak mau kau merasa bahwa apa yang terjadi hari ini telah benar-benar berakhir. Hari ini hanyalah sebuah permulaan untuk akhir yang sangat besar. Karena itu aku memintamu bersama Raji dan Pafu ikut pindah ke dunia tengah. Dunia manusia sudah tidak aman lagi untuk kalian bertiga.” Prabu Narayala berhenti memegang pundak Dimas dengan kedua tangannya.

“Buku Kehidupan dulunya tersimpan di dalam tubuh ayahmu Tapa Aji. Sebelum pertempurannya dengan Raja Sanaisbin dia berhasil memindahkannya ke dalam tubuhmu dengan sebuah upacara rumit. Ketika kau datang bersama Narasimha Sighram ke Cakravartin, tubuhmu dalam keadaan bersinar sangat terang. Kehadiranmu di Cakravartin sudah diketahui oleh Amukhsara. Mereka mengejarmu sejak saat itu. Aku berpikir tidak aman bagimu berada di Cakravartin. Karena itu setelah mendapatkan pertimbangan kau diputuskan untuk disembunyikan di dunia manusia. Nyai Janis seperti yang kalian kenal adalah bangsa Minoan. Bangsanya juga pindah ke dunia tengah setelah gunung Santorini menghancurkan negerinya. Nyai Janis di negerinya adalah seorang pengelola panti asuhan bagi anak-anak yatim piatu. Aku memintanya untuk pindah ke Jogjakarta dan menjagamu. Kemudian kami mencarikan kau teman untukmu berada di dunia manusia agar kau menjalaninya tidak kesepian. Kemudian dia membawa Raji dan Pafi yang sebaya denganmu dari panti asuhannya di Minoan untuk menemanimu disini. Sejak saat itulah kalian bertiga bersahabat. Dan perkiraanku tidak salah. Kalian menjadi sahabat dekat. Bukan hanya karena persamaan kalian yang yatim piatu, karena hati kalian sudah menjadi satu saat kalian dipertemukan pertama kali saat usia kalian masih dua tahun. Raji dan Pafi langsung memelukmu saat itu, seperti sebuah pelukan pertemuan antara tiga saudara.”

Dimas berusaha membendung air matanya sekuat tenaga. Prabu Narayala berhenti sejenak memberikan waktu untuknya meluapkan perasaan.

“Sejak saat itu Amukhsara kehilangan jejakmu. Untuk sementara kau aman bersama Raji dan Pafi di asrama. Nyai Janis berusaha sekuat tenaga memenuhi semua kebutuhan kalian bertiga dan memastikan kalian bertiga terus bersama. Semuanya aman sampai umur kalian beranjak tigabelas tahun. Tahun awal pendewasaan seorang Narapati yang ditandai dengan perubahan-perubahan mendasar pada tujuh cakranya. Proses ini membuka tujuh cakra kalian secara liar dan tidak terkendali. Perubahan itu juga yang membawa kalian kepada pak Narso yang juga seorang Narapati dan membantu kalian bertiga mengendalikannya. Narapati sudah tahu pak Narso tinggal tidak jauh dari asrama sejak asrama ini dibangun. Perubahan pendewasaan Narapati biasanya mengundang perhatian. Banyak mahluk gaib biasanya tertarik dengan lonjakan energy yang kalian timbulkan, termasuk Amukhsara. Tetapi bukan itu yang mengundang Amukhsara menuju tempat ini. Perjalanan kalian ke negeri Narapati 15.000 tahun lalu yang telah mengundang Amukhsara. Lonjakan energy akibat pembukaan gerbang waktu mengguncang dunia tengah seperti sebuah gempa yang sangat hebat. Amukhsara kemudian melacak sumber guncangan dan menemukan asrama ini. Kedatangan dua gendrawa waktu itu tidak lagi bisa dihindari. Gendrawa adalah sekutu Amukhsara. Mereka kemudian melaporkan keberadaanmu di asrama ini. Kemudian seluruh asrama dalam ancaman Amukhsara. Aku bangga sekali kau putuskan tidak mau meninggalkan asrama demi keselamatanmu sendiri. Persahabatan kalian telah membangun pribadi yang kesatria dalam diri kalian. Tapi untuk kali ini ikutlah ke Medanggan Raya. Semakin lama kau berada di tempat ini, semakin banyak bahaya yang datang. Yang bukan hanya mengancammu tetapi juga teman-temanmu yang lain. Mereka bangsa manusia, tidak memiliki kemampuan melindungi diri seperti bangsa Narapati.”

“Apakah saya bisa mengajak nenek saya ?”

“Lebih baik sekarang kau tanyakan dulu kepadanya.” Dimas mengangguk. Kemudian Dimas berjalan menuju ruangan makan dimana mbok Sinem sedang duduk ldi atas kursi. Tidak ada kata-kata lain yang terucap. Dimas langsung memeluknya. Mbok Sinem menciumi Dimas dengan penuh kasih. Seakan kangennya tumpah ruah di antara mereka.

“Saya akan dipindahkan ke dunia tengah. Nenek ikut dengan saya.” Mbok Sinem hanya mengusap kepala Dimas.

“Dunia tengah adalah tempatmu nak. Kau punya tanggung jawab yang sangat besar disana. Tetapi nenek tidak bisa ikut denganmu ke dunia tengah. Kakekmu sejak dulu mempunyai cita-cita ingin hidup menjadi manusia biasa. Karena itu kami lari dari dunia tengah. Nenek mengikutinya karena nenek sangat mencintainya. Cintanya pada dunia manusia begitu besar. Karens itu nenek akan melanjutkan cita-citanya itu. Anak-anak asrama ini sangat membutuhkan nenek disini.” Hati Dimas miris mendengar jawaban Mbok Sinem. Pertemuannya yang baru saja harus diakhiri dengan perpisahan lagi. Dimas hanya menangis di pangkuan Mbok Sinem. Mbok Sinem mengerti betul perasaan Dimas.

“Sering-seringlah jenguk nenek disini. Jagung rebus dan wedang jahe paling lezat akan selalu dibuatkan untuk kalian bertiga.” Dimas memeluk Mbok Sinem sekali lagi. Mbok Sinem bangun dari kursinya kemudian berjalan ke ruang tengah. Prabu Narayala sudah berdiri menunggu disana. Raji dan Pafi langsung memeluknya saat keluar dari pintu ruangan makan. Kemudian mereka bersama-sama berjalan menuju ruang belajar yang sudah dirapikan oleh prajurit-prajurit Narapati. Di dalam ruang belajar Nyai Janis sudah menunggu. Dimas berlari memeluk perempuan bule itu. Nyai Janis memeluk Dimas erat. Pelukan yang sejak dulu ingin dilakukannya. Raji dan Pafi berlari menyusul memeluk Nyai Janis.

“Maafkan kami yang selalu menyusahkan Nyai Janis.” Dimas melepaskan pelukannya.

“Well, kamu anak pintar Dimas. Kamu tidak pernah menyusahkan saya. Kamu juga Raji, Pafi. Tetaplah bersahabat. Karena itu yang menjadi kekuatan kalian bertiga.” Raji dan Pafi mengangguk.

“Sampaikan salam kami pada teman-teman” Dimas meraih tangan Prabu Narayala yang sudah menjulur kepadanya. Raji dan Pafi berjalan menuju pintu gerbang yang telah dibuka lebar. Di depan pintu yang sudah terbuka telah menunggu seekor Narasimha dan dua ekor Garuda kencana bersama Arghapati. Mata Pafi dan Raji menatap tidak percaya menyaksikan seluruhnya dengan mata sendiri apa yang diceritakan Dimas mengenai Dunia Narapati dan mahluk-mahluk gaibnya. Pintu gerbang tertutup. Perjalanan selanjutnya adalah dunia tengah. Dunia yang belum pernah dikenalnya.

“Raji, ikutlah Arghapati bersama Garuda kencananya, Pafi ikutlah naik Garuda bersama Kerthapati, dan kau anakku ikutlah bersamaku” Prabu Narayala menempatkan masing-masing menjadi dua orang dalam setiap kendaraan hewannya.

Raji dengan bersemangat menaiki Garuda kencana bersama Arghapati yang menyambutnya dengan senyum. Pafi yang agak ragu-ragu duduk di atas punggung Garuda yang memekik rendah ketika dirinya duduk di atas punggungnya. Kerthapati tersenyum melihat Pafi yang tersentak mendengar pekikan sang Garuda.

“Dia bilang senang bertemu kembali denganmu nona” Kerthapati menjelaskan arti pekikan sang Garuda. Pafi tersenyum kecut tidak mengerti maksud dari Kerthapati.

Setelah semuanya naik, Garuda kencana yang ditunggangi Raji dan Pafi segera mengepakan sayapnya mengangkasa, sedangkan para Narasimha berlari menuruni tangga kuil yang sangat panjang kemudian bergerak ke utara ke arah lereng gunung bromo dimana kemegahan Medanggana Raya berdiri tegak. Petualangan baru saja dimulai, kini Dimas, Pafi dan Raji harus menghadapi dunia baru yang sama sekali belum mereka kenal. Dunia yang memberikan mereka tempat dan kedudukan yang tinggi tetapi juga berbahaya.





Bersambung…….
Buku 3 Bintang Satuasra
Buku 4 Angkorwat
Buku 5 Sang Narayana
Buku 6 Pertempuran Dua Kuil
Buku 7 Kakawin Pralaya

Tidak ada komentar: