Senin, 03 Maret 2008

BAGIAN 3 - ORANG MISTERIUS

Suasana ruang belajar cukup sibuk dengan banyak anak-anak asrama yang sedang serius mengerjakan pekerjaan rumah mereka. Dimas termasuk salah satu di antaranya. Dari arah pintu ruang belajar yang selalu tertutup datang orang yang tidak asing bagi Dimas yang langsung menghampiri. Raji baru saja masuk ke ruang belajar menghampiri Dimas yang sedang duduk mengerjakan tugas-tugasnya.

“Dimas, kamu dipanggil Nyai Janis, disuruh menghadap ke kantornya” kata Raji berbisik di sebelah Dimas. Dimas mengkerutkan dahinya, tidak pernah ada anak-anak asrama yang dipanggil secara khusus ke kantor nyai Janis, kecuali akan dihukum. Pikirannya terus berusaha mengingat kesalahan apa yang dibuatnya.

“Ada apa dia memanggilku ? aku salah apa ya….” Dimas bertanya kepada Raji.

“Entahlah, tadi dia hanya berpesan seperti itu” Raji hanya mengangkat bahunya.

“Apakah kau tadi dipanggil juga ?” tanya Dimas. Raji menggeleng. “Aku kebetulan berpapasan dengannya tadi. Dan dia berpesan agar aku mencarimu”

“Mungkin dia mengetahui kalau kita keluar malam. Atau Aryo mengadukan hal ini padanya” Dimas setengah berbisik kepada Raji.

“Rasanya tidak, kalau dia tahu tentu aku sudah dipanggil juga saat ini bersamamu” tegas Raji. Dimas menganggukan kepala setuju.

Dimas masih terus bingung saat dia berjalan meninggalkan Raji di ruang belajar dan terus pergi menyusuri lorong bangsal menuju kantor asrama yang letaknya di ujung dekat musholla. Dimas melihat sebuah pintu kayu jati yang tertutup, sejenak dia agak ragu untuk mengetuk pintu itu. Tapi keberaniannya segera dikumpulkan dan mengetuk pintu tiga kali. Dari dalam ruangan terdengar suara lembut menyuruhnya masuk.

“Masuklah…”.

Dimas mendorong pintu itu dan dilihatnya Nyai Janis sedang duduk dengan kacamatanya yang bundar kecil agak menggantung di hidungnya yang mancung. Di tangannya sebuah buku yang terbuka setengah, nampaknya sedang dibacanya ketika Dimas mengetuk pintu.

“Goede Morgen, Nyai” Dimas memberi salam agak ragu.

“Kemari nak, duduklah” Nyai Janis melambaikan tangannya kepada Dimas.
Kemudian menunjuk bangku yang berada di depan mejanya. Dimas duduk dengan wajah yang agak tertunduk.

“Apakah saya melakukan kesalahan Nyai ?”

Dimas mulai membuka kebingungannya dengan pertanyaan yang paling mungkin untuk mendapatkan kejelasan mengenai alasan pemanggilannya. Mendengar pertanyaan Dimas yang memang menurutnya paling logis, Nyai Janis tersenyum.

“Tidak nak, jangan khawatir, kamu tidak melakukan kesalahan apapun”

Nyai Janis berdiri dari duduknya berjalan menghampiri meja lain di sebelah kanan mejanya, merapat ke jendela yang langsung mengarah ke kebun jagung pak Narso. Tangan meraih kendi air dari tanah liat berwarna coklat gelap yang sudah kelihatan agak lembab. Air putih di dalamnya kemudian dituangkan ke dalam cangkir kaleng yang terletak di samping kendi. Setelah tiga perempat cangkir kaleng itu terisi, dia membawanya kembali ke mejanya semua dan menyorongkan cangkirnya ke hadapan Dimas yang kepalanya mengikuti setiap gerakan Nyai Janis.

“Minumlah dulu agar rasa khawatirmu hilang”.

Dimas menunduk dan meraih cangkir yang disodorkan Nyai Janis kepadanya lalu meminumnya. Segar rasanya air itu masuk membasahi kerongkongannya. Dimas heran dengan kesegaran air yang diminumnya, padahal setiap hari dia juga meminum air dari wadah yang serupa, kendi, tapi air yang sekarang diminumnya sungguh berbeda, membuat matanya seketika seperti berbinar cerah, badannya terasa ringan dan …….segar!

“Saya ingin mengetahui sesuatu darimu”

Nyai Janis mulai menampakan raut muka agak serius, tapi kemudian disamarkan dengan senyumannya. Dimas tertegun dan mencoba mendengarkan apa yang akan ditanyakan oleh Nyai Janis.

“Apakah kamu masih sering bermimpi mengenai kedua orang tuamu ?” Nyai Janis menatap tajam. Dimas sontak menaikan kepalanya yang agak menunduk, dan ketika matanya beradu pandang dengan Nyai Janis, segera ditundukan kembali kepalanya lebih dalam dari sebelumnya.

“Hah… dari mana dia tahu mengenai hal itu, apakah Raji yang menceritakannya. Aduuuuh… kenapa dia tanya mengenai hal itu” katanya dalam hati.

Hatinya tergetar marah bingung kepada siapa dia akan menuduh diantara kedua sahabatnya yang membocorkan cerita mengenai mimpi-mimpinya, dia yakin kalau salah satu atau kedua sahabatnya telah menceritakan semuanya kepada Nyai Janis.

“Hmm…. Kamu tak usah marah kepada Raji atau Pafi, dia tidak menceritakan apapun mengenai mimpi-mimpimu.” Nyai Janis tetap tersenyum.

Nyai Janis seperti tahu apa yang bergejolak di kepala Dimas dan berusaha menenangkannya. Kontan Dimas agak terkejut sekaligus heran, rasa marah yang tadi menggumpal di dadanya berubah menjadi keheranan, bagaimana Nyai Janis bisa tahu apa yang sedang dipikirkannya. Dalam keraguan antara ingin berterus terang, tak ingin orang lain kasihan kepadanya dan rasa malas harus menceritakan kembali apa yang selama ini selalu muncul dalam mimpi-mimpinya, Dimas mulai bicara agak terbata-bata.

“Eh… ya, itu…. Mimpi…. Emmm….semakin sering sejak sebulan terakhir ini” Dimas menjawab agak gagap.

“Baiklah, kelihatannya kamu belum siap untuk bercerita, tapi yakinlah saya hanya berniat membantu mengurangi beban pikiranmu” Nyai Janis berkata dengan lembut walaupun ada getar kecewa terasa.

“Sekarang kamu boleh kembali melanjutkan aktivitas kamu” Nyai Janis memberikan isyarat kepada Dimas untuk meninggalkan ruangan, segera saja Dimas bangkit.

“Terima kasih Nyai”

Dimas segera bergegas meninggalkan kantor Nyai Janis dan kembali ke ruang belajar melanjutkan PR sekolahnya. Di ruang belajar Dimas bertemu Raji dan Pafi yang sudah bersama Raji juga sedang mengerjakan PR nya. Raji yang melihat Dimas masuk ke ruangan mengerutkan dahi dan memberikan isyarat anggukan pertanyaan. Setelah duduk berhadapan Dimas memberitahukan apa yang terjadi di ruangan Nyai Janis dengan berbisik-bisik.

“Kalian tidak memberitahu apapun mengenai mimpi-mimpiku kepada Nyai Janis kan ?”. Raji mendengar pertanyaan itu berjengit kaget seraya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Dimas percaya dengan sahabatnya ini.

“Bagaimana dia bisa tahu ? aku tidak pernah memberitahukan mengenai mimpi-mimpimu kepada siapapun. Aku berani bersumpah” Raji menegaskan kembali jawabannya.

“Aku juga, berani bersumpah” Pafi mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan.

“Aku juga tidak tahu, tapi sepertinya dia bisa membaca pikiran orang lain, seperti kemampuan yang aku miliki. Mungkin dia membacanya dari kepala kalian tanpa kalian sadari.”

Raji mengangguk, “Mungkinkah dia memiliki kemampuan yang sama” pertanyaan yang juga terlintas di benak Dimas.

“Mungkin” Dimas mendesis hampir tak terdengar.

“ah… itu mungkin alasan mengapa dia selalu menatapku setiap aku mencelanya dalam hati, aduh….. gawat” Pafi meremas wajahnya yang ditundukan dengan telapak tangan kanannya.
“Kalau Nyai Janis juga bisa membaca pikiran orang lain, bisa gawat. Dia akan tahu semua hal yang kita lakukan dan kemana kita pergi.” Raji khawatir dengan kenyataan baru yang mereka temukan.

“Kita harus mencegahnya membaca pikiran kita.” Kata Pafi.

“Kita minta bantuan pak Narso untuk melatih kalian berdua menutup pikiran dari orang lain” Usul Dimas disetujui Pafi dan Raji. Mereka berencana akan mengunjungi pak Narso begitu selesai semua PRnya. Sesaat kemudian sudah terlarut dengan setumpuk PR yang belum sempat dikerjakannya kemarin-kemarin.

Sore hari seperti yang dijanjikan Dimas, Raji dan Pafi berangkat ke tempat pak Narso. Pak Narso sedang asyik duduk menghisap cangklong rokoknya. Ditemani segelas kopi buatan Mbok Sinem. Mbok Sinem tidak terlihat bersamanya. Mungkin sedang melakukan pekerjaan lain di dapur. Pak Narso tidak melihat kedatangan Dimas, Raji dan Pafi. Matanya asyik memandang kebun sayur di sebelah barat rumahnya.

“Selamat sore pak Narso!” Dimas menyapa. Lelaki tua itu melepaskan cangklongnya dari bibirnya. Wajahnya sumringah melihat kedatangan Dimas, Raji dan Pafi.

“Ah, kebetulan sekali. Saya tadi sedang berpikir akan menemui anak semua.” Pak Narso menggeser duduknya di atas bale-bale.

“Pak Narso ingin membicarakan sesuatu dengan kami ?” tanya Dimas

“Iya, tapi silahkah sampaikan dulu maksud kedatangan anak semua kesini” kata Pak Narso. Dimas duduk di sebelah pak Narso. Raji dan Pafi duduk disebelahnya.

“Begini Pak, tadi siang Nyai Janis memanggil saya. Awalnya saya pikir saya melakukan kesalahan. Tetapi ternyata Nyai Janis menanyakan tentang mimpi-mimpi yang saya alami. Kami tidak tahu dari mana dia tahu mengenai mimpi-mimpi saya itu.” Dimas berhenti melihat reaksi wajah pak Narso.

“Apakah nak Dimas hendak bertanya kalau saya memberitahukan hal ini kepadanya ? Saya tidak pernah membicarakan masalah ini dengan Nyai Janis.” Pak Narso merasa arah pembicaraan Dimas meminta kejelasan darinya.

“Bukan, bukan itu maksud kedatangan kami. Saya tahu kalau pak Narso tidak menceritakan apapun mengenai mimpi saya. Kami hanya menduga kalau Nyai Janis bisa membaca pikiran orang lain, seperti saya. Mungkin Nyai Janis tahu melalui cara itu. Kami khawatir dengan cara itu dia akan mengetahui semua hal yang pernah kami alami atau kami ketahui. Kami ingin pak Narso mengajari Raji dan Pafi bagaimana menutup pikiran mereka seandainya ada orang yang hendak membaca pikiran mereka.”

Pak Narso diam. Seperti biasa dirinya selalu merenung sejenak sebelum bicara. “Baiklah saya akan melatih nak Raji dan nak Pafi, tapi saya mengajukan syarat.” Pak Narso seperti menemukan cara untuk mendapatkan hal yang tadi ingin dibicarakan sejak awal. Pafi dan Raji saling pandang. Dalam hati Raji berharap syaratnya tidak dilarang untuk menggunakan kemampuannya lagi.

“Baiklah Pak Narso, kami setuju” kata Dimas setelah mendapat persetujuan dari Raji dan Pafi.

“Setelah saya ajari caranya, Anak semua harus jujur kepada saya. Anak semua harus menceritakan semua hal yang belum anak ceritakan pada saya.” Pak Narso menatap tajam kepada Dimas. Dimas, Raji dan Pafi saling pandang. Mereka tidak menduga syarat pak Narso begitu berat. Dimas meminta ijin berbicara dengan Raji dan Pafi menjauh dari pak Narso. Mereka bertiga terlibat pembicaraan serius. Beberapa saat kemudian mereka kembali menghampiri pak Narso.

“Baiklah pak Narso, kami telah sepakat menceritakan semua hal yang belum pernah kami ceritakan kepada pak Narso” kata Dimas singkat.

“Termasuk hal yang nak Dimas belum ceritakan kepada nak Raji dan Pafi ?” Dimas tercekat. Raji dan Pafi menatapnya dalam. Dimas tidak sanggup menatap kedua sahabatnya. Mata pak Narso hanyalah arah yang paling nyaman saat ini. Pak Narso seperti tahu semua hal yang disembunyikannya. Dimas berpikir dari mana pak Narso bisa tahu kalau dia menyimpan banyak hal yang belum diceritakan kepada Raji dan Pafi. Dimas menyerah. Pandangan Raji dan Pafi terlihat begitu kecewa. Dia merasa begitu bersalah kepada kedua sahabatnya. Semoga mereka memaafkannya dengan menceritakan semuanya pada mereka, katanya dalam hati.

“Baiklah, saya setuju” dengan suara berat Dimas menyetujui pak Narso. Akhirnya Dimas, Raji dan Pafi menceritakan semua pengalaman mereka di negeri Narapati kepada pak Narso hingga malam. Pak Narso mendengarkan dengan seksama semua cerita mereka. Mbok Sinem menambah kemeriahan suasana dengan singkong rebus dan wedang jahenya. Mereka terus bercerita sepanjang malam. Seakan tidak habis-habisnya. Sungguh terasa ajaib kelegaan yang mereka rasakan setelah menceritakan semua petualangan mereka di negeri Narapati kepada pak Narso. Mereka kini punya tempat yang mereka percaya untuk berbagi cerita, pengalaman dan nasehat. Ada perasaan Dimas apakah ini yang dirasakan kalau memiliki orang tua. Ada tempat mengadu, tempat bertanya, tempat berbagi kisah, tempat belajar, tempat mendapatkan kasih dan sayang. Alangkah bahagianya kalau dirinya memiliki orang tua. Tak terbayangkan penyesalan yang harus ditanggung jika menyia-nyiakan kasih sayang orang tua.

------ ***** ------

Hari minggu yang cerah, menyenangkan sekali hari ini setelah selesai semua PR kemarin kini saatnya untuk bersantai. Dimas dan Raji sudah bersiap dengan segala rencananya hari ini. Dengan semangat mereka berjalan keluar bangsal menuju kebun belakang pak Narso. Sesampai di huma di tengah kebun jagung, sudah tampak Pafi menunggu di bawah huma. Tidak ada janji apapun untuk berlatih bersama pak Narso. Hari minggu ini diputuskan untuk berwisata.

“Pafi, kamu sudah lama menunggu ?” Raji menyapa gadis tersebut yang terlihat cemberut menatap mereka.

“Pernah kah kalian datang tepat waktu ?” Sergah Pafi kepada Dimas dan Raji. Raji yang sudah sering mendengar sergahan seperti itu hanya cengengesan.

“Maafkan kami, kami agak terlambat karena aku tadi harus ke ruangan Nyai Janis” Dimas berusaha menjelaskan. Wajah berkerut dan agak heran membentuk di wajah Pafi.

“Apakah dia menanyakanmu lagi soal mimpi-mimpi itu ?” Tanya Pafi sambil mengambil posisi duduk. Suara agak lebih tenang. Tampaknya Pafi sudah mengira akan ada cerita panjang yang akan didengarnya dari Dimas. Wajah galak Pafi segera saja berubah menjadi rasa ingin tahu dan berusaha mengambil posisi nyaman untuk mendengarkan apa yang akan diceritakan Dimas.

“Ehm…. Ya… dia bilang aku tidak boleh lagi belajar terlalu malam, Dia menghawatirkan kesehatanku” Kata Dimas berbohong.

Mendapat jawaban yang tidak menarik itu, air muka Pafi segera berubah kembali galak, harapan mendengarkan berita yang fantastik lebur begitu saja dengan jawaban singkat Dimas.

“Ayo kita berangkat” Pafi segera beranjak dari tempatnya sambil menggendong bekalnya. Ketiganya akhirnya tidak lagi melanjutkan pembicaraan mengenai pemanggilan Dimas oleh Nyai Janis. Mereka mulai sibuk dengan pembicaraan mengenai hal-hal yang akan mereka lakukan di hari libur ini. Minggu ini rencana mereka akan bermain ke sungai code. Sungai yang cukup besar itu membelah Jogjakarta. Sungai itu menjadi tempat kehidupan rakyat di Jogjakarta.

Segar sekali wajah-wajah Dimas, Raji, dan Pafi setelah beberapa waktu bermain air di sungai. Tangan Raji menenteng beberapa ekor ikan hasil pancingan mereka di sungai. Tentu saja dengan sedikit bantuan pengendalian airnya. Cara yang dianggap Pafi terlalu mau cari gampang. Dimas sedang menyiapkan api unggun untuk membakar ikan hasil pancingan mereka. Dimas berusaha membuat api dari tumpukan kayu kering seperti yang pernah dipelajarinya pada kegiatan kepanduan di bangku sekolah dasar.

“Ini ikannya”

Raji menyorongkan seikat ikan yang sudah dibersihkannya di sungai. Dimas meraihnya dan kemudian menggantungnya di tiang kayu setinggi empatpuluh senti yang sudah ditancapkan di sisi api unggun. Kemudian mengambil satu persatu ikan-ikan itu dipasangkan pada sebuah tusuk satai dari bambu yang diletakan menggantung melintang di atas perapian. Seketika bunyi meretas dari arang yang tersiram tetesan air diikuti asap putih yang mengepul dari tengah-tengah tumpukan perapian. Kulit ikan yang melepuh dan mengkerut menebarkan aroma daging bakar membuat ketiganya begitu tak sabar ingin menyantapnya. Begitu matang segera saja ketiganya segera menyantap dengan lahap sambil meniup-niup mengurangi panas. Sungguh lezat sampai-sampai mereka tak saling bicara karena keasyikan menikmatinya. Dalam keasyikan yang luar biasa itu tak sadar bila ada dua orang dari kejauhan berjalan tepat ke arah mereka.

“Permisi nak, boleh kami sedikit bertanya ?” Seorang yang sudah tua mengajukan pertanyaan. Ketiganya yang sedari tadi tidak sadar akan kehadiran kedua orang itu, serentak kaget dan menoleh. Orang tua yang bertanya itu hanya tersenyum.

“Kalau kami mau ke Desa Code, kami harus melalui jalan yang mana ya ?” Orang tua tadi melanjutkan pertanyaannya. Dalam kaget itu Dimas menjawab seadanya “Oh…ke arah selatan pak, susuri saja sungai ini ke selatan, Desa pertama itu namanya Desa Code”

“Oh…terima kasih nak, kalau begitu kami permisi” Kedua orang itu kemudian pergi meninggalkan tempat ke arah selatan. Dimas saling pandang dengan Raji dan Pafi. Dan tiba-tiba saja bulu kuduk mereka merinding berdiri. Seperti sudah saling tahu apa yang harus dilakukan, semuanya segera membereskan semua barang bawaan mereka dan menghempaskan sisa ikan bakar yang belum habis mereka makan dan berlari sekencangnya.

“Dimas…tunggu!” suara Pafi yang sedikit tertinggal di belakang oleh gerak langkah Dimas dan Raji yang bergerak makin cepat meninggalkan api unggun. Setelah sampai pada sebuah jalan besar, ketiganya berhenti mencoba mengatur nafas mereka yang terburu-buru tak beraturan.

“Ah..hah..hah…kenapa kalian tiba-tiba larih ….hah…hah….” suara Pafi yang terengah-engah.

“Hufffhhhh…hah…hah… kamu kenapa juga ikut berlari hah…hah….” Raji balik bertanya.

“Ya….ahhh akhu….mengikuti kalian berlarih…..hah…hah….memangnya aku harus ngapain!” Pafi menyergah dengan wajah galak yang merah padam dengan penuh keringat.

“Sudah…sudah…hah…hah…kalian ada yang lihat dari manah…hah…hah… datangnya kedua orang tadih…hah…hah..” Dimas mencoba melerai di tengah kelelahannya juga. Tapi semua menggeleng memastikan tidak ada yang tahu dari mana kedua orang tadi datang.

“Apakah hah…kalian pernah melihat orang-orang itu sebelumnyah…hah….”

Dimas mencoba memastikan kembali. Semua terdiam tak ada yang sanggup mengingatnya dengan kepala yang berdenyut karena degup kerja jantung yang terpompa adrenalin ketakutan.

“Kalau tidak salah, orang itu pernah kita lihat sewaktu kita pulang sekolah minggu lalu, kita berpapasan dengan mereka di jalan menuju asrama” Yang lain mencoba menarik ingatan seminggu lalu dari kepala mereka.

“Ya, betul! Kita juga sempat kaget karena tiba-tiba saja mereka muncul” seru Pafi sambil memandang yang lain.

“Tapi siapa mereka ?” Raji mulai garuk-garuk kepala kebingungan.

“Apakah mereka orang yang sama dengan yang kau lihat di pintu gerbang sekolah dulu” Tanya Pafi kepada Dimas.

“Tidak, mereka orang yang berbeda. Yang aku lihat di gerbang sekolah keduanya masih tampak muda dengan pakaian jawa, sedangkan yang kita lihat tadi itu berpakaian dengan jubah” Tegas Dimas.

“Lebih baik kita kembali ke asrama” Dimas mengajak kedua sahabatnya untuk meninggalkan tempat yang diiringi anggukan Raji dan Pafi yang juga mengikuti. Dengan tenaga yang tersisa ketiganya melangkah gontai di jalanan besar yang sudah mulai teduh oleh bayangan pohon-pohon. Matahari sudah begitu jingga dan akhirnya lenyap di balik awan kelabu yang menjamur di cakrawala barat. Akhirnya mereka pun tiba di depan halaman asrama yang sudah terang oleh lampu-lampu teplok.

Suasana sore telah berubah menjadi malam, gelap yang menyelimuti asrama terasa begitu kental dengan bunyi serangga malam yang berterbangan tertarik cahaya-cahaya lampu dari dalam asrama. Ruang makan telah penuh dengan anak-anak asrama yang sedang bergiliran mengambil makanan perasmanan yang dijaga oleh pembantu-pembantu asrama. Dimas, Pafi dan Raji sedang dalam antrian dengan piring dan gelas mereka. Belum sempat sendokan nasi dari Mbok Sinem masuk ke piring Raji, tiba-tiba saja dari arah belakang Aryo dan kedua temannya datang menyerobot dan mendorong Raji ke samping, yang menyebabkan antrian di sebelah Raji ikut terdorong. Pafi tampak geram melihat yang dilakukan oleh Aryo dengan kedua temannya. Pafi dengan gerakan refleks menebaskan tangannya ke udara kosong, tetapi pada saat yang bersamaan Anip yang berada dibelakang Aryo terdorong ke depan yang tanpa sengaja mendorong tangan Aryo yang sedang memegang piring yang penuh dengan nasi sehingga jatuh ke lantai, sementara tangan Mbok Sinten yang telah siap menuangkan satu sendok kuah sayur panas tak ayal lagi tumpah di dada Aryo. Seketika aryo menjerit kepanasan dengan sayur yang penuh berantakan di atas dadanya dan sepiring nasi yang tumpah berantakan di atas kakinya.

“Aduh….aduh…..” Aryo berteriak kesakitan. Aryo dan ketiga temannya menjadi pusat perhatian di seluruh ruangan. Sementara Dimas, Raji dan Pafi tersenyum tipis.

“Kurang ajar kau Anip, aku hajar kau, aduh…panas…panas” Aryo memaki Anip sambil memegang dadanya yang basah dengan kuah sayur.

“Maafkan aku Yo, aku tidak sengaja. Tiba-tiba saja seperti ada yang mendorongku dari belakang” Anip memegang tangan aryo yang sudah menarik kerah bajunya.

“Kau yang melakukannya Pafi ?” Dimas berbisik kepada Pafi.

“Rasain dia, biar tahu rasa” Raji tampak senang melihatnya.

“Iya, aku tidak sengaja melakukannya. Tadi aku hanya kesal dan tidak sengaja mengeluarkan tenagaku” kata Pafi juga berbisik.

Dari kejauhan Nyai Janis bergegas menghampiri Aryo dan kedua temannya. Wajahnya tampak marah melihat lantai yang berantakan. Aryo masih saja mengeluh mengelus-elus dadanya yang masih terasa panas.

“Ada apa ini” mata Nyai Janis menatap Aryo yang sudah tertunduk dan melepaskan cengkramannya pada kerah Anip, lalu bergantian menatap Anip dan Amik yang sudah sejak tadi menunduk ketakutan. Namun tak lama kemudian Nyai Janis menatap Dimas, kemudian berganti ke pada Raji dan terakhir kepada Pafi. Cukup lama Nyai Janis menatap Pafi, sehingga membuat Pafi kikuk dan tidak nyaman. Seolah Nyai Janis tahu penyebab kejadian itu.

“Mbok Sirah, tolong dibersihkan” ayo lanjutkan makan kalian. Tanpa banyak menunggu lagi semua kembali pada makanan masing-masing. Dimas, Pafi dan Raji juga secara bergilir mengambil makanan ke dalam piring masing-masing.

“Tadi Nyai Janis menatapku lama sekali, seakan dia tahu” Pafi berbisik kepada Dimas sambil berjalan membawa piringnya ke meja.

“Sepertinya dia tadi mencoba memasuki pikiranku, tapi aku berhasil menahannya” kata Dimas dengan pelan.

“Apa yang kita rasakan kalau pikiran kita sedang dimasuki oleh pikiran orang lain ?” Raji bertanya.

“Kau akan merasakan rasa dingin di dalam kepalamu menjalar keseluruh bagian kepala, lalu kau akan merasa beku dan ketika sudah menjalar ke leher dan punggungmu, maka kau sudah dalam keadaan beku tidak lagi tahu apa yang sedang terjadi” Dimas menjelaskan.

“Darimana kau tahu semua itu ?” Tanya Raji penasaran

“Kami pernah mencobanya berdua” Pafi menjawab pertanyaan Raji.

“Kalian pernah mencobanya tapi aku tidak diajak, keterlaluan” Raji menggerutu marah.

“Kau sudah aku ajak, tapi kau malah memilih tidur” Dimas menjelaskan.

“Makanya kalau tidur jangan seperti bangkai, sudah merem tidak pernah bisa bangun lagi” Pafi mencela Raji.

“Lalu apakah kau tadi merasakan Nyai Janis membaca pikiranmu” Tanya Raji mencoba berusaha menerima.

“Iya, tadi aku juga merasakan rasa dingin persis dengan yang aku rasakan sewaktu latihan bersama Dimas, tapi hanya sebentar, aku bisa cepat menguasai diri. Aku tidak tahu kenapa” Pafi menjelaskan

“Itu karena aku masuk juga ke dalam pikiranmu menyelubungi pikiranmu sehingga tidak bisa ditembus Nyai Janis. Itu mengapa Nyai Janis menatapmu agak lama, karena dia berusaha terus masuk ke dalam pikiranmu tapi tidak juga bisa masuk” Dimas menjelaskan apa yang telah dilakukannya.

“Kau bisa melakukan itu ? sejak kapan kau bisa melakukannya” Tanya Raji bersemangat sambil memakan makan malamnya.

“Sejak setelah aku dipanggil oleh Nyai Janis tempo hari. Dia berusaha memasuki pikiranku dan aku menolaknya dengan menutup pikiranku. Untungnya aku banyak berlatih dengan pak Narso dan sering mencoba memasuki banyak pikiran anak-anak asrama, aku makin banyak tahu apa yang bisa aku lakukan dengan pikiran mereka dan pikiranku sendiri” Dimas membisikan kedua temannya ketika ada seorang anak melintasi meja mereka.

“Oh..aku mengerti sekarang, itu sebabnya aku sering melihat tiba-tiba ada anak berjalan seperti melamun atau tiba-tiba terdiam saat sedang melakukan PR di ruang belajar. Jadi mereka itu sedang kau baca pikirannya” Pafi menaikan alisnya.

“Iya, tapi aku tidak membaca semua pikiran dan mengubah apapun dari mereka, aku hanya bermain-main untuk mencoba-coba apa saja yang bisa aku lakukan dengan pikiran orang lain. Aku itu tidak baik, tapi aku tidak akan tahu sampai dimana kemampuanku ini tanpa mencobanya, makanya aku tidak bilang-bilang ke kalian.” Dimas menjelaskan untuk mencegah kedua sahabatnya salah paham atas apa yang telah dilakukannya. Mereka pernah melihat Dimas membuat Aryo dan gengnya mencuci piring bekas makan mereka beberapa waktu yang lalu. Dan itu hal terindah yang pernah mereka lihat tentang Aryo.

“Lebih baik kita lanjutkan pembicaraan kita di tempat lain yang lebih aman, bagaimana ?” Pafi mengusulkan idenya.

“Hmmmmm aku setuju” Raji mengangguk setuju dengan mulut yang masih penuh dengan makanan.

“Baiklah, kita harus saling menceritakan apa yang telah kita lakukan dengan kemampuan yang kita miliki. Sekarang kita segera selesaikan makan malam ini” Dimas menyetujui dan segera menyantap makanannya tanpa banyak bicara lagi. Sementara dari kejauhan tampak Nyai Janis terus memperhatikan mereka bertiga dengan seksama. Mata Nyai Janis tampak menyipit memandang sesuatu dengan penuh rasa ingin tahu. Sayang dia tidak bisa mengetahui apa yang sedang dibicarakan oleh Dimas dan kedua sahabatnya. Seperti ada sesuatu yang membuat mereka seperti tidak mengeluarkan suara sama sekali.

Tidak ada komentar: